Loading

10

Laut Kasawari

 

Kau tahu rumah panggung di kampung orang melayu macam apa? Nah, macam itu pulalah rumah-rumah panggung di kampung kecil kami ini. Lantainya jauh dari tanah lantaran takut akan banjir. Ide ini pertama dicetuskan oleh Ayah. Habisnya kalau sudah datang musim hujan, kampung sudah macam danau. Kami pun jadi sulit keluar rumah lantaran air yang tinggi akibat curah hujan yang tinggi.

Ayah selalu memiliki ide yang segar untuk mengatasi keluhan warga. Ayah selalu mengantisipasi sebelum musim hujan selalu membuat satu tempat duduk yang bisa menampung sekitar sepuluh orang dewasa. Kalau sebelum banjir fungsinya adalah untuk tongkrongan, lain lagi fungsinya kalau sudah banjir. Ayah akan menjadikannya perahu demi mengeluarkan warga dari desa kalau ada yang mau ke pasar dan lain-lain.

Namun duga tak diduga, banjir menenggelamkan desa, sekaligus rumah-rumah panggung yang sengaja ditinggikan, merubah Kampung Kasawari menjadi Laut Kasawari. Dan itu membuat kami para warga harus tidur bak pindang di padang rumput seberang kanan kampung. Aku sebal karena harus melewati genangan air yang melaut itu, tapi entah harus menyalahkan siapa. Toh, bisa jadi Allah menghendaki yang demikian lantaran ingin membuat kami memiliki pengalaman bahkan kenangan yang mendalam tentang kampung kami ini. Aku pun mafhum.

Ayah menggendongku menyeberangi kampung yang tak lagi pantas dijuluki kampung. Di pinggangnya Ayah, diikatlah tali tambang demi menyeret perahu yang dibuatnya. Dan kini, jumlah penumpangnya bukan lagi dua ataupun tiga orang, melainkan delapan ibu-ibu yang tak ringan badannya. Bisa kau bayangkan seberapa kuatnya tubuh kuli itu? Tak bisa diungkap!

Aku yang digendong Ayah menuju daratan, menelan ludah lantaran tak tahan menahan ngeri akibat melihat penduduk sungai horor kami berhamburan di sana sini. Lintah, jentik-jentik, pacet, dan banyak lagi. Aku yang tadi hanya mengagumi kekuatan Ayah kini bertambah semakin mengagumi keberaniannya pula.

Tunggu punya tunggu, setelah tiga hari berturut-turut tidur di lantai berumput, beratapkan langit dihias awan, kami pun kembali ke kampung yang sudah porak poranda dipandang. Airnya sudah menyusut tak bersisa. Sungai horor kami pun sudah kembali normal. Satu hal yang harus kusyukuri adalah, selama kami menunggu penyusutan air banjir, Allah menunjukkan perhatiannya dengan tidak menurunkan hujan lagi. Jadi kami tidak perlu bersusah payah untuk membuat atap segala. Kami tidur dan menjalani hidup selama tiga hari dengan tenang di padang rumput. Itu benar-benar menyenangkan. Aku merasa seperti berpiknik.

Seisi rumah benar-benar hancur. Perkakas dapur, lemari, baju, rumah, bau, semua lembab. Dan aku menjerit-jerit ketakutan karena tembok rumah kami ditempeli oleh lintah-lintah family yang mengerikan. Mak e menenangkanku, Ayah mencabuti lintah-lintah itu.

Setelah seminggu, barulah kami bisa benar-benar merasa pulih, tetapi belum sepenuhnya lega. Karena musim hujan masih panjang. Jadi, apapun itu, kami—khususnya aku—harus bersabar menghadapi kekacauan-kekacauan yang akan datang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *