24
Asal Muasal Budi
Ini awal aku masuk ke sekolah taman kanak-kanak. Di sini kami menyebutnya: Tadika. Sekolah ini sendiri namanya adalah, Lucky Star Kindergarden. Jujur, aku tak mengerti apa itu. Entah mengapa rasanya rumit untuk kubaca. Semakin takutlah aku. Entah entah aku akan disuguhkan pertanyaan semacam itu, lantas aku tak bisa, dan hasilnya, hanya tangisan yang kudapat. Hiks.
Tapi! Dengan genggaman yang kuat dari Neng Sus membuatku memantapkan langkah untuk menghadapi semuanya. Tak ingin kugoyah dengan langkah yang sudah jauh ini. Aku pun sudah berlelah-lelah selama satu pekan latihan membaca, menulis sampai dengan menghitung. Sampai-sampai dalam satu pekan itu tak ada lagi kata menguap bagiku.
Masuklah aku ke halaman sekolah. Kesan pertamaku: takjub! Di sini banyak permainan yang tak kujumpai ketika bersekolah di Indonesia dulu. Salah satunya adalah mobil-mobil-an yang bisa dinaiki. Hebat. Mobil kecil berwarna kuning, yang hanya bisa ditumpangi oleh pengemudinya saja, dan dijalankan dengan kaki, bukan mesin.
Giliranku untuk tes membaca tiba. Aku dihadapkan dengan seorang wanita yang harus kupanggil Cikgu. Aku tafsirkan kalau Cikgu ini adalah orang India karena ada tanda merah bulat bak lampu merah tanda berhenti di persimpangan jalan raya. Hidungnya mancung. Tinggi sekaligus kekar macam jantan perawakannya. Betina rasa jantan agaknya. Makin takut saja aku dibuatnya.
Cikgu menyodorkanku sebuah buku yang berjudul: “Tentang Budi”. Dalam hati aku bergumam, ‘Aih, Indonesia, Malaysia, tak ada beda. Sulit kupercaya kalau buku Ini Budi adalah dasar membacanya anak-anak’.
Aku membacanya dengan cepat dan lancar karena sebenarnya aku sudah muak dengan Budi. Selama hampir setahun aku belajar membaca asal-usul Budi. Sampai hapal di luar kepala! Yang membuat aku bertanya-tanya, siapakah nama ibu dan ayah Budi? Wujud Budi sendiri macam mana pun aku tak tahu.
“Natasha sangat lancar sekali membacanya. Anda pasti mengajarinya dengan baik sekali.” Demikian laporan hasil tes membacaku tadi.
“Tidak. Natasha memang suka membaca.”
Amboi. Bila masa aku tiba-tiba dipanggil ‘Natasha’? Cantik sungguh.
“Hanya saja tingkat konsentrasinya perlu ditingkatkan. Dia membaca dengan melihat mainan yang berputar di langit-langit kelas. Sehingga membuat saya harus terus menyuruhnya menundukkan kepalanya agar melihat buku.”
Itu karena aku sudah hapal betul dengan Budi dan keluarganya. Jawabku dalam hati.
“Oh, maaf. Natasha memang jenis anak yang suka penasaran.” Kata Neng agak malu, entah bangga.
“Itu bagus sekali, Madame.”
Ada-ada saja. Tadi aku dipanggilnya ‘Natasha’. Sekarang dia memanggil Neng ‘Madame’. Aku pula harus memanggilnya Cikgu.
“Jadi macam mana hasilnya?” Lanjut Neng.
“Tentu saja dia lulus, Madame.”
Tak kusangka akan disampaikan dengan begitu praktisnya. Pikirku dia akan menyatakannya dengan basa-basi yang beruntai-untai terlebih dahulu. Membuat debaran pada masing-masing dada kami dahulu.