Loading

22

Besi Karat Pengganjal Perut

Dua minggu berlalu, kami menikmati tempat tinggal baru kami. Mak Cik Tini memiliki pekerjaan baru yang sangatlah mulia, Kawan. Sampai terenyuh hatiku. Mak Cik Tini yang dulunya memiliki label Ratu Gosip Kampung Kasawari, kini berubah labelnya menjadi Tukang Pijat Sekolah Bong Beng. Tepuk tanganmu dengan meriah, Kawan. Tidakkah kau terharu?

Begitulah. Siapapun bisa berubah. Dari yang awalnya buruk, jadilah ia baik. Dari yang awalnya baik, bisa juga jadi buruk. Pesanku sebagai kawanmu, kalau kau masih buruk tabiatmu, berupayalah untuk bertabiat baik. Kalau kau sudah bertabiat baik, berupayalah terus untuk mempertahankan dan terus meningkatkan kualitas kebaikan itu.

Segala puji bagi Allah, Neng sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah restoran Cina sebagai pelayan. Aih, banyak betul Orang Cina di sini. Masalah gaji, aku tak tahu menahu. Neng hanya bilang kalau nanti sudah mendapat gaji untuk yang pertama kalinya, dia akan segera mendaftarkanku sekolah. Uh, sungguh ingin menangis aku dibuatnya.

Mak e dan Ayah belum mendapatkan pekerjaan setelah bersusah payah kesana kemari. Aku sedih. Benar-benar sedih. Entah mengapa hatiku seperti teriris jika melihat Mak e memberiku makan. Karena aku merasa Mak e dan Ayah sedang kritis, apalagi sekarang kebutuhan pokok Neng dan Saif—anaknya—juga ditanggung oleh Mak e dan Ayah. Walau itu hanya sementara sampai Neng mendapatkan gaji.

Ketika Mak e memberiku makan dengan lauk telur ceplok, aku selalu bertanya,

“Mak e mendapatkan uang ini dari mana?”

“Adalah. Mak e, kan, punya simpanan untuk keadaan mepet seperti ini.”

Ujarnya dengan tenang.

Kau tahu Kawan, sampai pada puncaknya, uang simpanan tak sanggup lagi menopang. Mak e dan Ayah memutuskan untuk mengumpulkan besi-besi tua.

Mengumpulkan besi tua dari bangunan ke bangunan. Dari jalan ke jalan. Mencari-cari di tengah terik matahari dengan menggunakan sepeda Ayah yang tidak untuk dinaiki, melainkan untuk membawa besi-besi berat dan berkarat beserta diriku di atasnya. Dituntunnya sepeda beserta bawaannya itu dengan Mak e yang ada di belakang sepeda, mengiringi Ayah.

Besi-besi itu dijual ke juragan rongsokan. Hasilnya, aku tak tahu menahu pasal itu. Namun kata Mak e itu bisa buat makan, setidaknya satu bulan, dan tentunya dengan makanan yang sederhana. Cukuplah nasi beserta telur menjadi pengganjal perut. Ditambah lagi istri Pak Cik Subuh sering mengirim sedikit lauk yang enak untuk kami makan.

Neng yang tahu akan keadaan kritis ekonomi kami, semakin giatlah ia bekerja. Dari yang tadinya hanya malam saja, kini menjadi siang dan malam. Siang menjadi penjaga kasir di sebuah supermarket, malamnya menjadi seorang pelayan. Mantap betul. Apalagi ketika pulang dari pekerjaannya di supermarket, dia selalu membawa cokelat untuk kami—aku dan Saif.

Di balik kesusahan, pasti Allah tak lupa menyandingkannya dengan sebuah kebahagiaan. Walau kebahagiaan itu terkadang amatlah kecil dan sederhana sekali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *