Loading

Hari berikutnya Kak Iksan mengajakku pergi ke taman. Karena sudah lama tidak menghirup udara segar di sana, jadi kuputuskan menerima ajakannya. Taman yang kami datangi sungguh indah. Banyak bunga dan pepohonan yang tumbuh. Juga ada air terjun buatan yang airnya mengalir ke kolam. Angsa-angsa putih yang berenang di pinggir kolam menambah kecantikan tersendiri. Tapi aku merasa ada yang kurang di taman itu.

“Kak Iksan, kok enggak ada orang lagi di sini?” Tanyaku kepada Kak Iksan.

“Mmm, mungkin orang-orang lagi sibuk. Ini kan hari Senin.” Jawab kakak pelan. Kedua tangannya memegang tangkai kursi roda. Aku duduk di kursi itu.

“Zahra eggak seneng Kakak ajak ke sini, ya?” Tanya Kak Iksan.

“Seneng kok, Kak.” Bantahku.

“Ohya, Kak. Selain hujan, Ibu suka apa lagi?” Tanyaku pelan. Kakak kaget.

“Kalo tengah malam Ibu suka sholat tahajjud, melantunkan ayat suci Al-Qur’an, berdzikir di pagi dan sore hari, membaca buku dan pergi belanja.” Jawab kakak lembut.

“Ibu suka belanja?” Tanyaku antusias.

“Tentu. Tapi Ibu belanja seperlunya aja. Misalnya buat kebutuhan sehari-hari.” Jawab kakak.

“Oohh… gitu.” Kataku sambil tersenyum.

“Sampai suatu hari…”

Tiba-tiba kakak berhenti bicara. Aku bingung. Kulihat raut wajahnya sama persis saat dia pergi dan tidak menemaniku makan beberapa hari yang lalu. Seperti ada kesedihan dalam dirinya.

“Kakak kenapa?” Tanyaku. Kakak menghela nafas.

Aku serius memperhatikan kakak.

“Zahra?” Kakak mulai bicara.

“Iya, Kak.” Jawabku pelan.

“Sebenernya ada sesuatu yang ingin Kakak beritahu.”

“Tentang apa, Kak?” Tanyaku santai.

“Ini soal Ibu. Sebenernya Ibu meninggal bukan karena sakit.” Kata kakak. Aku kaget. Baru semalam aku mendengar kakak mengatakan hal yang sama kepada ayah. Kini aku mendengarnya lagi.

“Apa?” Kataku tak percaya. Bola mataku melebar.

“Iya. Zahra ingat, kenapa Zahra koma selama enam hari?” Tanya kakak.

“Enggak, Kak.” Jawabku. Kakak tersenyum.

“Hari itu Zahra pergi belanja sama Ibu. Ibu mau beliin jilbab baru buat Zahra. Ayah sama Kakak lagi ke rumah Pak Ridwan. Saat itu langit mendung. Ibu sempat dilarang pergi sama Ayah. Tapi Ibu bilang hari itu adalah hari yang baik.  Sampai terjadilah…”

Kakak berhenti bicara untuk yang kedua kalinya. Wajahnya merah dan ia menangis. Air matanya jatuh mengenai tanganku. Aku semakin bingung.

“Terjadi apa, Kak??” Tanyaku dengan nada suara agak kencang. Aku menatap tajam kakak. Ia menunduk.

“Kakak…!!” Teriakku. Aku mulai panik. Kakak masih diam membisu. Air matanya semakin mengalir deras.

Tiba-tiba suasana hening.

“Sampai terjadilah sebuah peristiwa yang mengejutkan kami.” Kata seseorang yang ada di belakangku dan kakak. Ternyata itu adalah ayah. Ayah baru saja sampai di taman.

“Ayah?” Kataku heran. Ayah tersenyum.

“Terjadi kecelakaan, Nak. Setelah Zahra dan Ibu ke luar dari toko, kalian menyebrang. Tapi Zahra ketinggalan. Waktu Ibu udah nyampe, Zahra masih ada di tengah jalan. Ibu panik dan balik lagi. Lalu sebuah mobil truk melaju kencang dan menabrak kalian.” Jelas ayah.

“Ib, Ibu…” Kataku terbata-bata.

Aku serius mendengarkan. Kata-katanya terlalu mengejutkanku. Hingga aliran darahku mengalir lebih cepat dari biasanya, jantungku berdegup kencang dan nafasku seakan sesak. Air mata mengalir deras di pipi. Lidahku kelu. Sesuatu seakan telah menusuk hatiku di bagian yang paling dalam.

Melihatku seperti itu, ayah tak kuasa menahan tangis. Linangan air mata membasahi kerutan di pipinya.

Lain lagi dengan Kak Iksan. Ia berusaha untuk berhenti menangis. Mencoba tenang sambil terus mengelus dadanya. Tapi ia tak bisa membohongi perasaannya. Perkataan ayah tadi telah membuatnya menangis lagi.

Aku menunduk. Menutup mata. Butiran air mata telah membasahi jilbab merah mudaku. Saat itu tangisku terisak. Tiba-tiba saja dunia gelap. Aku tak bisa melihat ayah dan Kak Iksan. Padahal tadi mereka ada di sebelahku. Juga taman yang indah dengan pepohonan dan air terjun. Semuanya tampak hitam dan gelap.

ooOoo

Setelah kejadian di taman, aku terbaring di rumah sakit. Hal itu kuketahui setelah aku membuka mata. Kulihat ayah duduk di dekatku sambil memegang erat tanganku. Kedua matanya tertutup.

“Zahra, bangun, Nak.”

Itulah kata yang terucap di bibirnya. Terdengar jelas di telingaku. Namun, ayah masih memejamkan matanya. Sedangkan Kak Iksan duduk di kursi pojok ruangan sambil membaca Al-Qur’an.

“A, A, Ayah…” Kataku terbata-bata.

Ternyata ayah mendengarnya. Seketika ia membuka matanya dan menyuruh Kak Iksan untuk mendekat.

“Alhamdulillah. Zahra sayang, kamu udah sadar.” Kata ayah sambil mengusap kepalaku. Kak Iksan berdiri di sebelah ayah. Kupandangi wajah mereka yang lega.

“Zahra, kamu ingat Kakak?” Tanya Kak Iksan. Aku tersenyum.

“Sssstt… Iksan!” Bisik ayah.

“Kamu ini Zahra baru sadar.” Kata ayah.

“Iksan takut Zahra nggak ingat, Yah. Nanti enggak ada lagi yang bilang Iksan orang baik dan tidak sombong.” Jelas Kakak. Aku tertawa geli.

“Tentu saja Zahra ingat.” Jawabku.

“Alhamdulillah.” Kakak mengelus dadanya.

“Ayah, tadi Zahra mimpi. Zahra lihat ada seorang anak di dalam toko marah kepada Ibunya. Ia marah karena Ibunya membelikan jilbab yang kurang disukainya. Tapi Ibunya suka dan ingin anak itu memakainya. Lalu anak itu berlari ke jalan raya dan Ibu itu mengejarnya. Saat di tengah jalan, ada mobil truk yang melaju sangat kencang dan menabrak mereka.” Jelasku. Ayah dan Kak Iksan serius mendengarkanku.

“Ayah, Kak Iksan, maafin Zahra…” Kataku pelan. Tak terasa air mataku berlinang.

“Ada apa, Sayang?” Tanya ayah bingung. Kakak lebih bingung lagi. Terlihat jelas di raut wajah mereka.

“Semua yang ada di mimpi itu benar. Hari itu Zahra marah sama Ibu, Yah. Zahra lari dan Ibu…”

Aku berhenti bicara. Tak kuat rasanya memberitahu ayah dan Kak Iksan apa yang sebenarnya terjadi. Ingatanku sudah kembali. Aku menangis.

“Sudahlah, Sayang. Itu udah berlalu.” Kata ayah lembut sambil memelukku.

“Tapi Zahra belum minta maaf sama Ibu. Zahra nyesal, Yah.” Lirihku.

“Ibu pasti memaafkan Zahra. Mending Zahra do’ain Ibu.” Pinta Kak Ikhsan.

“Ibu…” Kataku. Ayah mengusap air mata yang ada di pipiku.

“Zahra tahu, Ibu sayang banget sama Zahra. Begitu juga Ayah sama Kak Iksan. Apa pun yang kami berikan itu adalah yang terbaik buat Zahra. Kami memberikan dengan tulus tanpa mengharapkan balasan sedikit pun. Bisa jadi itu adalah hal terakhir yang bisa kami berikan,  Nak.” Kata ayah.

“Iya, Ayah.” Kataku pelan.

“Sekarang, Zahra berhenti nangisnya, ya.” Pinta ayah lembut. Aku mengangguk.

“Berarti kalau Iksan beri sandal jepit buat Zahra, harus diterima dong, Yah?” Celetuk Kak Iksan. Bibirku cemberut. Mataku menatap tajam kakak.

“Zahra enggak suka sandal jepit.” Batinku.

“Kakak…!” Teriakku. Ayah dan Kak Iksan tertawa. Ingatanku memang telah kembali. Dari kecil aku tidak suka dengan sandal jepit. Rasanya aneh jika memakai itu.

“Ternyata anak Ayah enggak berubah.” Kata ayah. Kak Iksan masih tertawa. Aku sebal melihatnya.

“Eh, di luar hujan, Zah!” Kata kakak sambil melihat ke jendela. Segera aku melihat ke arah jendela itu.

“Beberapa hari yang lalu, Zahra rindu sama hujan, kan?” Tanya ayah. Aku mengangguk.

“Nah, sekarang hujannya udah turun.” Kata ayah lembut.

Aku tersenyum bahagia. Semua pertanyaan yang ada di benakku kini telah terjawab. Sekarang aku tahu kenapa ayah dan kakak bertingkah aneh sebelumnya.

Kulihat hujan turun deras sekali. Lebih deras dari biasanya. Selain sebagai rahmat dari Allah, hujan itu mengingatku kepada ibu. Sosok yang aku rindukan siang dan malam. Kasih sayangnya tak akan pernah hilang walaupun kini dia telah tiada. Ibu telah mendahuluiku menghadap Sang Ilahi. Hari saat ibu membelikanku jilbab baru adalah hari terakhirku bersamanya. Sayangnya, saat itu aku tak bisa memahami niat baik beliau.

“Ya Allah, terima kasih telah memberikanku Ibu yang sangat baik. Juga Ayah dan Kak Iksan. Aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahanku yang dulu.” Panjatku dalam hati.

“Ibu, terima kasih untuk semuanya. Aku pasti merindukanmu.” Batinku.

The end

[Siti Muhaira, santriwati kelas 2 jenjang SMA, Pesantren Media]

By Siti Muhaira

Santriwati Pesantren Media, angkatan kedua jenjang SMA. Blog : http://santrilucu.wordpress.com/ Twitter : @az_muhaira email : iraazzahra28@ymail.com Facebook : Muhaira az-Zahra. Lahir di Bogor pada bulan Muharram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *