18
Letak Keadilan Sang Maha Adil
Suatu malam, ketika hanya aku dan Mak e bercengkerama bersama di teras rumah, sedangkan Ayah balik ke tempat kerjanya—dugaku—dengan perasaan dilema sekaligus bersalah, aku mencurahkan kesedihan dan kemarahanku pada Mak e.
Aku egois. Itulah yang kupikirkan tentangku saat ini. Aku tak sesabar Mak e. Padahal masalah yang kumasalahkan ini sebenarnya remeh sekali. Tapi terkadang kita tidak boleh meremehkan hal-hal yang kecil. Namun, mempermasalahkan hal yang sepele bukanlah sikap yang baik pula.
Aku, saat ini merasa bahwa aku sedang diperlakukan tidak adil oleh Allah. Pernahkah kalian juga merasakan apa yang kurasa?
Tatkala kukatakan isi hatiku yang batil itu pada Mak e, reaksinya sungguh tenang, tak sesuai dengan ekspetasiku. Katanya,
“Berteriak tidak adil demi meminta keadilan yang sudah jelas keadilannya pada dzat yang Maha Adil, apakah pantas?”
Dalam hatiku heran. Jarang sekali, bahkan belum pernah kudengar sebelumnya, Mak e mengeluarkan kalimat yang amat berbelit-belit demi menasehatiku. Apakah Mak e tengah sangat marah atas perasaanku yang batil?
Aku menelan ludah, menunggu Mak e mengatakan kalimat selanjutnya. Namun, nyatanya, nihil. Ah, padahal aku tak mengerti apa maksud kata-katanya barusan.
Dari satu kalimat yang barusan dilontarkannya untukku, hanya dua kata yang bisa aku mengerti. Yakni, “Apakah pantas?”
Apanya yang tidak pantas? Berteriak pada Allah? Aku tidak berteriak. Nadaku sama sekali rendah.
“Kau masih berusia lima tahun. Tak akan paham apa maksud dari kalimatku tadi. Tunggu saja, sampai kau bisa menjawabnya sendiri?”
“Caranya?” Tanyaku dengan polosnya.
“Pengalaman hidup.”
Aku melongo. Pengalaman hidup?
“Pengalaman hidup adalah anugerah. Bagi Mak e, dan bagi orang-orang yang akalnya sehat, Minah. Mak e hanya sekolah sampai kelas tiga sekolah dasar. Apa kau pikir orang yang semacam itu adalah orang yang pintar? Mungkin bagi orang yang tak mengerti hakikat pintar, dia akan mengatakan,’Tentu saja tidak’. Namun, bagi orang yang paham akan hakikat pintar, maka dia akan mengatakan,’Ya, tentu saja’. Mengapa demikian, kau tahu?”
Aku menggelengkan kepala dengan kuat, tanda rasa ingin tahu yang kuat.
“Belajar adalah hakikat pintar, Minah. Belajar dari pengalaman hidup yang kau alami, yang manusia lain alami, adalah yang terbaik. Dan yang terpenting, bukan hanya mengerti, namun harus paham. Jadi, belajarlah selalu dari segala kejadian dalam hidupmu. Itu merupakan petunjuk Allah.”
Mak e mengakhiri nasehatnya dengan mengelus lembut kepalaku.
Aku merasa sedih akan diriku sendiri. Padahal Ayah sudah bekerja keras untuk menafkahi aku dan Mak e, dan aku bukan malah mendo’akan, tetapi malah menghalangi. Mohon ampunilah dosaku ini, wahai Allah.
Airmataku menetes kecil, menyesal dalam pelukan Mak e.
Perihal petuah Mak e yang dulunya belum bisa kupahami, ketika aku sudah berusia enam belas tahun kini, atas izin Allah, aku berhasil menafsirkannya. Akan aku beritahu segera padamu, Kawan. Walau aku yakin, bahwasannya kau sudah juga berhasil menafsirkannya jauh lebih cepat dariku.
Ini adalah hasil dari penafsiranku:
Marah karena merasa tidak diberi keadilan, berharap dengan marah dan memprotes Allah akan memberikan keadilan yang sesuai dengan kehendak kita, padahal Allah yang Maha Adil tak akan sekalipun berbuat tidak adil. Hanya saja, kita yang salah paham akan hakikat dari keadilan. Kita sering kali memaknai bahwa adil haruslah sama rata, padahal sebenarnya bukanlah demikian kebenarannya. Melainkan definisi dari adil itu sendiri adalah meletakkan sesuatu sesuai dengan porsinya, tempatnya. Kita yang buta akan keadilan Allah ini, apakah pantas mempertanyakan keadilan pada yang memberi keadilan?
Sungguh malunya bukan main saat kutafsirkan petuah itu, Kawan. Bukan main!
Kau butuh contoh perihal makna adil, Kawan? Akan kusiapkan.
Tatkala kau berumur enam belas tahun dan adikmu berumur lima tahun, apakah orangtuamu akan memberikan kalian uang saku yang sama rata? Tidak, bukan. Tentu saja kau lebih banyak, karena memang di situlah letak ukuran porsi yang benar.
Maka dari itu juga, Allah memiliki maksud tersendiri ketika Allah memberikan keluarga kami—Keluarga Syakur—kondisi yang kata manusia menyedihkan ini. Allah selalu memiliki seribu satu alasan baik dalam takdir-takdir yang diberikannya. Keluargaku, yang kata dunia miskin, hina, tak ada guna, sebenarnya memiliki kekuatan, kelapangan, dan kekayaan yang tak dimiliki oleh orang yang kata dunia kaya, mulia, pahlawan dunia.
Kekuatan akan menghadapi segala cobaan, krisis ekonomi, cacian, godaan dan segala macam kesulitan. Dan selama enam belas tahun, segala puji bagi Allah, aku sudah pernah mencicipi, bahkan menelan semuanya. Dan hasilnya, aku merasa aku lebih kuat. Kuat menghadapi masa depan yang akan lebih sulit. Tapi apalah arti segala kesulitan bagi kami, bagi kita yang sudah meyakini Allah sebagai sebaik-baiknya penolong hidup. Semua bisa dihadapi dengan keikhlasan. Rasa lapang yang nikmat. Dengan menyebut nama Allah, surga adalah sebaik-baik nikmat.
Allah mencintai orang-orang miskin yang sabar, membenci orang-orang kaya yang sombong. Dipikir siapa yang memberikannya harta yang ia banggakan itu, hah? Usaha sendiri? Cih, memalukan!
Tapi, Kawan. Jangan gagal paham. Inti dari semua ujian-Nya dan takdir-Nya bukanlah mengenai orang itu miskin atau kaya, melainkan sabar adalah intinya. Kita kalau jadi orang miskin tapi tak sabar, setiap hari mengumpat Allah, mana bisa dapat cinta-Nya. Juga, kalau kita jadi orang kaya tapi tak sabar, boros, sombong, laknatlah dia di hadapan Allah. Iblis saja yang dulunya adalah jin yang paling dimuliakan, bahkan kemuliaannya melebihi malaikat sekalipun, dikeluarkan dari surga akibat sifatnya yang sombong!
Keadilan Allah itu dinilai dari cara kita menyikapi hidup. Jika kita selalu berbuat baik, maka keadilan-Nya selalu akan membalas kebaikan kita. Begitu pun sebaliknya, jika kita selalu berbuat yang buruk-buruk saja, keadilan-Nya pun akan membalas keburukan kita. Tak kesah cepat atau lambat.
Maafkan aku yang memberikan sebuah contoh yang klasik. Padahal aku cukup percaya bahwa sebenarnya kau tak butuh contoh. Kau sudah mengerti tentang hal itu, bukan? Namun, Kawan, mengerti saja tidak cukup. Paham adalah yang utama. Jika kau mengerti, belum tentu kau akan paham. Akan tetapi jika kau sudah paham, sudah bisa dipastikan bahwa kau mengerti.
Untuk perenungan kita bersama, agar kita tak melulu menyalahkan Tuhan akan takdir yang disediakan untuk kita.
Untuk perenungan kita bersama, agar kita tak melulu mempertanyakan keberadaan keadilan Tuhan yang sebenarnya selalu ada untuk kita.
Maka, aku suguhkan kembali petuah Mak e yang berhasil menghantam kebatilan perasaanku:
“Berteriak tidak adil demi meminta keadilan yang sudah jelas keadilannya pada dzat yang Maha Adil, apakah pantas?”