Setelah setengah tahun lalu. Hampir saja aku lupa bagaimana rasanya rekreasi bersama teman, mengunjungi suatu tempat, kemudian menerbangkan dan membuang jauh jauh semua pikiran mengganggu, dan ketika hal itu terjadi aku benar benar ingin berteriak sekencang kencangnya.
Oktober 2013. setengah tahun yang lalu, pada tanggal tersebut, aku sedang berdiri di atas lapangan rumput bersama yang lainnya. Aku tak pernah lupa hari ketika semua wajah tersenyum gembira, tertawa lepas, juga terlihat begitu lelah karena terik matahari terasa begitu membakar kulit kulit kami yang sedang berlarian bermain bola, di Kebun Raya Bogor. Itulah rekreasi terakhir yang kami lakukan.
18 April 2014. Sedikit tak percaya, tapi saat ini aku benar benar berada di tempat yang jauh berbeda, lebih dingin, lebih sejuk, lebih berisik, namun lebih menenangkan pikiran. Luar biasa.
Anak tangga terkahir, menghubungakan pandanganku kepada pemandangan yang sangat menakjubkan. Air terjun mengalir deras, percikan air yang terjun bebas dengan ketinggian yang cukup menakutkan, membuat butiran butiran air tersebut terlepas dari gaya kohesinya, terpisah dari partikel sejenisnya. Oh, aku benar benar suka.
Sebuah kamera telah kupersiapkan, Dan mulai kuabadikan momen momen ini sejak kubaca pintu gerbang di depan, bertuliskan ‘Selamat Datang di Obyek Wisata Curug Cigamea’. Gerbang tersebut membawa kami kepada perjalanan panjang yang melelahkan, tak terhitung berapa puluh, atau mungkin ratusan anak tangga yang harus kami lalui satu per satu.
Semakin dekat ke lokasi wisata, aku memandangi sekeliling, tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan keindahannya, kecuali dengan menyucikan namaNya, Subhanallah.
Aku bergegas menaiki bebatuan yang meninggi di depan air terjun. Kemudian sedikit bergaya di depan lensa kamera. Tubuhku mulai merasakan kesejukan ketika butiran butiran air yang sangat kecil berterbangan menyentuh lembut kulit ini, suasana yang sama dengan saat kami rekreasi ke curug luhur, kurang lebih 1 setengah tahun yang lalu bersama almarhum Ustadz Umar Abdullah.
Tak sabar, aku segera ke toilet, mengganti pakaian secepat yang kubisa, kemudian langsung terjun merasakan dinginnya air curug, menenggelamkan setengah tubuhku ke dalam air rasanya seperti berendam di air freezer, Brrrrrr.
Tak ketinggalan, Ustadz Oleh dan Mas dedy juga ikut merasakan sensasinya. Namun tidak untuk Difa, ia terlalu asik dengan kameranya. Teman yang memiliki hobi fotografi ini lebih puas ketika mendapatkan objek foto yang indah daripada ikut bersenang senang bersama kami dalam kedinginan.
Tak begitu lama aku dapat bertahan dalam kedinginan itu, aku keluar dari kedinginan air curug, kemudian menghabiskan waktu yang tersisa untuk mengabadikan pemandangan indah ke dalam kamera poket yang sudah mulai buram, karena udara dingin masuk ke dalam lensa bagian dalam kamera, kemudian mengembun, menciptakan titik titik air yang menempel di lensanya.
Sungguh, tak pernah besan memandang ciptaan Allah. Gunung yang tercipta sebagai pasak bumi, mata air yang menjadi kebutuhan penting bagi manusia, pepohonan yang begitu indah. Allah bahkan menjelaskan secara khusus mengenai ciptaanya di dalam al Quran.
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Al Nahl: 11)
Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemu- lah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan. (Al Qomar: 12)
Dan gunung gunung sebagai pasak. (An Naba’: 7).
Sungguh, tidaklah Allah menciptakan semua itu kecuali bermanfaat dan sebagai tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.
Jam setengah 12, semua berjalan begitu cepat di tempat ini. Tak ada yang bosan menatap ciptaan Allah. Semua keindahan semakin sempurna saat hujan mulai turun, meski sedikit menghambat namun hujan yang turun menjadikan perjalanan pulang menjadi menantang. Menghindari basah air hujan, kami berlarian menaiki tangga pulang, cukup jauh, tak ada satu pun dari kami yang mau menghitung julah tang yang ada.
Sampai di suatu tempat yang cukup tinggi, dimana aku dapat melihat pemandang yang lebih indah. Aku berteriak sekencang kencangnya, tak peduli dengan orang lain yang mungkin akan heran. Beberapa teman mulai mengikuti teriakanku.
Hari ini aku benar benar puas, dimanjakan oleh pemandangan indah yang sungguh luar biasa, ditambah suara berisik air terjun yang justru menenangkan pikiran. Juga dibuat tertawa ketika melihat ekspresi Qois bergetar kedinginan.
Rekreasi ini berakhir dengan menyenangkan.
[Ahmad Khoirul Anam, santri angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media. @anam_tujuh]