Ahad, 5 Agustus 2012
Treet treet.
Pukul menunjukkan 06.00 WIB. Wah harus buru-buru siap-siap nih. Di jadwal tiket, pesawat yang kutumpangi berangkat jam 09.05 WIB. Jadi paling tidak jam 07.30 aku harus sudah berada di bandara untuk check-in. ini pengalaman pertamaku naik pesawat sendiri bung. Dan jarak antara Jakarta ke Banda Aceh tidaklah dekat. Paling tidak aku menghabiskan waktu di pesawat dengan ketinggian 32.000 kaki di atas permukaan laut. Waw! Bisa kau bayangkan kawan? Bagaimana tidak jantung ini tidak berhenti berdegup kencang tak karuan. Tapi untunglah, di boarding tadi aku sempat membaca dzikir pagi Al-ma’tsurat. Jadi Allah berkenan memberikan ketenangan yang mendalam ketika aku berada di pesawat.
Pas mau berangkat masuk ke pesawat, aku ketemu dengan kawan lama ku waktu SMA dulu ya itu pasti si Herru Muhammad Riskie. Aha! Kawan akrab ku itu. Gokil orangnya dan agak sedikit cuchok! Hahaha..
“ hi Herru pakabar? Satu pesawat nih kita ya.. dah lamajuga kita nggak ketemu.”
“wah kabar baik Din, lo mau balik ke Banda? Ngapain lo disini? Liburan?” Tanya nya yang tak kalah antusia dengan ku.
“Wew, udah lo-lo ya ngomongnya? Mentang-mentang dah 2 tahun lebih di Bandung. Hahahha . ya begitulah pertemuan singkat kami yang harus terpaksa terpisah karena berbeda seat. Aku duduk di sit 4C sedangkan dia 14C.
Si Herru itu teman satu team di SMA wajahnya India abis dengan tubuh kurus cungkring. 2 tahun lalu dia tes di Universitas Padjajaran, Bandung dan lulus di jurusan Hubungan Internasional. Satu lagi ada Teuku Faris teman SMA ku juga dan tinggal dekat dengan rumahku . Tapi aku lupa jurusan apa dia.
***
Nah kawan aku akan menceritakan kisah unik lainnya di perjalan aku pulang kampung. Baru kali ini aku liat ada ibu-ibu yang memakai cadar berwarna ungu aneh tapi itulah fakta adanya.
Pas check-in aku juga ketemu dengan Ustadz Azmi. Dia adalah Ustadznya para kaula muda di Banda Aceh. Melalui beliau juga aku diperkenalkan hipno terapi, jurnalistik dan beliau juga memiliki even organizer KTC-024, dan memiliki media berupa tabloid untuk remaja dan rutin menggelar training kejurnalistikan pada pelajar dengan mengusung tema :
Pelajar Cerdas Besama Media.
Wah penampilan ustdz ini sungguh beda pas aku temui. Nggak Nampak sedikitpun kalau dia itu adalah ustadz. Potongannya berupa T-Shirt dan Jeans. Ternyata ia sudah tinggal di Jakarta karena istrinya yang dokter itu mengambil spesialisasi di UI. Spontan saja segala bisnis profit dan non profitnya di Banda Aceh di stopkan. Saying ya padahal bisnis beliau di EO sudah sangat bagus.di tambah lagi beliau baru saja merintis warung “soto hebat” yang bebas pengawet. Dan aku pernah mencicipi secara gratis dan enak bukan kepalang.
Lalu, ketika aku nunggu keberangkatan pesawat di boarding, disamping tempat dudukku ada wanita setengah baya menyapaku.
Kutebak sekilas wajahnya, pasti dari Aceh. Ternyata benar. Banyak obrolanku bersama ibu itu. Sampai aku menceritakan seputar Pesantren Media. Sepertinya dia tertarik dengan promosi ku teman. maklum lah selama setahun aku ada belajar singkat mengenai marketing dan mempelajari Bagaimana mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain. Tak lupa rangkaian buku lainnya yaitu Personality Plus. Menurutku komunikasi itu penting kawan. Dengan komunikasi yang bagus kita bisa mengenggam dunia. Dan sebaliknya jika komunikasi buruk akan meruntuhkan dunia dan membuat kekisruhan. Dan ini terjadi pada puluhan tahun lalu. Perang Dunia yang diakibatkan miss communication.
Dan pesawat ku segera take off. Tapi anehnya di bandara tersibuk se Indonesia ini kalo mau take off, harus antri dulu. Tak seperti di Bandara Sultan Iskandar Muda yang langsung tancap gas. Aneh baru kali ini aku rasakan pesawat berjalan sedikit-sedikit dan pelan-pelan. Serasa naik bis. Ada sekitar setengah jam lamanya kami menungu. Akhirnya pesawat pun meluncur dengan kencangnya. Aku melihat sepintas kota Jakarta dari udara. Lautan polusi asap dan debu. Tak seperti sebulan lalu aku mendarat di Bandara pada malam hari yang pemandangan di bawah begitu mempesona. Lautan cahaya lampu menghiasi Ibukota.
Sriwijaya telah melanglang buana di atas awan dengan ketinggian 32.000 kaki. Di sepanjang perjalanan aku habiskan kan waktu mendengar music di HP yang telah flight mode on dan sesekali aku mengobrol dengan ibu-ibu yang berada disampingku. Dan dua-duanya berparas batak yang tujuannya tentu ke Medan. Di akhir pas beberapa menit lagi mau mendarat di Polonia, Medan, ternyata ibu-ibu yang duduk disampingku adalah seorang janda yang akan melepas jandanya. Dia telah lama tinggal di Jakarta dan tujuannya ke Medan untuk pulang kampung. Dan lebih kagetnya lagi dia ini ada darah Aceh dari nenek ibunya yang asli orang Lhokseumawe. Tapi sedikitpun tak ada sisa paras wajah Aceh di mukanya. Akan tetapi lidah Aceh yang masi lekat. Dia sering merindukan masakan Aceh. Dan selalu minta dikirim asam sunti dari keluarganya yang masih tinggal di Aceh.
Memang kawan, bagi yangsudah pernah mencicipi masakan Aceh pasti ketagihan dan lidah nggak pernah bohong untuk cita rasa masakan Aceh yang sangat khas itu. Sampai-sampai Farah Quinn yang pernah masak-masak di Aceh dan mencoba beberapa penganan khas Aceh seperti Timphan, menulis status di fan page facebooknya bahwa ia sangat kangen dengan masakan Aceh dan warganya yang ramah-ramah.
Pesawat pun landing dengan mulus di Bandara Polonia. Para penumpan tujuan Medan turun dan tujuan Aceh tetap dalam pesawat. Para petugas pun bersih-bersih memungut sampah penumpang yang sebelumnya membuang sampah sembarangan. Dan penumpang yang dari Medan ke Aceh pun segera naik ke pesawat. Alhamdulillah kursi di smaping ku kosong. Artinya bisa dengan leluasa aku disini. Ku pindah tempat dudukku ke dekat jendela. Ku siapkan kamera sony cyber shoot yang kemana-mana selalu ku bawa. Sama di bandara Soekarno-Hatta, di sini pun antri tapi tidak selama di Jakarta.
45 menit kedepan aku terus mengamati pemandangan di bawah sana. Pegunungan dan hutan kelapa sawit dengan rumah penduduk yang jarang-jarang. Kali ini Sriwijaya berada di ketinggian 30.000 kaki di atas permukaan laut.
Akhirnya setelah kurang lebih 45 menit, Sriwijaya pun berada di lintas udara Banda Raya Koeta Radja. Awesome! Pemandangan yang luar biasa. Pemandangan yang dulu hanya kulihat di foto, sekarang aku bisa menyaksikan sendiri seni rupa Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kusaksikan lautan luas yang menghubungkan dengan Pulau Weh, Sabang. Deep blue dalamnya laut di bawah. Ku ambil kamera dan jepret. Takkan kulewatkan momen ini. Pesawat yang kutumpangi cukup lama juga mengitari lautan Selat Malaka ini.
Kulihat daratan yang gersang dibakar oleh matahari apakah diluar sana begitu panas membara? Memang lautan di Banda aceh pernah memanas hingga 40 derajat celcius. Dan berdampak pada suhu di daratan yang panas luar biasa.
Dan benar saja. Pas pertama kalinya tubuhku keluar dari dalam pesawat, wusshh angin panas khas pesisir langsung menyambut kedatanganku. Ah! Apalagi ketika aku menapaki kaki di Tanah Rencong yang ku cintai ini hawa pantai memeluk tubuh ku erat sangking kangennya sama aku kali ya…? 🙂 sungguh kontras dengan suhu di pesawat apalagi sebelum pesawat mendarat di Polonia. Menggigil. Untung saja aku menyediakan sarung tangan ungu kesayangan.
Dan bis pun mengantarkan kami ke pengambilan bagasi. Di luar sana telah berjubel sanak keluarga yang menunggu kedatangan keluarganya dari luar kota. Ada juga calo-calo taksi yang menawarkan jasa.
Papa sudah ada di luar menuunggu dan langsung saja aku bawa trolly barang ke SX-OVER putih yang terpakir rapi.di dalam mobil ternyata ada Ibu dan Bahlawan ponakanku yang pertama telah menunggu.
Sepanjang jalan dari Bandara ke Rumah sepi. Dan dari tahun ke tahun di Aceh selalu sepi pas lagi ramadhan, apalagi di tengah terik siang begini. Rame baru jam 4 sore biasa membeli takjil untuk berbuka. Di dalam mobil pun sangat terasa hawa panas yang menusuk. Wah kayaknya Banda Aceh semakin panas.Baru ditinggal satu bulan sudah begini cuacanya.
Sejarah kota Banda Aceh panas bermula pasca tsunami dimana banyaknya pohon yang tersapu gelombang. Dan tanah Banda Aceh sudah menjadi basa. Jadi PH tanahnya tak lagi seimbang. Sebelum tsunami suhu udara di Banda Aceh normal. Baru terasa panas jika kita memasuki daerah perkampungan nelayan yang di pinggir laut. Sedangkan di kota Banda Aceh dalam radius 4 KM dari laut masi tergolong sejuk karena ada pohon-pohon besar asam peninggalan Belanda sepanjang jalan.
Apalagi pasca tsunami banyak pengundulan hutan untuk pembangunan rumah bantuan tsunami yang banyak membutuhkan kayu, batu, dan tanah liat di gunung.
***
Setelah 25 menit di perjalanan,akhirnya aku sampai juga di rumah orange tercinta. Ow ternyata rumah ku lagi ada proses penambahan teras didepan.
Dan momen selanjutnya adalah memasuki kamar hijau-ungu tercinta. Rapi jali. Seperti nya ibuku yang membereskan dan menggantikan seprainya… cantik sekali makasi ya bu..
Perutku keroncongan. Langsung saja aku membuka tudung saji di ruang makan. Hehe 😀 memang aku sedang berlibur puasa. Hmmm di bawah tudung saji hanya ada kuah kari. Karena lapar, dan kangen sama cita rasa masakan Aceh, langsung ssaja aku santap. Nasi hangat plus peyek. Sudah terasa nikmat. Pedesnya itu loh. Rempahnya itu loh. Gurih nya itu loh, yang tak mungkin ku temukan di tempat lain.
***
Sorenya setelah mandi, aku di ajak oleh abang pertamaku ke Taman Sari sambil membawa Bahlawan jalan-jalan menikmati udara sore hari yang sepoi-sepoi. Lokasi Taman Sari ini sangat dekat dengan Masjid Raya Baiturrahman.
Setelah puas bermain di taman, kami mencari makanan untuk berbuka. Karena sejak di Bogor, aku sudah bermimpi-mimpi untuk makan Ayam Lepas. Hmmmm sambelnya aku nggak nahan. Sedangkan abangku membeli mie seafood Aceh di Mie Rajali sejak 1967. Wah ini warung mie Aceh terkenal ari dulu. Sudah beberapa kali warung ini masuk TV. Salah satunya acara Selebriti on Vocation di Trans TV.
Alamat warung ini berada di daerah Peunayong 10 menit jika jalan kaki dari Majid Raya kesini. Sekilas sejarah Peunayong. Peunayong asal kata dari peu yang berarti me- nayong yang berarti payung jika digabung arinya memayungi.
Iya pemerintahan Aceh zaman dahulu menyediakan satu tempat untuk para pedagang yang berasal dari Cina. Yang diberi nama daerah itu Peunayong untuk memayungi/melindungi para imigran ini. Walhasil, daerah Peunayong ini menjadi daerah pusat perdagangan yang maju di Banda Aceh hingga sekarang. Bahkan bank-bank ternama seperti BCA meletakkan kantornya di daerah ini. KFC, AW serta pusat hiburan lainnya berada disini. Primagama usungan Purdi E. Chandra pun meletakkan waralabanya disini.
Setelah buka aku pun langsung tertidur pulas. [Dini Purnama Indah, santriwati Pesantren Media, tingkat 1 SMA]
[1] Jak U Woe Gampong (Pergi pulang kampung)
Catatan: tulisan ini adalah bagian dari tugas menulis catatan perjalanan dan diary di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media