3
Pesawat
Kabar mengejutkan dari Neng membangunkanku dari lelap.
“Neng pek reng Malaysia? Terus aku mbek sopo?”1
“Igak. Sampean gisek, Min. Maringono gek Neng. Sampean budal karo Man Rul engko.”2
Man Rul? Siapa? Aku menatap Neng heran. Aku memang tidak terlalu peduli dengan silsilah keluargaku. Terlalu banyak. Sulit untukku memahaminya.
“Rambut e sampean Neng ketok, yo?”3 Neng memegang gunting rambut di tangan kanannya dan sisir di tangan kirinya.
“Loh? Emoh, neng. Jare Mak e gak oleh diketok, kok.”4
“Lanek gak diketok engko gak oleh numpak pesawat.”5 Mataku terbelalak mendengar kata pesawat. Kata Mak e, dulu aku pernah naik pesawat. Tapi aku masih kecil sekali. Jadi aku samasekali tidak ingat bagaimana rasanya.
Neng menghampiriku. Menyampirkan kain di depanku. Bersiap untuk memotong rambutku. Aku senang rambutku akan dipotong pendek. Karena rambutku selama ini panjang sekali. Aku risih dan panas. Tapi Mak e tak pernah mengizinkanku untuk memotongnya. Jangankan potong pendek di bagian belakang, membuat poni di depan dahi saja pantang.
***
Selama seminggu lebih dua hari menunggu keberangkatanku ke Malaysia, aku sudah berangan banyak hal. Aku senang bukan main. Aku akan naik pesawat, bertemu Mak e dan Ayah. Aku akan naik pesawat, bertemu Mak e dan Ayah. Aku akan naik pesawat, bertemu Mak e dan Ayah. Itu saja yang kupikirkan. Bahkan senyum-senyum sendiri kini sudah menjadi hobiku.
Hari H keberangkatanku tiba. Semuanya sudah dipersiapkan oleh Neng dengan rapinya. Di ruang tamu telah ada seseorang yang—kata Neng—akan berangkat denganku.
Aku menyalaminya. Dia tersenyum padaku. Seperti yang sudah Neng katakan sebelumnya, namanya adalah Man Rul. Pamanku yang tak aku kenali selama ini.
“Min, ati-ati, yo. Sampean budal karo Man Rul. Ojok nakal, loh.”6 Neng menasehatiku sambil memasangkan tas ransel ke pundakku.
Aku mengangguk. Dia mengelus-elus kepalaku.
Kami berpisah.
Selama perjalanan ke bandara, aku masih bertanya-tanya kenapa Neng tidak ikut langsung saja denganku? Kan dia juga ingin ke Malaysia. Kenapa aku harus pergi dengan pamanku yang satu ini?
Kesenanganku seketika hilang. Kenapa?
Aku kasih tahu sesuatu, ya. Duh, tapi aku takut kalau dia tersinggung karena kata-kataku ini. Tapi kalian pasti penasaran, ya? Yasudah. Jadi begini. Man Rul punya bau yang sedikit tidak enak. Aku sebenarnya berusaha menghindarinya. Tapi sedikit sulit. Dia menggaetku seperti tak ingin kehilanganku.
Aku rasa dia belum mandi, atau jarang mandi? Atau juga.. tidak pernah mandi? Ah, tidak. Tidak. aku tidak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, dia punya bau yang tidak enak untuk diendus.
Sesampai kami di Bandara Juanda Surabaya, kami turun dari mobil, lalu membawa barang masing-masing. Aku hanya membawa ranselku, dan sisanya Man Rul yang membawa. Dia meninggalkanku sebentar—senang bukan main aku—untuk mengambil—aku tidak tahu namanya—kereta yang bisa membawa banyak barang. Dia meletakkan kerdus-kerdus besar punyanya di atasnya, lalu mendorongnya menuju ke arah pengecekan paspor. Sebelumnya dia memberi pesan intruksi padaku.
Dia jongkok, berusaha menyaai tinggiku. Aku yang didekati olehnya menahan napas. Berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang, mengabaikan bau yang semerbak.
“Engko lanek ditakok i sampen anak e Man Rul opo gak, jawab ‘iyo’, yo?”7
Sontak aku menggelengkan kepalaku. Tentu saja aku tidak mau. Enak saja. Dia pikir dia siapa? Toh, Cuma paman. Lagipula, apa maksudnya dia mau aku mengakuinya sebagai ayahku? Aku jadi curiga.
Melihat reaksiku, Man Rul hanya tertawa, dan langsung menarik tanganku untuk check in.
***
Ketika sudah sampai di pesawat, aku langsung duduk di kursi yang ditunjuk oleh Man Rul. Aku melihat kejendela. Aku sedikit tidak puas karena jendelanya terlalu kecil. Aku kedinginan. Air conditioner-nya terlalu dingin. Aku ingin meminta ke Man Rul untuk mengecilkan AC-nya. Tapi kuurungkan. Untuk saat ini aku ingin menikmati dingin ini.
Tanpa menunggu pesawatnya naik, aku sudah terlelap.
- Neng mau ke Malaysia? Lalu aku dengan siapa?
- Kamu dulu, Min. Setelah itu baru Neng. Kamu berangkat dengan Man Rul nanti.
- Rambutmu Neng potong, ya?
- Lah? Tidak mau, Neng. Kata Mak e tidak boleh dipotong, kok.
- Kalau tidak dipotong nanti tidak boleh naik pesawat.
- Min, hati-hati, ya. Kamu berangkat dengan Man Rul. Jangan nakal, loh.
- Nanti kalau ditanyai kamu anaknya Man Rul apa tidak, jawab ‘iya’,ya?