2
Kacamata Terlarang
Kejadian kemarin sempurna berhasil membuat punggungku dihiasi dengan garis-garis merah. Tidak apalah. Aku jadi tidak masuk angin.
“Wingi koen digepuk’i mane ambek nengmu,1 Min?” Tanya Mbak Na. Tetangga sebelah rumahku. Tentu saja dia mendengar ocehan Neng sementara tangannya dengan lihai menghajarku. Aku sudah biasa ditanyai begitu. Mereka yang bertanya begitupun sudah tahu dengan aktifitas aku dan Nengku. Apakah ini aib yang memalukan untukku? Untuk anak yang masih berusia lima tahun sepertiku, aku belum mengenal malu.
Aku yang hidup bertiga dengan Neng dan anaknya, aku sudah dibiasakan mandiri dari kecil. Mandiri, sebuah kata—yang bagiku—pujian yang menyegarkan hatiku. Banyak Ibu-Ibu yang menggandeng anak-anaknya—yang merupakan teman sekelasku—ke sekolah memujiku begitu ketika melihatku jalan sendiri ke sekolah tanpa ada yang menghantar. Tapi ada juga Ibu-Ibu yang memandangku dengan pandangan kasihan karena tidak ada yang menghantar. Padahal aku merasa tidak ada yang perlu dikasihani selagi Neng memberiku uang untuk jajan.
Aku sekolah di TK Muhammadiyah Campurejo. Sekarang aku berada di kelas PAUD. Walau aku tak pernah sadar—sampai aku remaja—kalau aku ternyata aku pernah PAUD. Aku hanya punya satu teman akrab di sekolah, namanya adalah Ilmi. Sekolah di sini—jujur saja—membosankan. Bermain-main. Menyanyi-nyanyi. Berteriak-teriak. Aku merasa bahwa ketika aku di sekolah, tak ada bedanya dengan di rumah. Aku tetap saja mengekspresikan kenakalanku. Yang beda hanya ketika jam istirahat, yang mana kalau di rumah aku tidak akan boleh beli jajan.
Aku pulang dengan cepat. Aku sudah janjian dengan temanku, Ilmi, akan main bersama. Kami sudah menentukan apa yang ingin kami mainkan. Nama permainannya adalah pacak-pacak’an.2 Apakah kalian pernah ada yang memainkannya, girls?
Ilmi juga cepat-cepat ke rumahku. Memang rumah kami tidak seberapa jauh.
“Ayo endi?”3 Ilmi menanyakan aksesoris yang akan menjadi bahan mainan kita. Aku bingung. Aku sebenarnya tidak punya apa-apa. Peralatan make up sudah ditanggung Ilmi. Lah, aku apa? Baju? Tidak.
“Sek, yo.”4
Aku bergegas ke dalam rumah, menggeledah lemariku, kotak mainan, rak Tv, tapi tidak ada apa-apa yang bagus. Aku pun nekat mencari ke daerah terlarang, kamar Neng.
Aku terpaku melihat ke meja rias Neng yang mana di sana ada satu objek yang membuatku tertarik. Kacamata. Tak berpikir panjang, aku mengambilnya dan menyerahkannya pada Ilmi.
“Nyok. Apik, kan?”5 Ujarku dengan bangga. Ilmi mengangguk-angguk, turut kagum.
Ketika kacamata itu sudah kupasangkan, aku melihat Ilmi dengan perasaan takjub. Wah, benar, kan. Dia jadi cantik! Ilmi menurunkan bola matanya demi melihat kacamata yang membuatku berbinar itu.
“Min, iki kocomoto e kegeden ndek raiku. Ceblok iki engko.”6 Ilmi protes.
“Loh, iyo ta? Sek, tak cilikno.”7
“Iso ta?”8
“Coba’ wae.”9
Aku mengotak-atik gagang kacamata yang barusan ak copot dari telinga Ilmi. Aku mencari bagian mana yang bisa membuatnya menjadi kecil. Tapi nihil. Ukurannya tak berubah samasekali. Aku gemas karena penasaran. Aku membuka dan menutup gagangnya berungkali. Semuanya aku pegang dan kuputar tak tentu arah. Dan alhasil—entah bagaimana—gagang sebelah kanannya patah.
Aku tercekat. Ilmi juga ikut terkejut. Aku menelan ludah. Baru kusadari bahwa ini mmerupakan kacamata terlarang dari daerah terlarang. Terlambat sudah. Sepertinya aku harus mempersiapkan diriku ketika Neng pulang nanti.
***
Kemarin malam punggungku kembali babak belur. Padahal belum sembuh luka yang kemarin.
Terkadang aku merasa kalau Neng tidak sayang padaku. Walau aku tahu, Neng memukulku bukan tanpa alasan. Aku sudah terlalu banyak menyusahkannya. Syukur-syukur Neng tidak mengusirku dari rumah mengingat kelakuanku yang sudah banyak merugikannya. Apalagi Neng sering mengorbankan uang gajinya demi membelikan anting untukku. Anting yang mana kalau aku yang memakainya bisa hilang dalam sehari pakai. Di keluargaku, pantang bagi kami para perempuan apabila tidak memakai anting. Jadi ketika antingku hilang sehabis kubawa main, Neng langsung membelikan yang baru. Dan itu sudah berkali-kali terjadi. Sejujurnya aku memang tidak suka pakai anting. Tapi sekalipun aku tak pernah berniat untuk benar-benar menghilangkannya secara sengaja. Aku pun selalu bingung. Ke manalah gerangan anting-antingku itu. Selalu saja kalau aku sudah pulang ke rumah, antingku yang tadinya utuh menggantung di kedua telingaku tiba-tiba saja hanya menjadi satu. Pernah sekali ketika Neng belum ada uang untuk membeliku anting, dengan terpaksa aku kemana-mana dengan satu anting di telingaku.
“Antingmu sitok e ndek endi, Min? Padane artis wae, nde, antingan siseh.”10 Ujar Bibiku suatu hari sambil tertawa.
“Pek gak sisehan piye. Wong tingkah e koyok jaran.”11 Sahut Nengku.
Aku dari dulu sudah terbiasa dijuluki kuda oleh kerabat-kerabatku. Itu tentu saja karena tingkahku yang—tampaknya—tak pernah kenal lelah untuk bergerak.
Orang-orang di sekitarku yang tahu tingkahku menyimpulkan bahwa aku nakal karena orangtuaku meninggalkanku ke Malaysia. Menurut mereka, anak yang nakal sengaja berulah agar diperhatikan. Memang benar. Buktinya saja aku hampir menjadi perhatian bagi orang-orang yang ada di desa. Walau menurutku aku nakal bukan karena aku mencari perhatian. Tapi karena apa, ya?
- Kemarin kamu dipukuli lagi sama kakakmu?
- Dandan-dandanan
- Ayo mana?
- Sebentar, ya
- Bagus, kan?
- Ini kacamatanya kebesaran di mukaku. Jatuh ini nanti.
- Lah, iyakah? Sebentar, aku kecilkan.
- Bisakah?
- Coba aja.
- Antingmu satunya ke mana, Min? Seperti artis saja pakai anting Cuma sebelah.
- Mau tidak sebelahan bagaimana. Orang tingkahnya kayak kuda