Clay Fernanda, nama yang cantik sesuai dengan wajah nya. Clay remaja yang pintar, baik hati, dan yang pasti juga cantik. Clay mempunyai satu kakak, kak Gio, mereka hanya dua bersaudara. Kak Gio begitu menyayangi Clay, begitu pun sebaliknya. Orangtua Clay juga sangat menyayanginya, walaupun kadang ayah sering memarahi Clay.
Dua minggu lalu, Clay baru saja menyelesaikan UN SMP nya. Lulus atau tidak akan diumumkan 2 minggu lagi. Menurut orangtua nya, sudah pasti Clay lulus, karena mereka yakin dengan anak nya yang pintar itu. Ibu dan ayah sudah memutuskan SMA mana yang cocok untuk Clay. Sebenarnya Clay sudah memutuskan SMA mana yang ia inginkan, namun dibantah oleh ayah dan ibu nya. Clay belum tau sekolah apa yang disiapkan orangtua nya untuk nya.
Akhirnya rasa penasaran Clay akan terbayar. Malam ini, ayah menyuruh semua anggota keluarga nya yaitu ibu, kak Gio, dan Clay berkumpul membahas sekolah Clay. Setelah makan malam semuanya berkumpul di ruang tamu. Ayah mulai membuka obrolan, lalu memberitahu SMA mana yang sudah dipilih ayah dan ibu. Namun, itu semua tidak sesuai dengan apa yang Clay bayangkan.
Semua angan-angan Clay jatuh sejatuh-jatuhnya. Sia-sia saja kerja kerasnya selama ini untuk masuk salah satu SMA favorit di kota nya. Clay sudah mempercayai ayah nya, ia yakin ayah akan mencarikan SMA favorit sesuai dengan kemampuan yang Clay miliki, namun ternyata tidak.
“Ayah ingin mengusir Clay?!” Clay berdiri dan melontarkan kata-kata itu. Clay tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya.
Lalu Clay berlari menuju kamar. Dari ruang tamu terdengar suara pintu yang dibanting, suara itu berasal dari kamar Clay. Kesal, marah, sedih, itulah yang Clay rasakan. Kenapa ibu, ayah, dan kak Gio tega membuangku? Pertanyaan itu yang saat ini terbesit di pikirannya. Menurut Clay, cara itu bukanlah yang terbaik untuknya. Clay tidak mau jauh dari ibu, ayah, dan kak Gio.
Clay mematikan lampu kamar nya. Dalam gelap Clay menangis sejadi-jadinya. Malam itu ia tidak bisa tidur, bagaimana mungkin ia bisa tidur dengan perasaannya yang kacau. Sudah hampir 10 kali ibu mengetuk pintu kamar Clay, namun Clay tidak membukanya, memberi jawaban pun tidak. Suara ketukan pintu sudah tidak lagi terdengar, ibu menyerah membujuk Clay untuk membuka pintu. Mungkin akan dilanjutkan besok pagi.
Sudah pukul 08.00, namun Clay masih enggan keluar kamar. Ayah menenangkan ibu yang sejak setengah jam lalu mengetuk pintu kamar Clay untuk mengajaknya sarapan.
“Nanti Clay pasti akan keluar jika ia merasa lapar. Lebih baik kita tinggalkan dulu, mungkin Clay masih marah,”
Kak Gio sudah sejak subuh berangkat ke kampus, entah apa yang dikejarnya sampai-sampai berangkat se pagi itu.
Mau tidak mau Clay harus keluar kamar untuk mengisi perut nya yang sebenarnya sudah sejak tadi bunyi, sejak aroma masakan ibu nya tercium hingga kamarnya. Saat di dapur Clay melihat ibu nya sedang mencuci piring, dari belakang Clay memeluk erat ibu nya. Entah apa yang membuat Clay ingin memeluk ibu nya.
Ibu menemani Clay menghabiskan sarapannya,
“Clay?”
“iya bu?,” jawab Clay sambil menelan sedikit makanan yang masih ada di mulutnya
“ibu sayang sama Clay, semua keputusan yang ibu ambil untuk Clay demi kebaikanmu, percayalah.”
Senyum ibu mengembang untuk meyakinkan Clay bahwa keputusan yang dibuat ayah dan ibu adalah yang terbaik untuk Clay.
“Kenapa harus pesantren bu? Itu jauh dari angan-angan yang selama ini Clay tanam,” lirih Clay
“Clay pintar, cantik, dan baik hati, namun itu semua tidak akan sempurna tanpa ilmu agama yang tertanam di diri Clay,” jelas ibu
“tapi bu, Clay tidak mau jauh dari ayah, ibu, dan kak Gio,” suara Clay semakin pelan.
Clay memang tidak pernah jauh dari keluarga nya, terutama ibu nya. keputusan orangtua nya untuk menyekolahkan Clay di pesantren antara lain karena ingin putri semata wayang nya tidak hanya menjadi bidadari dunia, tapi juga bidadari surga. Clay cantik dan pintar, tapi bagi orangtua nya semua itu tidak ada apa-apa nya.
Dengan bujukan ibu dan kak Gio, dengan berat hati Clay menerima. Clay akan masuk pesantren. Minggu depan setelah pengumuman kelulusan, Clay akan diantar ke pesantren yang sudah dipilih oleh ayah. Akhir-akhir ini ayah memang sering mengikuti pengajian-pengajian, dan memiliki kenalan ustad-ustad, dari situ ayah menemukan pesantren yang cocok untuk Clay.
Clay mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya. Rasanya sangat berat meninggalkan kamar tidur nya yang sudah menemaninya bermimpi, dapur dimana Clay belajar masak dan membuat kue bersama ibu, ruang tamu yang biasa menjadi tempat ayah untuk membaca Koran dan meminum kopi, ruang keluarga yang menjadi tempat Clay dan kak Gio bermain PS. Tiba-tiba mata itu mengeluarkan butiran air, Clay menangis.
Saat itu tiba, Clay berangkat. Clay diantar ayah dan ibu, kak Gio sedang ada mata kuliah yang tidak bisa ditinggalkan, Clay paham akan itu. Selama diperjalanan Clay hanya diam, begitu juga ibu nya, ayah nya sibuk menyetir. 2 km lagi mereka akan sampai, perasaan Clay semakin tidak karuan. Ibu nya terlihat santai, tapi Clay tau, pasti perasaan ibu lebih tersiksa dari pada Clay.
Mobil berhenti di halaman pesantren, ibu dan ayah keluar duluan. Dengan membaca bismillah aku melangkah keluar mobil. Suasana nya tidak seperti yang dibayangkan Clay, setau Clay kebanyakan pesantren suasanya seperti desa. Gedung yang berlantai tiga, ber cat putih dipadukan dengan warna hijau muda di setiap tiang-tiang nya, serta lapangan yang membuat kesan seperti sekolah umum.
Murid-murid memandangi Clay yang dipandu salah seorang pengajar untuk melihat kamar nya dan meletakkan barang-barang nya. Sebenarnya Clay merasa risih jika dipandangi dari atas sampai bawah, apa ada yang salah dengan penampilan nya? sepertinya tidak, Clay sudah memakai pakaian yang sama dengan mereka. Biasanya Clay hanya memakai celana jins, baju lengan panjang, dan kerudung segi empat. Sekarang Clay memakai gamis dan kerudung lebar menjulur hingga pinggang, seperti syarat-syarat yang ada di brosur pesantren.
Ibu dan ayah menunggu di halaman, mereka sudah siap-siap untuk pulang. Sesesak apapun dada Clay menahan nangis, dia harus tetap menahannya dan tersenyum. Clay tidak ingin membuat orangtua nya cemas, terutama ibu.
“Ibu sayang Clay, ibu bangga pada Clay. Ingat, jaga diri Clay baik-baik, jangan lupa makan, jangan menginjak-injak baju saat dicuci, lakukan seperti yang ibu ajarkan.” Bisik ibu sambil memeluk erat Clay dan mencium kening putri nya itu. Tidak banyak yang dilakukan ayah, ayah hanya mengingatkan Clay untuk tidak meminum kopi temannya seperti ia meminum kopi ayah nya. mereka tertawa, bukan tertawa sungguhan.
Clay berjalan menuju kamar nya yang terletak di lantai 2. Clay memasuki kamar yang hanya ditempati oleh 3 murid. Saat Clay masuk kamar itu masih kosong sama seperti saat pertama ia tadi masuk, mungkin dua orang temannya sedang ada kegiatan di luar kamar.
“Hai..” sapa seorang perempuan dengan ukuran badan yang cukup imut jika di banding dengan anak SMA lainnya, ia memakai gamis berwarna hitam dipadukan dengan kerudung merah yang menutupi tangannya, imut sekali.
“Hai..” sapa Clay untuk membalas sapaannya.
“Santri baru ya? Kenalkan, aku Naya teman sekamarmu. Aku sudah tiba sejak kemarin,” Naya mengulurkan tangan nya sebagai tanda perkenalan.
“Aku Clay, senang berkenalan denganmu. Apa kau juga santri baru di sini?” Tanya Clay memastikan apakah mereka seumuran atau tidak.
“Iya, aku juga santri baru di sini.” Jawabnya singkat sambil membereskan kasur nya yang terletak tepat di sebelah kasur Clay.
Menurut penejelasan Naya, teman sekamar kami yang satu lagi tidak jadi sekolah di sini. Jadi aku hanya berdua dengan Naya, cukup luas.
Sudah 2 minggu Clay berada di pesantren. Selama itu Clay masih betah-betah saja, mungkin karena ada Naya yang setia menemaninya kemana-mana, dan mungkin doa ibu yang selalu menyertai usaha Clay untuk berhijrah, yaa berhijrah, mungkin kata itu yang cocok untuk perjalanan Clay.
Clay berusaha mengerti, dan mengikuti pelajaran-palajaran yang belum pernah ia dapat di sekolah sebelumnya. Fiqih, aqidah, tafsir, bahasa arab, dan setiap habis magrib ia harus menghafal Al-Qur’an. Clay harus tetap berusaha, ia yakin pasti bisa, demi ibu, ayah, dan kak Gio.
Tak terasa Clay sudah hampir tiga bulan di pesantren. Keluarga Clay akan berkunjung setiap enam bulan sekali, karena jarak dari rumah ke pesantren tidaklah dekat. Clay sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan, teman-teman, maupun pelajaran-pelajaran yang ada di pesantren. Pengetahuan Clay akan agama semakin hari semakin menambah, menambah imannya. Clay juga sudah bisa mandiri seperti mencuci baju, membereskan tempat tidur, dll.
Ibu, ayah, kak Gio, Clay begitu merindukan kalian..
[Zuyyina Hasanah, Kelas 1 SMA, Pesantren Media]