Alam, manusia dan banjir saling membantu
Masih kuingat bagaimana air kotor memasuki rumah yang saat itu hanya ada aku sendiri
di sana. Dan aku tidak bisa berbuat banyak kecuali duduk di atas tangga sambil melihat air yang
perlahan meluap hingga membasahi sofa-sofa yang ada. Yang kupikirkan saat itu, bagaimana air
ini bisa masuk? Apakah banjir memang bisa setinggi ini, seperti yang biasa hanya aku lihat di
tivi?
Banyak yang bilang air banjir itu kiriman dari Kota Hujan Bogor. Karena hujannya yang
deras, volume air sungai naik dan menyebabkan sungai di Jakarta meluap lalu terjadilah banjir.
Padahal saat SD dulu, guruku bilang kalau banjir termasuk bencana alam tapi bisa juga
bencana buatan. Kalau berdasar pada volume air yang meningkat karena hujan di Bogor yang
menyebabkan banjir, apakah itu berarti manusia tidak berperan serta di dalamnya?
Kalau dipikir-pikir, memang benar karena hujan volume air meninggi dan menyebabkan
banjir. Tapi kukira kalau hanya itu saja pohon-pohon seharusnya bisa mengatasinya. Bogor Kota
Hujan, ya, tapi mereka juga punya pohon-pohon yang pasti lebih banyak dari Jakarta, yang
tentunya bisa menyerap air hujan yang begitu derasnya.
Alasan Jakarta tetap tergenang meski pohon-pohon di Bogor menyerap air? Banyak hal
penyebabnya. Penebangan pohon secara liar dan, hei, bukankah sampah yang menumpuk di
sungai menjadi alasan penyebabnya juga?
Andaikan saja tidak ada sampah di sana, meskipun air tetap meluap, banjir tidak akan
setinggi lututku. Mungkin hanya setinggi sandal jepitku saja.
Ketika alam memberikan air hujan yang seharusnya memberi berkah, manusia
membelokkannya menjadi bencana lewat hal-hal kecil tapi sering mereka lakukan. Contohnya?
Penebangan pohon itu mungkin hanya sekali-kali saja manusia lakukan. Awalnya untuk kayu
bakar, beralih ke pembuatan rumah, dan semakin menjadi-jadi keinginan mereka hingga lupa
untuk kembali bercocok tanam.
Dan sampah itu, setiap manusia pasti pernah membuang sampah sembarangan, baik
disangaja ataupun tidak. Meski hanya satu dua, tapi jika semua orang melakukannya
menumpuklah sampah. Sering pula dijumpai sampah bertumpuk di sungai-sungai. Biasanya para
ibu rumah tangga menjadikan sungai sebagai TPA, aku juga sering melihat ibuku membuang
sampah di rumah ke sungai.
Hasilnya mana?
Aku berjalan memasuki kamar adikku di lantai dua, bosan melihat air banjir memasuki
rumah. Dari sana, lewat jendela kupandangi sekeliling. Banjir membuat para pengguna
kendaraan bermotor tak bisa bergerak sementara di antara mereka arus air terus menyerang
bersama sampah yang bermacam bentuknya. Dari bundelan plastic besar hingga bungkus
makanan paling kecil.
Aku jadi teringat, berita-berita di tivi banyak menayangkan korban jiwa akibat banjir.
Setelah kupikir-pikir lagi, kalau salah satu penyebab banjir adalah sampah yang menumpuk,
bukankah itu berarti orang-orang yang membuang sampah sembarangan ikut berdosa karena
secara tidak langsung kami membunuh para korban jiwa, membuat mereka sakit, juga
menghanyutkan, merusak dan menghilangkan harta benda mereka.
Ah, tapi, bukankah selama ini banyak komunitas-komunitas alam yang melakukan
kegiatan penghijauan. Yah, setidaknya, aku banyak melihatnya di tivi. Walau tidak tau
bagaimana hasilnya. Dari semua berita komunitas alam yang menggalakkan aksi penghijauan,
media hanya menyorot proses awalnya saja. Aku belum pernah melihat mereka menyorot
bagaimana akhirnya pohon itu tumbuh setinggi rumahku.
Ah, manusia, manusia. Kami itu aneh. Banyak yang seratus soal peduli lingkungan lewat
ucapan, tapi sepuluh dalam perbuatan dan nol dalam hasil. Aku tau itu, karena aku juga manusia.
Dan aku mengakui kalau seringkali kami terlihat peduli padahal mengabaikan sepenuhnya soal
alam.
Mau bukti? Buktinya ada pada diri manusia itu sendiri. Coba tanyakan, pernahkah
mereka mengatakan lingkungan itu harus bersih asri nyaman, alam harus dirawat dengan baik
dan sejenisnya disertai teori-teori yang meyakinkan? Pasti jawabannya iya. Lalu pernahkah
mereka, setidaknya menanam pohon sekecil dan setinggi piala juara tiga, atau membuang
sampah pada tempatnya? Jawabannya pasti setengah-setengah, antara mungkin atau kadang.
Bagaimana dengan hasilnya? Ketika ditanya apa yang dilakukannya saja manusia
menjawab setengah-setengah, apalagi hasilnya.
Bukti pastinya, lihat apa yang pernah kalian cabut atau injak dengan tangan dan kaki
kalian. Dan pastikan apa yang kalian buang di selain tempat sampah. Jadi jangan banyak omong
soal Kota Hujan yang mengirim air atau banjir kiriman, atau menyalahkan hujan yang jatuh
dengan deras. Kami, para manusia, juga ikut serta dalam bencana yang ada.
Dan kami menerima akibatnya sendiri.
[ZMardha] willyaaziza, Bogor