Ketua BEM UI Zaadit Taqwa mengacungkan kartu kuning dan meniup pluit disaat Presiden Jokowi memberikan pidato di acara Diles Natalis ke-68 Universitas Indonesia di Balairung, pada Jumat (02/02). Maka, pada Rabu (7 Februari 2018) Pesantren Media menggelar Diskusi Aktual untuk membahas persoalan ini.
Apa maksud kartu kuning itu?
Banyak pro dan kontra. Mungkin disini kita bertanya-tanya apa maksud Zaadit mengacungkan map kuning tersebut di dalam forum yang formal. Dalam konferensi persnya, Zaadit memberikan kejelasan tentang maksud dari map kuning dan pluit tersebut, “ini adalah sebuah simbol bahwa kami memberikan peringatan kepada Pak Jokowi bahwa masih banyak pekerjaan-pekerjaan, masih banyak PR yang belum selesai, dan peringatan ini kami fokuskan, kami khususkan pada tiga isu yang menjadi tuntutan kami,” kata Zaadit.
Tanggapan Presiden Jokowi
“Saya kira ada yang mengingatkan bagus sekali. Dan mungkin nanti saya akan kirim Ketua BEM untuk ke Asmat, dari UI, biar melihat betul bagaimana medan yang ada di sana. Kemudian problem-problem besar yang kita hadapi di daerah-daerah yang ada, terutama di Papua,” ujar Jokowi.
- Imam: Bagian mananya yang dimaksud menghina presiden?
Qais: Mungkin yang dimaksud tidak sopan itu sama halnya seperti guru, sama saja kita mempermalukan guru kita.
Zadia: Sebenarnya, sopan atau tidak sopannya itu relative. Karena itu acara yang formal jadi keliatan tidak sopan, padahal apa yang dilakukan Zaadit sah-sah saja. Bukan suatu bentuk kesalahan, karena dia hanya menyampaikan apa yang dia pikirkan dan ingin mengkritik.
Abdullah: Zaadit menggunakan cara yang tidak sopan. Walaupun pemimpin itu tidak benar, kita harus tetap mengikuti peraturannya. Contoh, sama halnya seperti guru. Karena itu forum terbuka, caranya tidak sopan. Dia bisa bicara baik-baik dengan Presiden secara baik-baik.
Ukkasyah: Kesimpulannya, di satu sisi tidak sopan, yang dibicarakan dalam forum berbeda dengan apa yang dikritik. Di sisi lain karena tidak tepat waktunya. Saya lebih mengambil hadits riwayat Ahmad tentang menasihati penguasa.
- Abdullah: Bagaimana cara mengomentari pemimpin dengan cara yang baik dan benar?
Fathimah: menurut pendapat saya, itu relative. Jika menurut pandangan orang biasa itu bukan sesuatu yang buruk-buruk ‘amat’. Namanya juga membenarkan. Contoh, pada masa Umar bin Khattab ada seorang perempuan yang mengkritik Umar tentang mahar, Umar berkata , “perempuan jangan meminta mahar yang besar karena akan memberatkan pihak laki-laki.” Lalu perempuan itu mengkritik Umar, dan itu tidak kasar. Mungkin kesopanan dilakukan karena presiden memiliki tahta yang tinggi. Menurut saya itu ma’ruf. Bagaimana cara berbicara dengan penguasa? Yang penting tidak mengumpat dan kasar. Tapi kalau mengancam keselamatan kita, lebih baik jangan. Namun jika kita memiliki ‘kekuatan’, maka boleh-boleh saja.
Imam: Ada hadits tentang menasihati penguasa, “Jika kita ingin menasihati penguasa, maka cari orang yang tepat. Jika tidak mau menerima nasihat, maka dengan lisan, jika masih menolak maka dengan tangan, dan yang terakhir berdoa.” HR.Ahmad, tidak lain seperti itu bunyi haditsnya. Yang penting kewajiban kita sudah gugur. Nah yang dilakukan Zaadit itu termasuk menasihati menggunakan kekuatan atau tangan.
- Qais: yang salah ketua BEM UI atau Jokowi?
Yang salah siapa, menurut saya dua-duanya. Zaadit taqwa menyampaikan kritikannya di forum yang tidak tepat. Sedangkan kesalahan presiden karena tidak menepati janji. Katanya, BEM mempunyai pertemuan khusus, tapi tidak jelas waktunya. Jadi zaadit mengambil keputusan untuk melakukan itu.
Imam: Jokowi tidak melakukan apa yang dia disampaikan atau janjikan. Anehnya, kenapa Jokowi tidak mau membeberkan itu di forum umum. Jokowi hanya mau mendiskusikan Asmat dengan BEM UI saja. Jadi, banyak kejanggalan-kejanggalan. Pihak ui sudak menjadwalkan khusus supaya nama baik presiden terjaga.
Fathimah: Jawabannya objektif jika kita melihat dari sisi siapa. Kita lihat akarnya kenapa dia seperti itu. Ternyata beberapa Universitan sudah kesana dan menghalang dana, dll. Sudah melihat apa yang terjadi di sana dan sudah mengkritik. Yang jelas, karena ada masalah di janji presiden yang tidak ditepati. Mungkin dengan cara seperti itu kasus Asmat akan lebih diketahui oleh masyarakat dan ditanggapi oleh presiden.
Zadia: Sebelumnya sudah ada pertemuan , tapi tidak diberi kejelasan. Sah-sah saja karena sudah berusaha tapi tidak ditanggapi. Dilihat dari membedakan kesopanan dan dampak. Melihat dampak yang akan terjadi setelah kejadian itu, mungkin kasus asmat akan lebih dperhatikan.
Tasha: Mungkin itu kesalahan, karena acara formal memang harus dijaga. Acara formal yang saya ketahui ada acara yang hanya dihadiri pejabat-pejabat tinggi. Dan di acara tersebut dihadiri oleh mahasiswa-mahasiswi, mereka rakyat, jadi itu bukan acara formal. Sebenarnya jika dilihat siapa yang salah, yang salah adalah orang-orang yang mempersalahkan. Jokowi sendiri menanggapi itu sebagai hal yang biasa.
- Adam: BEM itu partai atau apa?
Ukkasyah: BEM itu Badan Eksklusif Mahasiswa, jika di sekolah sama seperti OSIS. Dan itu berbeda dengan patai.
[Laporan dari Zuyyina, santri kelas 2 jenjang SMA]