1
Neng
Aku bersembunyi di balik gorden besar bercorak bunga-bunga yang lapuk. Aku bersembunyi bukan karena takut dengan Nengku yang saat ini tengah mencariku untuk dihajarnya habis-habisan. Aku hanya mempermainkan saja. Walaupun rasa takut itu akan selalu timbul tepat saat Neng berhasil menemukanku dengan mata melotot, dan rotan panjang yang siap menebas-nebas tubuhku menghilangkan semua debu-debu kenakalan.
“Ndek endi kon, Minah! Metu kon!”1
Suaranya hampir dekat. Tapi tak apa. Biasanya tidak ketahuan kalau di sini. Aku sudah berkali-kali sembunyi di sini. Jujur saja hatiku berdebar kencang. Kalau-kalau nanti tempat persembunyianku ini terdeteksi, maka—biasanya—aku akan mencari tempat persembunyian yang baru. Sebenarnya tidak banyak tempat di rumah ini yang bisa dibuat bersembunyi. Karena rumahku adalah rumah yang tergolong sederhana, dan aku rasa sangat mudah menemukanku. Tapi aku rasa karena Neng mencariku dalam keadaan marah, maka dia tidak fokus. Padahal kalau dia bisa sedikit lebih tenang kemungkinan menemukanku akan lebih mudah karena aku akan dengan sendirinya menyerahkan diriku. Karena dengan kondisi yang tenang—entah apa alasannya—kemungkinan besar Neng tidak menebasku dengan pedang andalannya—rotan—itu.
Tapi aku tahu, Neng tak akan menyerah begitu saja dengan hanya memarahi dan menasehatiku. Kenakalanku, jangankan dimarahi, dipukuli saja sudah kebal.
Eh? Tiba-tiba senyap. Tak ada lagi suaranya yang membahana itu memanggilku. Tidak pernah seperti ini. biasanya Neng tidak akan berhenti meneriaki namaku sebelum dia mendapatkanku. Aku curiga. Ada sesuatu yang lebih pentingkah selain menghajarku?
Aku membuka sedikit gorden, membuat celah untuk melihat suasana. Eh, tidak ada, ya? Apakah aman kalau aku keluar sekarang? Padahal selama ini keadaan tak akan pernah tentram sebelum Neng memukulku terlebih dahulu. Aku menelan ludah memberanikan diri melangkahkan kaki untuk keluar dari benteng pertahanan. Sebenarnya kakiku sudah kelewat kebas dari tadi. Yang benar saja. Hampir satu jam aku berdiri di situ. Jangan komentar satu jam itu tidak ada apa-apanya. Coba saja sendiri. Biar kalian tahu rasanya bagaimana penderitaanku. Tapi aku yakin kalian tidak mau melakukannya. Siapa juga orang yang mau cari derita kalau bukan orang miring.
Sebelum tubuhku sempurna keluar dari tempat persembunyianku, tiba-tiba suatu bunyi mengiang dari belakangku. Membuat tubuhku bergetar sepenuhnya.
Gubrakkk!!!
Aku menoleh ke belakang. Ternyata Neng yang memukul kaca jendela rumah kami yang paling besar dengan amarah yang meluap. Di balik jendela, Neng sudah membawa pedangnya dengan muka bengis siap menghabisiku. Ah, aku lupa kalau kaca kami tembus pandang. Badanku pasti—secara tidak sengaja—terlihat olehnya dari teras rumah. Aku sekali lagi menelan ludah yang dari tadi sudah tertahan.
Ya Tuhan. Habislah aku.
- Dimana kamu, Minah? Keluar kamu!Aku bersembunyi di balik gorden besar bercorak bunga-bunga yang lapuk. Aku bersembunyi bukan karena takut dengan Nengku yang saat ini tengah mencariku untuk dihajarnya habis-habisan. Aku hanya mempermainkan saja. Walaupun rasa takut itu akan selalu timbul tepat saat Neng berhasil menemukanku dengan mata melotot, dan rotan panjang yang siap menebas-nebas tubuhku menghilangkan semua debu-debu kenakalan.
“Ndek endi kon, Minah! Metu kon!”1
Suaranya hampir dekat. Tapi tak apa. Biasanya tidak ketahuan kalau di sini. Aku sudah berkali-kali sembunyi di sini. Jujur saja hatiku berdebar kencang. Kalau-kalau nanti tempat persembunyianku ini terdeteksi, maka—biasanya—aku akan mencari tempat persembunyian yang baru. Sebenarnya tidak banyak tempat di rumah ini yang bisa dibuat bersembunyi. Karena rumahku adalah rumah yang tergolong sederhana, dan aku rasa sangat mudah menemukanku. Tapi aku rasa karena Neng mencariku dalam keadaan marah, maka dia tidak fokus. Padahal kalau dia bisa sedikit lebih tenang kemungkinan menemukanku akan lebih mudah karena aku akan dengan sendirinya menyerahkan diriku. Karena dengan kondisi yang tenang—entah apa alasannya—kemungkinan besar Neng tidak menebasku dengan pedang andalannya—rotan—itu.
Tapi aku tahu, Neng tak akan menyerah begitu saja dengan hanya memarahi dan menasehatiku. Kenakalanku, jangankan dimarahi, dipukuli saja sudah kebal.
Eh? Tiba-tiba senyap. Tak ada lagi suaranya yang membahana itu memanggilku. Tidak pernah seperti ini. biasanya Neng tidak akan berhenti meneriaki namaku sebelum dia mendapatkanku. Aku curiga. Ada sesuatu yang lebih pentingkah selain menghajarku?
Aku membuka sedikit gorden, membuat celah untuk melihat suasana. Eh, tidak ada, ya? Apakah aman kalau aku keluar sekarang? Padahal selama ini keadaan tak akan pernah tentram sebelum Neng memukulku terlebih dahulu. Aku menelan ludah memberanikan diri melangkahkan kaki untuk keluar dari benteng pertahanan. Sebenarnya kakiku sudah kelewat kebas dari tadi. Yang benar saja. Hampir satu jam aku berdiri di situ. Jangan komentar satu jam itu tidak ada apa-apanya. Coba saja sendiri. Biar kalian tahu rasanya bagaimana penderitaanku. Tapi aku yakin kalian tidak mau melakukannya. Siapa juga orang yang mau cari derita kalau bukan orang miring.
Sebelum tubuhku sempurna keluar dari tempat persembunyianku, tiba-tiba suatu bunyi mengiang dari belakangku. Membuat tubuhku bergetar sepenuhnya.
Gubrakkk!!!
Aku menoleh ke belakang. Ternyata Neng yang memukul kaca jendela rumah kami yang paling besar dengan amarah yang meluap. Di balik jendela, Neng sudah membawa pedangnya dengan muka bengis siap menghabisiku. Ah, aku lupa kalau kaca kami tembus pandang. Badanku pasti—secara tidak sengaja—terlihat olehnya dari teras rumah. Aku sekali lagi menelan ludah yang dari tadi sudah tertahan.
Ya Tuhan. Habislah aku.
——————————————————————-
- Dimana kamu, Minah? Keluar kamu!