“I remember…
The way you glanced at me, yes I remember
I remember…
When we caught a shooting star, yes I remember
I remember…
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember…
All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn
Do you remember… ?
When we were dancing in the rain in that December
And I remember…
When my father thought you were a burglar
I remember…
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember…
All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn
I remember…
The way you read your books,
Yes I remember
The way you tied your shoes,
Yes I remember
The cake you loved the most,
Yes I remember
The way you drank you coffee,
I remember
The way you glanced at me, yes I remember
When we caught a shooting star,
Yes I remember
When we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me,
Yes I remember”
Lagu “I Remember” yang dibawakan begitu nyaman di telinga oleh Mocca itu, mengalun dari Apple-nya. Aku menatap hujan petang itu. Pasti akan nyaman di sini. Begitu tenang dari tugas yang menumpuk, bisingnya suara perkotaan yang penuh polusi, deru kipas angin yang berbunyi ribut, panggilan-panggilan kepala asrama untuk berkumpul di perpustakaan, memotong daging kurban, aroma daging sapi dan kambing yang baru disembelih, peluh keringat yang jatuh lewat pelipis, serta suara guru-guru yang menjelaskan pelajaran. Kali itu hujan terasa dingin. Tetes-tetes hujan yang jatuh perlahan dari kaca jendela, terlihat romantis dengan bias cahaya kuning lampu taman. Aku kembali menatap Apple-nya. Sedangkan ia sibuk mengutak-ngutik i-phone hitamnya. Yang satu lagi sibuk ber-webcame-an ria di Apple-nya. Aku ikut menggila bersama gadis jangkung tersebut.berfoto-foto dengan pose yang aneh. Kadang monyong, muka datar, bahkan juling. Lalu tertawa satu sama lain sambil memukul-mukul springbed empuk tersebut.
Malam menunjukkan pukul 19.30. Mataku terasa sangat berat. Kantuk yang kutahan sedari tadi sepertinya tak kunjung pulih, walaupun mulutku sudah kusumpali dengan makanan ini dan itu. Aku merasa mataku mulai berair dan kemerahan. Aku menggigit gigit lidahku agar tak mengantuk lagi. Berkali-kali aku mencuci mukaku, namun kantuk tetap konsisten dengan adanya. Karena sudah tak tahan lagi, aku tertidur dengan lelap. Sebelum aku tidur, Alsha dan si jangkung Siela, sedang asyik memperdalam ilmu matematika mereka. Aku sama sekali tidak paham, apa yang mereka perbincangkan. Maklum, materi matematika di Pesantrenku beda jauh dengan materi yang ada di SMA mereka masing-masing. Di pesantrenku, aku diajarkan bagaimana memecahkan masalah kehidupan sehari-hari dengan matematika. Disebut juga sebagai materi Math Nalaria. Math Nalaria, adalah materi matematika dengan logika. Mengerjakannya tidak hanya mengandalkan rumus-rumus yang dulunya sudah pernah diberikan dari guru-guruku, melainkan dengan logika pula.
Well… Good night world?
Kemaren hari Jum’at. Semilir angin bertiup meniup dahan-dahan pepohonan. Daun kering jatuh dari tangkainya, lalu bergesekan dengan aspal keabuan yang kasar. Matahari muncul perlahan dari ufuk timur. Sinarnya lembut. Udara masih berembun dan dingin. Aku masih terlelap di bawah dinginnya AC dan dalam balutan selimut yang hangat. Aku masih belum sadar, sebentar lagi tepat pukul enam pagi. Begitu pula dengan Alsha dan Siela, nyawa mereka diambil sementara dan akan dikembalikan pada waktunya. Suara darah yang mengalir kencang di dalam tubuhku, membangunkanku pagi itu. Aku melirik jam di layar handphoneku. Astaghfirullah! Jam 05.45! aku kaget dan segera bangun dari tempat tidur. Lalu membangunkan dua kawanku yang bangun sama telatnya denganku. Aku segera mandi dan berwudhu, lalu cepat-cepat sholat Subuh. Ampuni aku ya Rabb, aku sholat di ujung waktu.
Takbir dan tahmid terdengar jelas pagi ini. Semalam, walaupun tidur jam satu lewat, kami bertiga sama sekali tidak mendengar ramainya orang takbiran. Semalem terasa hanya ribut dan ramai suara mesin kendaraan beroda dua. Para warga sekitar berbondong-bondong menuju masjid Miftahul Jannah yang dekat dengan kantor mamanya Alsha. Masjid ini memang tidak terlalu besar. Namun, lumayan untuk dijadikan tempat untuk sholat Id. Tadinya, kami bertiga akan sholat di lapangan yang jaraknya lebih jauh dibanding dari masjid ini. Namun, berhubung waktu, jadinya kami sholat Id di sini saja deh.
Aku duduk paling kanan, bersebelahan dengan ibu-ibu bermukenah warna putih. Ia mempunyai anak perempuan. Umurnya berkisar 3 tahun. Anak perempuan yang menggunakan baju warna pink tersebut sedang asyik memperhatikan domba-domba yang letaknya tak jauh dari masjid. Matanya kecoklatan, rambutnya mirip tokoh Dora pada kartun yang sering ditayangkan di GlobalTV. Oh iya, Siela duduk tepat di sebelah kiriku. Sedangkan Alsha, duduk di sebelah kiri Siela. Karena kalah cepat dengan jamaah sholat lainnya, akhirnya kami bertiga sholat di teras masjid. Enggak apa-apalah daripada kita enggak kebagian tempat sholat. Bisa gubrak!
Setelah menunggu sekitar 15 menit. Akhirnya sholat Id pun dimulai. “Allahuakbar”
***
Para jamaah sholat Id meninggalkan masjid Miftahul Jannah. Beberapa diantaranya ada yang menyaksikan penyembelihan hewan kurban. Sebenarnya, aku ingin sekali melihat pemotongan hewan kurban. Tapi, sang tuan rumah Alsha Merancia akan kedatangan keluarga besar di rumah Opanya. Jadilah aku dan Siela, ikut ke rumah Opanya yang memiliki wisma dan sebuah tempat refleksi. Opanya sangat baik dan ramah. Ketika aku datang ke rumah Opanya yang Subhanallah luasnya, aku di sambut baik dengan senang hati. Aku jadi kangen kakekku. Huhuhu…
Rencananya, pagi ini seteah makan-makan di rumah Opanya Alsha. Kami bertiga akan berkunjung ke Botani Square. Sebenarnya sih, semalam ditawarin sama mamanya Alsha buat ke Dufan. Tapi, WOW! *koprol* ternyata harga tiket masuknya Rp 150.000. Lebih baik liburan di Bogor ajadeh. Oke! Akhirnya, kita bertiga pergi ke Botani Square. Kita nonton di XXI, film MAX … apaaaa gitu. Lupa hehe. Filmnya keren. Menceritakan tentang seorang pembunuh yang memiliki hobi menyakiti orang-orang yang menurutnya mengganggu kehidupannya. Dari perempuan kaya, hingga seorang polisi laki-laki. Alur ceritanya benar-benar nggak disangka-sangka. Pada saat bagian endingnya, ternyata produser film barat tersebut memilih Bali, Indonesia sebagai salah satu latar tempat pembuatan film tersebut. Aku dan yang lain terpekik ketika tiba-tiba polisi barat tersebut mengucapkan “Iya, sama-sama” dengan logat khas bule. Lebih kagetnya lagi, ketika orang Indonesia ikut berperan di akhir ceritanya. Amazing film!
Memang tak lebih dari 15 orang yang nonton di theatre 2 tersebut. Sedikit dan sangat jarang. Tapi, film tetap terasa asik dan menegangkan.
Setelah puas nonton di XXI, kita langsung makan di AW. Lumayanlah enggak keluar duit. Mumpun ditraktir hehe. Setelah itu kita pulang ke rumah Alsha. Besok mau ke Kebun Raya Bogor, jadi harus istirahat cukup agar tidak terlalu lelah. [Noviani Gendaga, santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini adalah bagian dari tugas menulis di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media