[Banjir sebagai peristiwa musiman di Jakarta]
Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi. Tingginya curah hujan ini menyebabkan dampak positif dengan banyaknya keragaman fauna yang tumbuh. Namun tidak sedikit pula yang menjadikan curah hujan tinggi sebagai dampak negatif dari banyaknya bencana yang terjadi. Diantaranya adalah tanah longsor dan banjir yang marak dibahas media. Tingginya frekuensi hujan turun di Indonesia seringkali menyebabkan bencana tanah longsor dan banjir terjadi.
Jakarta, Ibu Kota Indonesia ini sudah menjadi langganan banjir dari tahun ke tahun. Sejak zaman Belanda, Jakarta sudah dilanda banjir. Tercatat, banjir pertama kali dirasa tahun 1621, diikuti tahun 1654 dan tahun 1876. Seiring berjalannya waktu, banjir kian sering ‘bertamu’ ke Ibu Kota.
Hal ini membuktikan, bahwa sejak penduduk Jakarta yang masih sedikit, banjir tetap melanda. Namun frekuensi terjadinya bencana ini kini semakin sering. Memasuki tahun 2000, banjir di Jakarta terjadi hampir tiap tahun, hingga menjadikannya siklus tahunan.
Alam dan manusia
Banyak hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya banjir di Jakarta yang membuatnya seperti siklus tahunan. Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam terjadi ketika intensitas curah hujan yang turun terlalu tinggi, Hal ini menyebabkan meluapnya air sungai yang kemudian membanjiri daerah di pesisir sungai. Banjir yang terjadi akibat faktor alam ini dikategorikan sebagai bencana alam.
Sementara faktor manusia terjadi karena adanya campur tangan manusia di dalamnya. Di zaman sekarang, banyaknya hutan yang gundul karena penebangan tanpa reboisasi yang dilakukan manusia, menyebabkan hutan tidak dapat menahan laju air yang menuruni lereng dan bukit, hingga terjadilah tanah longsor. Tersumbatnya got sebagai saluran air karena sampah yang menumpuk juga menjadi penyebabnya.
Belum lagi sungai yang seharusnya dilalui banjir tidak bisa menampung air dari pegunungan karena dijadikan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dadakan oleh warga sekitar. Tertutupnya bantaran sungai karena banyaknya rumah-rumah warga yang resmi maupun liar juga menjadi salah satu penyebabnya. Hal ini membuat lebar sungai-sungai yang ada di Jakarta semakin menyempit, dari umumnya tujuh puluh lima meter menjadi tiga puluh lima meter.
Mengingat banjir yang terjadi di zaman Belanda tidak sesering di tahun dua ribuan, juga penduduk yang jumlahnya belum sebanyak sekarang, banjir saat itu bisa dikategorikan terjadi oleh alam karena tingginya intensitas curah hujan yang turun. Sementara banjir yang sering ‘mengunjungi’ Jakarta akhir-akhir ini, terjadi karena faktor alam dan faktor manusia yang memperkeruh keadaan.
Akibat yang beragam
Dibalik banyaknya dampak negatif dari banjir, tidak banyak yang tahu jika banjir memiliki dampak positif.
Banjir, khususnya banjir kecil memberi dampak positif berupa keuntungan dengan terisinya kembali air tanah, menyuburkan dan memberikan nutrisi ke tanah. Air banjir juga menyediakan air yang cukup di kawasan dengan curah hujan yang tidak menentu seperti Jakarta. Banjir juga menambahkan banyak sekali nutrisi untuk danau dan sungai yang dapat memajukan industri perikanan. Kelangsungan sumber air terbarukan sangat tinggi di daerah rawan banjir.
Meski dampak positif dari banjir sudah terjabarkan, dampak negatif dari banjir juga tidak lantas dianggap sebelah mata.
Secara umum, dampak negatif yang ditimbulkan banjir terbagi menjadi tiga yaitu dampak primer, sekunder dan tersier atau jangka panjang. Dampak primer berupa kerusakan fisik. Rusaknya berbagai jenis struktur termasuk jembatan, mobil, bangunan, selokan bawah tanah, jalan raya, kanal dan sejenisnya adalah contoh dari kerusakan fisik yang terjadi akibat banjir.
Sementara dampak sekunder bisa berupa terkontaminasinya air, membuat air minum bersih menjadi langka. Contoh lainnya adalah penyebaran penyakit bawaan air karena konsisi yang tidak higienis. Persediaan makanan yang sedikit karena gagal panen, juga sulitnya mengirimkan bantuan darurat kepada korban banjir karena jalur transportasi hancur. Banyaknya korban jiwa akibat banjir juga termasuk dalam dampak sekunder.
Berbeda dari dua dampak lainnya, dampak tersier atau jangka panjang ini merambat ke dunia perekonomian yang sulit. Penurunan jumlah wisatawan, biaya pembangunan kembali, kelangkaan makanan yang membuat kenaikan harga terjadi, dan sejenisnya, lebih mendominasi.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, di tahun 2012 ke 2013, wilayah yang terkena banjir meningkat drastis dari 10 kecamatan menjadi 35 kecamatan. Tahun-tahun selanjutnya wilayah yang terkena dampak bertambah satu sampai dua kecamatan hingga di tahun 2015. Banyaknya wilayah terdampak diikuti oleh kerugian korban jiwa. Banjir sejak tahun 2012 sampai 2015 menelan 42 warga setempat.
Di tahun 2016 wilayah yang terkena dampak banjir mengalami pengurangan menjadi 25 kecamatan dan tidak menelan korban jiwa. Sementara di tahun 2017 ini, hingga tanggal 22 Februari lalu, wilayah terdampak ada di 15 kecamatan dengan kedalaman tertinggi 1,5 meter dan menelan dua korban jiwa.
Dapat disimpulkan bahwa di tahun 2016 ini banjir di Jakarta sudah mulai bisa diatasi.
Jangka pendek atau jangka panjang?
Teratasinya banjir di Jakarta ini tidak lepas dari kesadaran akan perlunya tindakan penanggulangan banjir. Kesadaran ini sudah ada sejak zaman kolonial yang pernah dilanda banjir besar di tahun 1918. Seorang guru besar berkebangsaan Belanda, Prof. Ir. Herman Van Breen merencanakan suatu konsep strategis dalam menanggulangi banjir. Yaitu, berusaha mengendalikan air dari hulu sungai dan membatasi volume air yang masuk ke kota.
Agar rencana ini termanifestasikan, perlu dibangun kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air dan dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Saluran kolektor itu kini dikenal sebagai Banjir Kanal Barat (BKB) yang memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai hingga bermuara di kawasan Muara Angke.
Ditetapkannya Manggarai sebagai titik awal ini karena wilayahnya yang cukup aman dari gangguan banjir. Sehingga memudahkan sistem pengendalian air di saat musim hujan. BKB yang mulai dibangun tahun 1922 ini mengatur banyaknya aliran air ke dalam kota dan dilengkapi dengan beberapa pintu air.
Banyak beban yang terangkat dengan adanya BKB. Diantaranya sungai yang lebih terkendali. Kanal-kanal yang dibangun setelahnya juga dimanfaatkan sebagai sistem drainase kota untuk mengatasi genangan air di dalam kota.
Tapi meski dengan adanya BKB yang mampu mengatur debit air yang masuk ke kota, hal ini tidak lantas menjadikan Jakarta bebas dari banjir. Semakin tingginya intensitas banjir di Jakarta membuat pemerintah melakukan berbagai upaya guna mengatasi banjir. Sebagai contoh normalisasi sungai dengan membuat betonisasi di sekitar bantaran sungai.
Meski normalisasi sungai ini sudah membuktikan eksistensinya, tapi ini bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi banjir. Karena berkurangnya lebar ruas sungai akibat bantaran yang dijadikan hunian justru akan semakin berkurang lebarnya dengan adanya betonisasi.
Seorang pakar tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, berpendapat bahwa daripada normalisasi, ia lebih sepakat jika pemerintah menjalankan naturalisasi sungai. Berbeda dengan normalisasi sungai yang membuat betonisasi, naturalisasi sungai ini bertujuan membuat bantarannya menjadi alami kembali.
Naturalisasi ini bertujuan mempertahankan ekosistem yang berada di dalam sungai dan sekitarnya. Keberadan pepohonan di sekitar sungai yang permukaannya tinggi membantu sebagai daerah resapan air. Hal ini membuat air tidak mengalir begitu saja, tapi terserap ke dalam tanah untuk menjadi cadangan di musim kemarau kelak.
Selain mempertahankan ekosistem sungai, naturalisasi juga bertujuan meminimalisir akibat dari normalisasi, yaitu penggerusan yang menyebabkan sungai cepat dangkal karena lumpur yang terbawa dari hulu.
Selain itu, ekosistem hewan juga patut diperhatikan, karena akan menimbulkan bencana timbal balik (ekologis) jika terabaikan. Ekosistem hewan ini berfungsi untuk mengendalikan satwa liar di sekitar sungai yang bisa mencegah timbulnya bencana lain seperti penyakit.
Normalisasi sungai mungkin menjadi solusi instan, tetapi tidak lantas mengatasi masalah mendasar dari banjir. Belum lagi dampak yang ditimbulkan akibat solusi instan ini malah menimbulkan masalah lain.
Meski naturalisasi sungai membutuhkan waktu yang lama agar terealisasikan dan membutuhkan bantuan dari berbagai pihak, seperti masyarakat agar menjaga lingkungan tetap bersih dengan tidak membuang sampah ke sungai dan sekitarnya. Tapi naturalisasi sungai ini merupakan solusi jangka panjang guna menjadikan banjir di Jakarta terlepas dari gelarnya sebagai peristiwa musiman.
willyaaziza [ZMardha]