Loading

Pagi yang cerah itu, Bu Narsih, seperti biasa mencari matapencahariannya di pantai di sekitaran Pulau Seribu. Sampah. Itu pemandangan sehari-hari yang memenuhi cakrawala laut dalam pencarian nafkahnya. Dimana-mana ada sampah. Mulai dari sampah dedaunan, tempurung kelapa, hingga ke sampah yang sangat sulit bumi mengurainya ; botol minuman, stereofoam bungkus makanan, semua berasal dari parawisatawan yang mati urat rasa kebersihannya. Belum lagi limbah kotoran hitam yang menjadi larva-larva di tengah lautan membuat ekosistem karang terusik dan terancam keberlangsungan hidupnya.

Bu Narsih mengawali harinya dengan bekerja sebagai pencari rumput laut hitam untuk pakan ternak. Kersi itulah sebutan gampang dari rumput laut hitam.

Kersi basah yang ia kais di pinggiran pantai yang dihampari karang cacat itu ia jemur hingga kering. Hasilnya memang tak seberapa, namun dari sinilah ia bisa menghidupi dirinya dan satu anak semata wayangnya Eneng. Matahari pagi itu menerpa dan menyinari tulang punggung Bu Narsih. Sinar itu seolah memberinya kekuatan untuk trus bekerja. Namun pendapatan kersi yang diperoleh Bu Narsih selalu berkurang.

Sepertinya kersi ini enggan tuk terus hidup di sini. Bagaimana tidak, rumahnya yaitu terumbu karang banyak yang telah mati akibat pencemaran lingkungan. Kualitas kersi yang dihasilpun menurun drastis. Hampir semua para pengumpul kersi ini tak menerima hasil kersi Bu Narsih karena kadar racun yang tinggi sehingga membahayakan untuk dikonsumsi oleh ternak. Secara otomatis penghasilan Bu narsih pun berkurang. Alhasil ia harus menutupi biaya sehari-hari dengan cara kerjaan sampingan sebagai pemulung.

Nasib Bu Narsih sungguh sangat memprihatinkan. Dengan sekuat tenaga ia banting tulang sendirian tanpa didampingi oleh kepala keluarga yang telah lama ditinggal. Nasib Bu Narsih persis sama dengan karang, walaupun kontruksi karang tegar diterjang ombak namun sekarang nasib karang tergerus oleh corong-corong limbah pabrik.

Apakah kita hanya diam saja dengan kerusakan alam yang sudah sangat fatal ini? Indonesia yang notabene sebagai sumber terumbu karang terbesar di dunia. Bahkan di kepulauan Bunaken Sulawesi, 2/3 terumbu karang dunia ada disini.

Sudah selayaknya kita sebagai kilafah di muka bumi jangan hanya merusak lingkungan secara langsung maupun tidak langsung. Contoh langsung adalah nelayan menjala ikan dengan pukat harimau. Jelas ini sangat membunuh kawanan terumbu karang. Sehingga dalam waktu singkat nelayan itu sudah membunuh matapencahariannya sendiri. Bagaimana ikan bisa hidup tanpa ada tempat untuk berlindung. Otomatis rantai makanan ikan putus.

Untuk itu, kerusakan terumbu karang di kepulauan seribu, Jakarta, menjadi cambuk terhadap penyelamatan di pantai-pantai Indonesia yang lain. Sehingga Bu Narsih-Bu Narsih lain tak mengalami hal yang sama. [Dini Purnama Indah Wulan, santri angkatan ke-2 Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini bagian dari tugas menulis di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

By Administrator

Pesantren MEDIA [Menyongsong Masa Depan Peradaban Islam Terdepan Melalui Media] Kp Tajur RT 05/04, Desa Pamegarsari, Kec. Parung, Kab. Bogor 16330 | Email: info@pesantrenmedia.com | Twitter @PesantrenMEDIA | IG @PesantrenMedia | Channel Youtube https://youtube.com/user/pesantrenmedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *