Another sunny day
Has come and gone away
In Paris and Rome
I want to go home
Hari yang telah lama aku nantikan akhirnya tiba. Bukan hanya aku, sih. Kami semua menantikannya. Saat dimana kami dapat bersua kembali bersama orang-orang terdekat, bertemu dan bercanda lagi bersama teman lama, dan mengunjungi tempat-tempat yang paling mengesankan di daerah kita.
Ya, ini saatnya pulang!
Hari ini hari Senin, tepatnya tanggal 6 Agustus 2012, dua hari sebelum tanggal lahirku. Meskipun kami dihitung yang pulang terakhir, karena kebanyakan dari kami sudah pulang pada tanggal 4 dikarenakan mereka berasal dari luar Jawa. Ah, tapi tak apa. Kami sudah sangat bersyukur masih bisa pulang, karena rumah kami masih bisa dijangkau kendaraan.
Tiket sudah kami pesan awal-awal, jadi menjelang hari pulang, kami tidak memikirkan tiket lagi. Kami tinggal membereskan barang-barang yang akan kami bawa pulang. Hm, pakaian secukupnya, bekal makan dan minum di perjalanan, dan yang paling penting, notebook yang nantinya akan digunakan untuk menggarap tugas-tugas yang diberikan para pengajar kami di Pesantren Media.
Bus kami berangkat pukul satu siang, jadi Ustad Umar mengusulkan agar kami datang dua jam sebelum bus berangkat. Pasalnya, Ustad Umar khawatir jika kami datang sedikit terlambat saja, sesuatu yang tidak kami harapkan bisa terjadi. Seperti tempat duduk yang sudah digunakan orang lain, atau yang lebih fatal, tertinggal bus. Ih, ngeri deh.
Aku berangkat berdua dengan kakak sepupuku yang masih sedaerah di Temanggung. Dia adalah Musa, yang juga merupakan teman seangkatanku di Pesantren Media. Perjalanan bersama dia membuat kegugupanku saat pertama kali naik bus antar provinsi sedikit berkurang. Well, setidaknya aku masih punya teman jika terjadi apa-apa.
Ssst… Sebenarnya, aku sedikit mengabaikan perintah Ustad Umar. Sebelum berangkat, aku nekat pergi dulu ke Gramedia yang terletak di Botani Square, yang jaraknya tentu cukup jauh dari tempat bus kami akan berangkat, hanya untuk membeli sekuel novel yang menurutku sangat seru, The Hunger Games. Musa sudah memintaku agar tidak terlalu lama di Botani, biar nggak ketinggalan bus, katanya. Aku mematuhi perintahnya dengan tidak berlama-lama di toko buku. Aku masuk Gramedia, menyambar buku yang hendak aku beli dan segera ke kasir untuk melunasi pembayaran. Semudah itu? Tunggu dulu!
Musuh terbesar kendaraan adalah macet. Siapa yang tidak benci macet? Saat aku pulang dari Botani dan melaju menuju pom bensin tembat bus kami berhenti, angkot 03 yang aku naiki terjebak macet. Ratusan anak SD memenuhi jalanan. Mereka terlihat ceria sekali bersama dengan orangtua mereka, berkendara menggunakan sepeda motor dan mobil. Tapi keceriaan mereka adalah pemandangan yang sangat mengerikan di mataku. Bagaimana kalau aku telat?
Oh, tidak!!!
Aku merogoh HPku yang aku letakkan di kantong celanaku. 12.32. Leganya, aku masih punya banyak waktu. Tapi, apakah aku bisa menjamin kemacetan ini tidak akan bertahan lama?
Setelah cukup lama bergelut dengan kegelisahan, aku pun bisa bernafas lega. Aku terlepas dari kemacetan , sehingga aku bisa mencapai pom bensin tepat waktu.
Aku dan Musa segera naik ke dalam bus, dan setelah cukup lama menunggu, akhirnya bus pun melaju meninggalkan Bogor.
Berbeda dengan naik pesawat atau kereta api, bus membuat kami dapat memandang sekeliling selama perjalanan dengan lebih leluasa. Kami dapat mengamati orang-orang di jalanan, mobil-mobil dan motor-motor yang berdesakan, dan pepohonan kota yang warnanya sangat menyegarkan mata.
Ada pengalaman yang lucu di sini. Aku dan Musa memutuskan untuk berbuka, karena dalam ilmu fikih, kami termasuk orang yang sedang bepergian, yang mana mendapatkan keringanan dalam berpuasa fardhu. Saat itu, aku sedang nikmatnya mengunyah roti sambil melihat pemandangan di luar jendela bus. Tiba-tiba saja, tatapanku bertubruk dengan tatapan seorang mahasiswa muslimah yang jilbabnya cukup besar. Dia menatapku penuh dengan rasa benci dan jijik. Maaf kalau diksinya sedikit hiperbola, tapi aku lebih suka menyebut tatapannya seperti itu. Aku awalnya tidak menyadari apa salahku. Tapi kemudian, aku tahu bahwa dia menatapku dengan cara seperti itu karena aku dengan enjoy-nya makan di tengah ramainya orang sedang berpuasa. Ternyata kaca bus ini transparan!
Aku tidak terima. Ini cewek nggak mikir, ya, kalau aku ini musafir? Pikirku saat itu dengan sewotnya. Aku baru saja hendak membalas tatapan yang tidak enak itu, saat bus sudah terlalu jauh untuk mengijinkan tatapan kami bertemu.
Aku mengeluhkan perihal itu kepada Musa. Dia hanya tergelak. Katanya: “Itu pelajaran. Kalau lain kali kita lihat orang nggak puasa saat bulan Ramadhan, mungkin saja dia memiliki alasan yang cukup syar’i.”
Aku hanya nyengir mendengar penjelasan itu. Pasalnya, aku adalah orang yang mudah berprasangka buruk kepada orang lain. Hehehe… Betul juga, ya.
Bus yang kami naiki terus melaju. Aku asyik dengan buku yang tadi kubeli, sementara Musa tampak terus berfikir sambil menatap jalanan yang ramai. Apa yang dia pikirkan? Entahlah, tentunya bukan hal yang cukup penting bagiku. Aku pun menempelkan earphone MP3 dan melupakan apa yang baru saja terjadi. Aku masuk dalam dunia Suzzane Collins.
Waktu terus bergulir. Tanpa terasa, matahari sudah sampai pada saatnya untuk meredupkan cahayanya, sehingga penerangan yang tersedia sudah tidak memungkinkan lagi untukku membaca buku. Aku menyerah. Aku meletakkan buku itu dan melihat ke jalanan, seperti apa yang dilakukan Musa.
Hei, sudah sampai mana ini? Pertanyaanku itu cukup konyol, karena kami tidak mengenal daerah yang harus kami lewati untuk sapai di Temanggung yang masih jauh. Apa guna pertanyaan tadi?
Musa menekuri setiap plang dan poster iklan yang kami lewati. Dia menyebutkan sebuah daerah, tapi aku terlalu tidak peduli untuk sekedar mendengarkannya.
Aku tidak tahu harus melakukan apa dalam bus yang ternyata sudah berjalan selama 5 jam. Menurut perkiraan, kami akan sampai di Temanggung pada pagi hari pukul 4. Hmm, berarti aku punya banyak waktu untuk bermimpi. Tanpa pikir panjang, aku memejamkan mataku dan hanya dalam beberapa saat, aku sudah meninggalkan alam realitaku.
Aku terbangun saat bus berhenti di warung makan. Semua penumpang turun, yang tentunya sudah sangat lapar. Saat itu jam menunjukkan angka 10. Sangat terlambat untuk makan malam, memang. Tapi, perut yang kosong bagaimanapun harus segera diisi.
Pada awalnya, aku dan Musa sedikit ragu memasuki warung makan itu. Bagaimana kalau nanti bayar, padahal di tiket dituliskan, biaya tiket sudah termasuk biaya makan sekali. Atau, bagaimana kalau ternyata bayar dan harganya mahal sekali? Ih, nggak mau ah!
Namun, pada akhirnya, aku dan Musa memantapkan diri untuk masuk.
Kami terlonjak senang karena penjaga warung makan itu hanya meminta tiket kami. Saat itu juga aku mengerti, bahwa perusahaan bus sudah memiliki rumah makan khusus untu para penumpang mereka. Sesuatu yang cukup menarik bagiku, karena aku belum pernah menyadari yang seperti ini sebelumnya.
Setelah makan, perjalanan pun kembali diteruskan. Aku dan Musa shalat di dalam bus. Ini pengalaman pertamaku shalat di atas sebuah kendaraan darat umum. Setelah shalat, aku pun mulai mengantuk. Makanan yang tadi kulahap telah menyebabkan kantuk yang khas. Aku pun jatuh tertidur lagi.
Aku kembali terbangun. Suasana kini berbeda. Tunggu! Aku mengenal tempat ini!
Aku mengucek mata dan bertanya pada Musa, kita sudah sampai mana? Oh, ternyata kami sudah sampai di Sukorejo! Ini adalah kecamatan dimana aku mengenyam pendidikan menengah awal di pondok. Tempat yang sangat familiar ini seketika membuat kantukku hilang. Aku ingin menikmati sensasi nostalgia masa-masa SMP. Saat itu sudah pukul 03.15 dini hari.
Bus kami sempat melewati pondokku, dan aku hanya bisa melihatnya sekilas saja. Bus melaju terlalu kencang. Setelah melewati pondok, aku kembali teringat masa-masa saat aku dan adikku pulang dari pondok. Pulang pondok adalah acara yang selalu ditunggu-tunggu setiap orang dari kami. Pemandangan yang paling berkesan saat pulang adalah sebuah ladang yang cukup luas namun sedikit miring yang biasanya ditanami jagung. Meskipun saat itu gelap, namun aku bisa membayangkan saat aku melewati tempat ini dengan perasaan yang sama. Entahlah, sebuah perasaan yang sulit aku gambarkan. Namun, saat itu juga, aku kembali merasakan sesuatu yang mungkin Musa tidak rasakan. Aku seperti sedang berada tepat setahun yang lalu. Di tempat yang sama, dengan kondisi dan situasi yang sama. Namun, aku setahun yang lalu tiba-tiba tersedot dalam sebuah pusaran yang membingungkan, membawaku dengan sangat cepat menembus lorong waktu, dan, hei! Tiba-tiba saja aku sudah sampai tahun 2012. Aku sedang pulang dari sekolah SMAku di Bogor. Sungguh susah dipercaya.
Aku tahu, mungkin siapapun akan menganggapku gila. Tapi, kata ibuku, orang yang selalu memiliki pikiran yang gila, adalah orang yang mampu memandang hidup dan kehidupan dari sisi yang berbeda.
Aku tersenyum. Bus masih terus melaju.
Kami sampai di terminal lama Temanggung tepat pukul 04.00. Ada beberapa tukang ojek sudah menunggu kedatangan penumpang. Mereka terlihat berebut calon penumpang. Aku bisa melihatnya dari gelagat mereka yang saling dorong, bahkan sebelum pintu bus terbuka.
Dua dari mereka beruntung. Aku dan Musa melaju menuju rumah menggunakan jasa yang mereka berdua tawarkan. Saat motor melaju kencang, aku kembali merasakannya.
Ya! Perasaan inilah yang tidak pernah aku rasakan di sebuah tempat pun di setiap sudut dunia ini. Perasaan bahwa aku sudah di rumah! Oh, betapa rumah adalah sesuatu yang sangat dirindukan setiap orang.
Temanggung memiliki udara yang berbeda dengan Bogor. Di Temanggung, suhu rasanya seperti di lemari es, berbeda dengan daerah-daerah dataran rendah. Inilah yang membuat Temanggung begitu spesial di mataku.
Kami menembus kota Temanggung dini hari yang masih sangat sepi. Aku membentangkan tangan untuk merasakan udara dingin yang mengalir di kulitku. Aku pulang. Dan aku sudah sampai di rumah. [Hawari, Santri Pesantren Media, Kelas 1 SMA]
Catatan: Sebagai tugas menulis catatan perjalanan di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media
ada kesalahan penulisan jam:
Tempat yang sangat familiar ini seketika membuat kantukku hilang. Aku ingin menikmati sensasi nostalgia masa-masa SMP. Saat itu sudah pukul 15.15 dini hari.
jika disebut dini hari, seharusnya 03.15, dan bukan 15.15