Loading

Pada hari itu, seluruh ummat Islam di dunia merayakannya.

Jum’at, 26 Oktober 2012 yang bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1433 adalah tanggal dimana tibanya hari raya besar ummat Islam, yakni hari raya Idul Adha. Setelah berpuasa pada hari Kamis, ummat Islam pun merayakan lebaran Idul Adha dengan serentak. Masyarakat kota sampai pelosok desa, dimana masih ada ummat Islam di sana, semua merayakan hari raya Idul Adha. Mereka menyembelih hewan-hewan ternak sebagai kurban kepada Sang Pencipta, rasa syukur atas nikmat yang sangat banyak yang telah Dia berikan. Semua bersyukur pada hari tersebut, tidak terkecuali desaku.

Desaku bernama Greges. Desa ini terletak di kaki Gunung Sumbing, tepatnya di Kecamatan Tembarak, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Desa yang memiliki panorama sejuk dan pemandangan hamparan sawah hijau yang sangat khas. Pagi-pagi tanggal 26 Oktober, semua penduduk Desa Greges pun berkumpul di halaman selepan[1] yang luas. Semua datang dengan wajah berseri, badan yang harum, dan baju-baju putih yang nyaman ditatap mata.

Aku dan keluargaku datang kesana pada pukul 06.45, saat hampir semua orang sudah berkumpul. Berhubung ayahku, Taufiqur-Rahman, yang diamanahi untuk menjadi imam sekaligus penceramah shalat ied ini, maka shalat pun segera dimulai.

Selepas shalat dua rakaat dengan tujuh takbir di rakaat pertama dan lima takbir di rakaat kedua, ayahku berceramah panjang lebar tentang ketidaksesuaian antara demokrasi yang berlaku di Indonesia dengan ajaran syariat Islam. Beliau menyampaikan segalanya dengan berapi-api. Diksinya tajam menusuk namun tetap terdengar kasual.

Seusai shalat, ayahku mengumumkan bahwa penyembelihan akan dilaksanakan besok, tepatnya 27 Oktober 2012. Meski memang boleh menurut syariat, yakni waktu penyembelihan adalah seusai shalat ied hingga tiga hari tasyrik berikutnya, aku tetap kecewa. Itu artinya kami belum bisa makan enak nanti malam. Tak apalah.

Keesokannya, aku dan ayahku berangkat pagi-pagi ke tempat penyembelihan. Aku melihat orang-orang belum begitu banyak yang sudah datang, namun nampaknya hewan ternak yang hendak disembelih sudah tersedia di sana.

Desa kami menyembelih empat ekor sapi dan tiga ekor kambing.

Tak berselang lama, orang-orang mulai berdatangan. Kambing pun menjadi korban pertama. Banyak anak-anak yang berkerubung di sekeliling kambing untuk mengamati penyembelihan, dan aku salah satu yang berkerkerumun itu. Namun saat golok tajam itu bergesek dengan kulit leher kambing yang lunak, aku terpekik kaget dan segera memalingkan pandanganku. Ih, sadis sekali.

Kambing-kambing pun dengan cepat disembelih satu per satu. Kebetulan sekali, saat itu yang menjadi jagalnya adalah guruku di SMP IT Istiqomah dulu, yakni Ustad Saifuddin. Orangnya agak gemuk, tampangnya sedikit menyeramkan namun sebenarnya beliau ramah. Beliau sempat bertanya beberapa hal tentang liburanku, dan aku menjawab dengan senang hati.

Jika Ustad Saifuddin hari itu memenggal tujuh kepala, maka aku tidak melihat salah satunya pun. Bukannya tidak berani, namun aku selalu ngilu saat melihat penyembelihan. Entah kenapa.

Proses penyembelihan hewan kurban berlangsung agak kacau di awalnya. Beberapa orang sibuk dengan urusan masing-masing, namun banyak juga yang hanya menganggur dan sekedar mengamati saja.  Dan sapi yang gemuk-gemuk tersebut beberapa kali mengamuk dan hampir terlepas dari ikatan. Namun selebihnya, hari pengurbanan itu berjalan dengan lancar. Pada sore hari, tepatnya sekitar pukul 16.00, daging pun sudah selesai dibagikan.

Alhamdulillah. Sorenya, jatah daging keluarga kami pun datang. Wah, ternyata banyak sekali. Jelas saja, keluargaku terdiri dari sembilang anggota keluarga, sehingga jatahnya pun semakin banyak. Malam itu, ibuku membuat rendang yang sangat enak. Sering sekali aku tak mampu melukiskan rasa dari setiap masakannya dengan kata-kata. Ibuku memang jago memasak!

Begitulah kegiatan Idul Adha di tempatku. Tempatmu bagaimana? [Hawari, santri jenjang awal SMA di Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

 


[1] Tempat penggilingan padi yang memiliki lapangan luas untuk menjemur padi yang masih basah.

By Hawari

Hawari, santri angkatan ke-2 jenjang SMA di Pesantren Media | Blog pribadi: http://downfromdream.tumblr.com | Twitter: @hawari88

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *