11
Ratu Gosip Kampung Kasawari
Di Kampung Kasawari kami nan tercinta ini, kuakui, semuanya adalah masalah keberanian dan kemandirian. Aih, macam orang pedalaman saja. Aku merasa hidup di luar negeri macam Malaysia ini bukan malah membuatku menjadi canggih, malah menjadi kreatif. Tak pergi pasar, kangkung pun jadi. Tak minum air matang dari galon, air mentah dari bendungan pun jadi. Tak ada lampu elektrik, lampu minyak pun jadi.
Tapi warga Kampung Kasawari hanya tinggal tatkala mereka belum memiliki rumah. Nah, kami, Keluarga Sakor sudah hampir dua tahun tinggal di sini. Entah karena terlalu sayang dengan kampung, atau memang belum jua mendapatkan rumah. Padahal Bang Burhan sekeluarga sudah minggat dari kampung lantaran sudah mendapatkan rumah yang strategis dengan tempat kerjanya.
Kabar punya kabar, ternyata Cak Har pun sudah mendapatkan rumah. Sebulan lagi—kalau Tuhan mengizinkan—dia akan angkat kaki dari Kampung Kasawari, tak kembali lagi. Kecuali kalau dia tidak bisa bayar kontrakan, lantas diusir oleh induk semangnya. Sejujurnya aku sedih. Habisnya Kak Ayuk akan merawat anaknya di sana, di rumah barunya, bukan di sini, di Kampung Kasawari.
Terkadang apa yang kita inginkan, tak sesuai dengan yang Tuhan inginkan. Kalau aku boleh menawar, aku ingin ibu-ibu penggosip di seberang rumahku itu segera pergi dari sini. Kalau tidak begitu, keluargaku saja yang segera pergi. Aku sudah terlalu malas mendengar celoteh mereka yang simpangsiur tak tentu arah. Ditambah lagi tabiat mereka yang tak elok padaku. Aku paham aku hanya bocah yang akan hanya menyengir, dan menangis kalau diolok-olok pun dibuli. Tapi tetap saja aku punya hak asasi untuk membela diri walau berakhir sia-sia.
“Mina, apasal kau itu hitam sangat? Mak kau putih, je.” Kira-kira macam itulah olokan Mak Cik Tini padaku suatu hari.
“Mana ada. Ini bukan hitam tapi kokolah, Mak Cik.” Bantahku tak terima dengan olokan Mak Cik Tini yang berlebihan, salah pula.
“Koko kalau kau tu manis. Tapi sebab kau tak manis, aku sebutlah kau tu hitam.” Olokan itu disahut dengan tawa serentak dari ibu-ibu di sebelahnya.
Teringin aku menangis, tapi tak sanggup dibuat malu lagi. Aku menggaruk-garuk tangan dan kakiku hingga menimbulkan garis-garis putih tak beraturan.
“Tengok! Jadi putih.” Aku menunjuk-nunjuk kaki dan tanganku. Namun usahaku tak dihiraukannya. Gelaknya dan ibu-ibu itu malah makin menjadi.
“Putih tu sebab kau garuk. Bukan sebab kau tu memang putih. Tengok ni tanganku. Kalaupun tak aku garuk tetap putih. Aku garuk pun tak ada ubahnya. Lah kau, dah macam buat silap mata.” Tawanya kemudian membuatnya mengeluarkan airmata. Begitupun ibu-ibu itu.
Aku samasekali tak bisa mendapatkan bagian mana yang lucu. Sedikit heran, kenapa Mak Cik Tini tak berkulit cokelat macam Bang Burhan sekeluarga? Jangan-jangan dia mandi susu!
Mak Cik Tini inilah ratunya gosip di Kampung Kasawari. Walau kami tak banyak, dan tak banyak pula yang bisa dibicarakan, namun bagi Mak Cik Tini, semuanya bisa dibuat bahan pengering mulut—gosip. Bahkan kucing Kak Ayuk, dan lintah pun dilahapnya. Bukan main bengisnya dia kalau pasal gosip menggosip.
Salah satu yang aku ingat, Mak Cik Tini pernah menggosipkan tentang kucing Kak Ayuk yang baru lahir. Dia bilang kalau kucing Kak Ayuk itu kawin tanpa seizin negara. Sebab Mak Cik Tini tak sekalipun diundang ke kendurinya. Bahkan diselidikinya, bahwa kucing Kak Ayuk sembunyi-sembunyi buat kenduri agar dia tidak mengeluarkan banyak duit.
Aku yakin dia berkata hanya sebatas perkataan. Jangankan dia, aku yang adik iparnya saja tak tahu kalau kucing itu kawin tanpa seizin negara, atau masalah undangan kenduri sekalipun.
Aku yang tak paham dengan hal kucing-kucing kawin ini, lantas bertanya pada Mak e tentang hukum ‘Kucing Kawin dalam Agama’, dan tentang kenduri itu. Aku tak yakin kalau Kak Ayuk buat kenduri tanpa sepengetahuan warga kempung. Sebab dia yang paling rajin bikin syukuran kalau dia sedang merasa bersyukur.
“Mak e, kucing lek kawen iku kudu izin negoro ta? Na gek wingi Kak Ayuk temenan bancaan dewe ta?”29
“Hush! Jare sopo?”30
“Jare Tini!”31
“Lambene Tini na dipercoyo, wah!”32
“Loh, salah? Na kepiye?”33
“Tini iku lak ngawor wae. Wong kucing kok dipada’no karo menungso. Gayok bedo.”34
“Bedo kawen e ta mak?”35
“Wes, mboh! Koen sek cilik. Gak ngiro ngerti.”36
“Makane kei ngerti.”37
“Engko wae lek wes gede.”38
- Mak e, kucing kalau kawin harus izin negarakah? Terus kemarin Kak Ayuk benar syukuran sendirikah?
- Hush! Kata siapa?
- Kata Tini!
- Mulutnya Tini kok dipercaya, wah!
- Loh, salah? Terus bagaimana?
- Tini itu pasti ngawur saja. Orang kucing kok disamakan seperti manusia. Sudah pasti beda.
- Beda kawinnya kah, Mak.
- Sudah, nggak tahu! Kamu masih kecil, tidak akan mengerti.
- Makanya kasih tahu.
- Nanti saja kalau sudah besar.
Penasaranku masih mengendap di kepala. Tapi aku turuti saran Mak e. Lebih baik aku menunggu remaja. Ah, masih lama, ya. Kira-kira tujuh tahun lagi.
Aku mendesah. Pergi meninggalkan Mak e yang menutup pembicaraan pasal kucing kawin. Dalam hati aku mengutuk Mak Cik Tini yang tak beres otaknya. Makanya tak jua dapat suami, dia.