Hari ini tanggal 5 Maret, namun yang lebih penting dari itu adalah bahwa hari ini aku akan berangkat ke Senayan, ikut serta meramaikan Islamic Book Fair ke 13 bersama teman teman lainnya.
Usai review di pesantren jam tujuh pagi, kami berangkat naik bus APTB sekitar jam setengah delapan setelah sebelumnya bersempit sempitan mempertahankan posisi demi duduk nyaman di dalam angkot. Setidaknya semua itu terbayar di bus ini, bangku di baris ke dua menjadi tempat yang nyaman untuk menempuh perjalanan ini. Setiap baris terdiri dari tiga bangku, aku berada di tengah, Ustadz Oleh di sebelah kiriku dan Rizki sebelah kanan.
Singkat perjalanan, kami tiba di senayan sekitar jam sepuluh. Sedikit lebih lambat dari waktu normal, tentu saja itu terjadi karena ada sedikit kemacetan ketika bus mulai memasuki perkotaan Jakarta, kendaraan padat merayap seperti sebuah antrian di pintu loket yang terjadi karena jumlah loket yang tersedia sangat tidak sebanding dengan pembeli yang datang, sehingga mengantri menjadi pilihan yang terpaksa diambil untuk mendapatkan sebuah tiket.
Sebelumnya, bus APTB yang kami naiki berhenti di halte Polda. Dari halte, kami menyebrang menggunakan jembatan layang, berjalan sedikit lagi, dan kami sampai.
Hal pertama yang kami lakukan setelah sampai di lokasi adalah mengumpulkan masing masing anggota kelompok. Setiap santri telah dibagi menjadi beberapa kelompok. Dan aku menjadi ketua dari 3 orang lain yang menjadi tanggung jawabku, Fadlan, Qois, Abdullah.
Kami mulai menjelajah bersama kelompok masing masing. Memasuki pintu masuk pertama, seolah masuk ke dunia yang berbeda. Sekarang aku lebih senang menyebutnya dunia buku. Tempat dimana kau tak akan mampu menghitung jumlah buku yang ada, ribuan judul, jutaan jumlahnya, bahkan mungkin jauh lebih banyak dari yang ada dalam pikiranku saat itu.
Barangkali setiap pengunjung di sini sedang memikirkan beberapa judul buku yang belum sempat terbeli, kemudian dengan iming iming diskon yang cukup besar, mereka rela berdesak desakan mencari satu dari ribuan buku lain, meniti dan membaca setiap buku yang dilihatnya, kemudian menyamakannya dengan judul yang masih tersimpan di kepala. Belum lagi harus antri ketika membayarnya.
Lupakan tentang itu, aku belum berfikir untuk mulai mencari buku, penjelajahan baru saja dimulai, kurasa sebaiknya mengetahui terlebih dahulu seluk beluk lokasi ini. Aku dan yang lainnya berjalan menuju tribun, panggung utama. Panggung diisi dengan acara talkshow bersama dua keluarga hafidz.
Dibanding IBF tahun lalu, ada perbedaan yang sangat menonjol ketika aku memperhatikan stan stan yang tersedia di panggung utama ini. Jika tahun lalu dipenuhi dengan penerbit penerbit besar seperti Gramedia, Mizan, Republika. Maka kali ini aku tak melihat semua penerbit tersebut di sini.
Sampai saat ini, kami masih belum tahu apa yang harus dilakukan? Kemana sebaiknya melanjutkan perjanan? Masih tetap buntu, kami hanya duduk di tribun, menyaksikan talkshow, atau mungkin hanya melihatnya, karena percakapannya nyaris tak terdengar karena suara ribuan pengunjung lain sukses menyamarkannya. Bosan dengan acara tersebut, aku membawa kelompokku berjalan, terus berjalan, hanya berhenti ketika ada hal yang membuat penasaran, kemudian berjalan lagi, menelusuri belokan demi belokan, bertemu dengan belokan yang sama, melewati jalan yang juga sudah dilewati, hingga sampai ke titik kejenuhan.
Mondar mandir tak jelas dan tanpa tujuan membuat waktu berjalan seolah lebih cepat, aku lelah, dan saat memperhatikan jam di HP, hampir Dzhuhur. Sekarang waktunya makan siang, kami berkumpul di samping musholla takaful, di sanalah rombongan Pesantren Media makan siang di atas sebuah tikar.
Adzan Dzuhur terdengar, aktifitas para pengunjung perlahan mulai berpindah, keluar dari gedung istora, kemudian memenuhi setiap musholla yang tersedia. Musholla kini seperti sebuah sarang semut dengan semut semut yang membludak jumlahnya. Bahkan, telat sedikit berpengaruh sangat lama ketika antri di tempat wudhu.
Usai Dzuhur, aku mulai mencari buku bersama Musa. Mengamati setiap tulisan yang kulewati, tak juga kutemukan buku yang sedang aku cari. Kami mendatangi stan stan penerbit besar, seperti Gramedia dan Mizan. Masih belum ketemukan.
Setelah ratusan stan yang kulewati sejak pagi tadi, aku mulai menyerah dengan pencarian buku sejak tadi kucari cari. Maka aku melupakan buku tersebut, kemudian membaca baca buku lain, barangkali ada buku yang membuatku tertarik.
Tak lama setelah itu beberapa buku kudapatkan. Merasa cukup, aku dan Musa kembali ke rombongan. Setelah semuanya berkumpul, kami akhirnya pulang sekitar jam dua siang. Sebelumnya tak lupa foto bareng di depan Gedung Istora.
Perjalanan pulang berbeda dengan saat berangkat. Kami tidak menggunakan bus APTB, Ustadz Oleh memutuskan naik busway terlebih menuju Kota, kemudian dari sana naik Commuter. Kepututsan tersebut diambil karena bus APTB baru akan tiba sekitar jam 4 sore, dan itu terlalu sore.
Mengantri dari jam 2 siang, akhirnya kami berhasil merangsek masuk ke dalam busway sekitar jam setengah 4. Ustadz Oleh bersama rombongan akhwat telah berangkat terlebih dahulu, mungkin 45 menit yang lalu.
Aku sempat menghitung jumlah halte, kami melewati 15 halte dari Polda menuju Kota, dengan pemandangan yang selalu sama, gedung gedung menjulang, tidak terlalu tinggi, ditambah jalanan padat Ibukota. Salah satu tanda tanda akhir zaman, dimana orang orang mulai berlomba lomba membangun gedung tinggi.
Di dalam busway, penumpang berdiri berdesak desakkan, berjubel, menciptakan peluang baik bagi para pencopet, aku waspada. Namun beberapa orang mendapat keburuntungan baik, sepertiku, baru saja masuk ke dalam busway, langsung mendapat bangku karena orang yang duduk di depanku hendak turun di halte selanjutnya. Teman teman yang lain, Fadlan, Mas Farid, Rizki, Ihsan, terpaksa harus tetap berdiri, bertahan dengan rasa pegal setelah mondar mandir di Istora.
Aku menawarkan bangkuku kepada Ihsan, karena kulihat wajahnya seperti sangat kelelahan, ia menolaknya. Namun tak lama setelah itu, Ihsan mendapat bangku duduk tepat disis kiriku.
Busway terus melesat lancar di jalurnya, dan berhenti sejenak ketika sampai di halte halte yang tersedia. 45 menit dalam busway bukan perjalanan yang singkat, apalagi bagi yang harus berdiri mengalaminya, namun itu adalah konsekuensi yang harus dihadapi bagi setiap penumpang. Kurasa mereka tahu tentang itu.
Kulihat Ustadz Oleh dan rombongan akhwat sudah menunggu di depan musholla stasiun kota. Mereka sudah sholat, kini giliran kami sholat Ashar sebelum melanjutkan perjalanan yang masih panjang.
Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan menggunakan commuter, tiket seharga 5000 akan membawa kami sampai di bogor. Jauh lebih murah dibanding kendaraan umum lainnya. Tak da yang tidak tahu bagaimana penuhnya penumpang commuter, dari awal memasuki pintu commuter, suasanan itu langsung terasa. Tak ada satupun kursi kosong. Kami berdiri kurang lebih 2 jam di dalam commuter, merasakan puncak keletihan yang bertumpu di kaki.
Namun ini pertama kalinya aku merasakan yang seperti ini, bukan sekedar berdesak desakan, melainkan berhimpit satu sama lain, saling dorong, mempertahankan posisi masing masing. Aku berdiri di depan pintu kereta sebelh kiri. Awalnya tidak terlalu penuh, sehingga aku masih bisa duduk di lantai kereta. Namun setelah kereta memasuki stasiun kemayoran, bahkan berdiri pun butuh perjuangan agar tetap bertahan. Aku merasakan sedikit sesak saat berusaha menghiurp oksigen, perutku tertahan karena berhimpitan dengan penumpang lain.
Terhimpit keras oleh penumpang lainnya, pipiku menempel di kaca pintu sebelah kiri kereta. Semakin sempit setiap kali kereta berhenti di stasiun, semakin panas ketika kesempitan semakin bertambah, semakin lelah ketika aku berdiri semakin lama. Dan orang orang pun semakin kesal ketika kereta beberapa kali berhenti di pertengahan rel, mungkin menyesuaikan jadwal dengan kereta lainnnya agar tak terjadi miss.
Setelah semua kesengsaraan itu kurasakan, akhirnya stasiun demi stasiun membuat penumpang perlahan berkurang, ruangan lebih lega dan lengang. Akhirnya dapat bernafas lebih lega. Namun tetap saja kaki ini terasa sangat letih, bayangkan rasa lelah ketika harus berdiri 2 jam di dalam kereta, betisku terasa seperti mau pecah.
Adzan maghirb terdengar, tepat ketika kereta memasuki stasiun Bogor. Aku meluruskan kaki sejenak, kemudian mulai berjalan menuju mosholla di Stasiun Bogor. Selanutnya, kami menaiki kendaraan terakhir, angkot. Alhasil, jam 7 kurang kami sampai di Pesantren dengan selamat, hati riang, perut lapar, dan kaki pegal. Namun terbayarkan oleh rasa puas setelah hati terasa lebih fresh oleh jalan jalan bermanfaat, mendapatkan buku dan menambah pengalaman.
[Ahmad Khoirul Anam, Santri Angkatan ke2, Jenjang SMA, PesantrenMedia]