Oleh Umar Abdullah
Tanya:
Santri saya,Saknah Reza Putri, bertanya apa hukum merayakan Tahun Baru Islam?
Jawab:
Hukumnya jelas-jelas haram.
Ada tiga alasan kenapa Islam melarang merayakan Tahun Baru Islam:
- Hanya Idul Adhha dan Idul Fithri yang dirayakan. Rasulullah saw memerintahkan kaum muslimin untuk merayakan hanya Idul Adhha dan Idul Fithri. Rasulullah saw bersabda: Likulli ummatin ’iidan wa haadzihi ’iidunaa: ’iidul adhha wa ’iidul fithri [Setiap umat memiliki hari raya. Dan inilah hari raya kita: Idul Adhha dan Idul Fithri]. Dengan kata lain, Rasulullah saw melarang merayakan hari-hari selain Idul Adhha dan Idul Fitri, termasuk awal tahun hijriyah 1 Muharram.
- Para Sahabat Nabi tidak ada yang merayakan Tahun baru Islam. Perlu diketahui, Penanggalan Islam mulai dipakai pada masa pemerintahan Amirul Mu`minin ’Umar bin Khaththab ra.
Padahal mereka menggunakan penanggalan Islam dan ada yang masih hidup hingga akhir masa Bani Umayyah. Tapi sekali lagi tidak ada satu pun sahabat Nabi yang merayakannya. Artinya, mereka bersepakat bahwa Awal Tahun Hijriyah tidak dirayakan. Tahun Baru Islam baru diadakan pada Abad ke-4 H di masa Kekhilafahan Fathimiyah yang beraliran Syi’ah Ismailiyah yang berpusat di Kairo Mesir. Tentu saja hal ini merupakan bid’ah yang sesat. - Rasulullah saw melarang tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang-orang kafir). Orang-orang kafir biasa merayakan tahun baru mereka. Orang Cina merayakannya dengan Imlek. Biasanya mereka merayakan dengan berpawai berikut liong dan barongsainya. Orang Romawi Kuno dan dilanjutkan oleh orang Nasrani merayakan tahun baru masehi Gregoriannya dengan perayaan kembang api. Orang Yahudi juga merayakan tahun baru penanggalan Yahudinya. Oleh karena itu merayakan tahun baru merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Kebiasaan yang tidak boleh menjadi kebiasaan umat Islam.
Seringkali orang memakai logika ”Daripada merayakan Tahun Baru Masehi lebih baik merayakan Tahun Baru Islam.” Tentu saja logika tidak biasa dipakai dalam memutuskan hukum suatu perbuatan. Hukum diputuskan dengan dalil, bukan dengan logika.
Oleh karena itu, Perayaan Tahun Baru Islam, baik dengan berpawai, menjadikannya libur resmi, grebeg Suro, atau membuat makanan khas tahun baru Islam, hendaknya segera dihentikan. Bagi yang sudah memahami keharamannya, hendaknya tidak ikut-ikutan berpartisipasi merayakannya. Begitu pula bagi ormas Islam, negara, dan kesultanan hendaknya segera bertaubat, kembali kepada kebiasaan umat Islam yang sesuai metode nabi.[]