Loading

Poster Cerpen Fiksi "Hijab Terakhir"

Dunia ini sangat cerah. Semuanya beriman. Semua terasa indah. Di dunia yang indah ini. Ada seorang anak bernama Hasan. Dia duduk di kelas 5 SD. Semua ilmu dia resapi. Hasan yakin bahwa saat dia besar nanti. Hasan akan menjadi pejuang Islam di seluruh dunia. Ibunya, ayahnya, saudara-saudarnya, teman-temannya, dan keluarganya. Mereka sangat mendunkungnya saat itu.

3 Tahun Kemudian… (Sya’ban, 30 – 1435 H)

Sore itu, wajah Hasan membiru. Wajah Hasan membiru karena terpukul oleh teman sekolahnya. Ya, dulu dia temannya. Sekarang dia menjadikan Hasan sepak bola. Selalu menendangnya saat bertemu dengannya. Walau dia jatuhkan, Hasan akan bangkit. Walau mereka lecehkan, tetap Hasan ridhoi. Karena suatu saat nanti. Hasan akan membutuhkan mereka. Mereka akan membutuhkan Hasan.

Hasan sampai saat di tempat perjuangan. Tepat saat waktu menghukumnya. Hasan malu, melihat para saudara seperjuangannya. Sudah berjuang setengah perjuangan. Sementara Hasan, belum sama sekali berjuang pada hari itu.

Tetapi beliau sang Ustad adalah seorang yang baik. Beliau adalah seorang yang mulia. Yang ingin memaafkannya atas kesalahannya. Hasan terharu dan Hasan berteriak pada hatinya. Hasan akan buktikan fakta ucapan sang Ustad! Kepada saudaranya, teman-temannya, musuh-musuhnya, keluarganya, dan ayahnya.

Hasan belajar tentang menutup aurat dalam Islam dengan gurunya dan saudara seperjuangannya. Beliau berkata, “Wahai Ikhwanul Muslimin! Tutuplah auratmu! Dengan busanamu! Sampai ke bawah lutut!” Dengan tegas, santun dan mulia. Beliau meluruskan para ikhwanul muslimin.

“Wahai para calon pendamping! Tutuplah seluruh anggota tubuhmu! Kecuali wajah dan telapak tanganmu. Jangan kau perlihatkan rambut mahalmu. Janganlah kalian menjadi wanita murahan! Jangan pedulikan apa yang akan mereka katakan, dan apa yang akan mereka lakukan.” Beliau, gurunya meluruskan para akhwat.

Setelah berjuang, Hasan pulang untuk menghibur uminya. Atas keselamatannya saat berjuang di tanah Allah ini. Sampai di rumah, Hasan disambut sangat bahagia oleh umi. Dan Hasan bingung saat itu. Hasan bertanya pada uminya, “Umi, mana yang lain. Apa Umi sendiri di sini? Apakah Hasan yang bau ini telah durhaka kepadamu, Umi?” Hasan menyesal karena tidak menemani umi seharian.

Umi langsung memeluknya dengan seerat-eratnya pelukan. Dan nangis terharu, “Umi bersaksi bahwa Umi tidak mempunyai anak yang semulia ini selain engkau dan kakakmu, Hasan.” Ujar umi sambil terharu.

Ramadhan, 25 – 1435 H

Sudah 25 hari ini Hasan mendengar suara bom yang meledakkan jiwa Hasan. Yaitu suara petasan yang anak-anak kampung mainkan. Hari itu keluarga Hasan mengadakan acara buka puasa bersama. Hasan berangkat sendiri ba’da Ashar. Uminya tidak ikut, karena ada pekerjaan yang harus uminya selesaikan.

Sampai di rumah paman Hasan. Sudah sangat lama Hasan tidak silaturahmi sama sekali. Namun sekarang sudah berbeda. Dulu keluarga Hasan terlihat indah. Namun, sekarang terlihat seperti dibawah pengendalian setan. Mungkin keluarga Hasan belum tahu. Apa yang telah mereka perbuat.

“Assalamu’alaikum,” Hasan lantunkan salam dengan tulus dan damai. “Kumsalam! Cum calam!” Jawab salam para saudara Hasan. Hasan terhibur dengan datangnya kakak perempuannya yang telah jauh-jauh kuliah di Mesir. Hasan langsung menghampiri Aminah kakaknya. Namun, kakaknya terlihat sedih saat itu.

Hasan bertanya pada kakaknya, “Ada apa denganmu, wahai kakakku?” Tanya Hasan “Aku rindu masa lalu keluarga kita, masa lalu muslim.” Jawab Aminah dengan sedih. “Masa lalu yang mana?” Tanya Hasan terheran. “Saat kami masih mengukur pas dan tidak pasnya jilbab yang kami pakai.”

“Ikutlah denganku.” Dengan keteguhan Hasan ajak kakaknya ke masa lalunya. “Ke, kemana?” Jawab Aminah terheran. “Ke masa lalumu.” Jawab Hasan.

Hasan mengajak kakaknya ke tempat penjualan jilbab yang kini tinggal riwayat. Segalanya telah hancur. Aminah bersedih melihat tempat ini. Ditengah kesedihan Aminah, Hasan melihat. Hasan memperhatikan sebuah jilbab biru. Yang terlihat seperti jilbab terakhir yang kakaknya pakai. Aminah tambah sedih melihatnya. Dan Hasan menemukan sebuah jilbab berwarna merah muda. Hasan menghibur kakaknya dengan jilbab muda itu.

“Terima kasih.” Dengan terharu Aminah mengatakannya. “Ayo, kembalikan masa lalu.” Hasan mengajak kakaknya. “Bagaimana caranya? Aminah heran. “Pakailah jilbab kakak!” Jawab Hasan dengan semangat.

Lalu Hasan membawanya mengelilingi alun-alun kota. Dengan jilbab, Aminah tampak percaya diri saat itu. Semua mata yang memandang melihat kami berdua. Mereka tampak berwajah gila, ada yang tertawa, dan ada pula yang marah. Lalu kami berdua mengingat apa yang guru kami katakan, “Jangan pedulikan apa yang akan mereka katakan, dan apa yang akan mereka lakukan.”

Tiga pria besar dengan satu orang sang pemimpin. Memakai baju hitam bertuliskan “G.A.Y”. “Dengar, kami tidak ingin apapun darisini.” Hasan maju. “Kami hanya ingin jalan-jalan menikmati kota yang berbeda ini.” Jawab Aminah. “Kalian orang muslim tidak akan menikmati apapun di dunia kekuasaan kami!” Sambil berlari kehadapannya dan memukulnya.

Sebagai balasan dan perlindungan untuk Aminah. Hasan balas dia dengan satu pukulan kecil. Dua orang besar ingin menyergapnya. Tapi tidak bisa, karena Hasan kecil dan menyosor lewat bawah kaki dua orang besar itu. Lalu Hasan memukul mereka dari belakang. Tapi tidak bisa, Hasan orang kecil sedangkan mereka orang besar.

Hasan disergap dan berseru untuk kakaknya, “Kak, lari selamatkan hidupmu! Kembalikan masa lalu!” Seru Hasan mengerang. “Kakak takkan pergi tanpamu!” Jawab Aminah dengan teriakan sambil mengasah kemampuan bela dirinya.

Saat Aminah melawan salah satu kelompok “G.A.Y”. Dia memukulnya lalu tangan Aminah ditangkis dan Aminah terjatuh. “Tidak ada yang namanya masa lalu. Masa lalu ya di masa lalu. Jaman sekarang udah beda!” Lalu orang itu menarik kerudung Aminah sampai rambut tersulur.

Aminah pun langsung lari ketakutan. Dia lari dengan tidak memkai jilbabnya. Hasan langsung memukul wajah dua orang “G.A.Y” yang menahannya dengan tangannya dan kabur dari sergapan mereka. Lalu mengambil jilbab Aminah. Dan lari pulang.

Sampai di rumahnya, Hasan memberi kakaknya ide sebagai hiburan kesedihannya. Yaitu menaruh jilbabnya di dalam topi. Agar dia tidak terlihat seperti memakai jilbab bagi orang-orang.

Esok harinya, Hasan mengajak kakaknya pergi ke taman. Untuk memotivasinya untuk terus berjuang. Tetapi saat Hasan bicarakan tentang jilbab biru. Kakaknya termanyun dan pulang ke rumahnya sendiri.

Di rumah, Aminah termenung mengingat masa lalunya saat ibunya masih berjiwa. Saat itu dia berbelanja di pasar untuk membeli makanan. Dengan jilbab biru yang sama seperti ibunya. Mereka berdua tampak percaya diri. Sepulang dari pasar, tiba-tiba saja ayahnya marah. Karena dia dan ibunya memakai jilbab. Ayahnya marah dan menarik jilbab ibunya dan membakar jilbab itu. Dan membunuh ibunda Aminah lalu kabur. Aminah pun shock dan langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu kamarnya.

Saat Aminah merenung, Hasan mengetuk pintu kamar kakaknya. Dan Aminah membuka pintu kamarnya dan membiarkannya masuk. Hasan bercerita petualangan para rasul dan para shahabatnya. Berjuang menegakkan islam di muka bumi ini. Aminah sangat terhibur dengan gayanya bercerita. Hasan kira kakaknya sudah lupa masa lalunya yang suram itu. Lalu Hasan memberikan Aminah hadiah sebuah jilbab biru yang persis seperti jilbab dulunya.

Ternyata kakaknya masih ingat akan masa lalunya. Dia langsung mengusirnya dari kamarnya. Dan mengunci pintunya. Hasan mendengar tangisan yang sangat keras dari rumahnya. Saat itu Hasan merasa sangat bersalah. Apa yang harus Hasan lakukan untuk memotivasinya. Mungkin dia tidak mengingat semua masa lalunya. Lalu Hasan ceploskan sehelai kertas bertuliskan, “Hasan punya kejutan buat kakak! Temui Hasan sore ini di lapangan tua.”

Aminah menerima pesannya. Lalu ia keluar dari rumahnya dengan berdo’a. Sampainya di lapangan tua. Ternyata bukan hanya Hasan dan kakaknya berdua yang datang. Tapi banyak orang yang berkunjung ke lapangan tua ini. Membawa cahaya mereka masing-masing.

Dan Hasan membawakan cahaya untuk kakaknya. Sebuah lampion sederhana, sebuah tradisi di kampung ini. “Hasan masih ingat waktu kita masih kecil. Bikin lampion, tangan kakak selalu kena apinya. Jilbab kakak hampir terbakar. Hmh, Hasan rindu masa itu.” Ujarnya ke Aminah. “Kakak juga.” Jawabnya terharu.

Lalu kami bebaskan lampion kami itu. Menerangi angkasa, memberi kehangatan, kedamaian, dan tujuan hidup bagi setiap insan. Hasan tak percaya bahwa yang Hasan lakukan sekarang ini mengubah kakaknya. Aminah, dia jadi percaya diri dengan jilbabnya. Dia melempar jauh-jauh topinya. Dan mengambil jilbab biru yang ada ditas Hasan yang tadinya ingin Hasan berikan kepada kakaknya. Dia malah langsung memakai jilbab itu. Tanpa membuka jilbab merah mudanya.

Ditengah kebahagian kami di kampung muslim ini. Teman-teman sekolah Hasan dalam bahaya. Mereka dirampok saat tengah berkumpul di kota. Dan mereka ditangkap oleh para perampok itu. Salah satu teman Hasan sempat mengambil hp-nya dan menelpon menggunakan video call dari hpnya ke Hp Hasan.

Kami pun langsung mengejar Aminah ke kota. Lalu seseorang mengirim E-Mail ke Hasan. E-Mail itu berisi video kelompok G.A.Y bertopeng yang sedang menyandera teman-teman sekolah Hasan. Salah seorang pemimpin kelompok tersebut bicara, “Ingin mereka selamat? Maka berikan Hijab Terakhir itu kepadaku!” Sang G.A.Y mengerang.

Akhirnya orang-orang kampung situ membantu Hasan dan kakaknya untuk menyelamatkan teman-teman Hasan. Dengan mobil sang supir menancap gas. Kami sampai sulit untuk berkata – kata. “Mengapa kalian ingin membantu kami?” Tanya Hasan. “Karena sesama muslim itu saudara, bro!” Jawab seorang pemuda di mobil itu. Pemuda itu meminta hape Hasan dan melacak lokasi kelompok jahat tadi. Ternyata mereka berada di tempat yang tidak sangat jauh dari sini.

Sampai di lokasi, Hasan menyuruh kepada semua orang untuk tetap di mobil sampai Hasan beri tanda. Lalu Hasan dan Aminah turun dari mobil. Dan menemui orang bertopeng itu. Dia memakai baju yang sama. Baju hitam bertuliskan “G.A.Y”. Dia menjadikan teman-teman Hasan sebagai sandera.

“Lepaskan mereka!” Hasan berteriak. “Tidak sebelum kau memberikan kain biru itu kepadaku. Hahahaha!!!” Tertawanya yang memuakan. “Kalian siapa? Apa yang kalian inginkan? Kami salah apa?” Tanya Aminah sambil berteriak. “Kalian salah besar! Dewa kalian telah menghancurkan kaum kami!” Jawab orang G.A.Y itu. “De, dewa, dewa apa? Kami tidak menyembah dewa. Yang kami sembah hanya Allah SWT.” Jawab Hasan sambil berteriak.

“Bacot kamu! Dulu kami adalah orang yang diasingkan. Orang yang disingkirkan. Orang yang sendiri. Tapi sekarang kami di mana-mana. Dan kalian sendirian!” Bacot sang G.A.Y yang berlebihan. “Siapa yang bilang kami sendirian?” Ujar Aminah. Lalu Hasan memanggi teman-temannya dari kampung. Dan mereka bersatu.

“Kami bersatu, sesama muslim harus bersatu!” Semangat sang pemuda. “Tidak akan!” Teriak orang gay itu sambil menodongkan pistol ke salah seorang teman sekolah Hasan. “Tidak…!” Teriaknya sambil berlari untuk menyelamatkan teman-temannya. Ketika pistol ditembakan. Pelurunya….. Mengenainya. Hasan terjatuh pingsan saat itu. Dan tak bisa berbuat apapun. Semua buram rasanya. Hanya terdengar teriakan semangat perjuangan.

Hasan pun pingsan dan mengingat masa lalunya. Dia mengingat masa lalunya saat masih kecil. Dia ingat saat dia dan kakaknya bermain di taman. Dia melihat kakaknya tersenyum manis. Mereka bahagia. Dia melihat ibunya bangga melihat anaknya ceria. Hasan melihat semuanya. Hasan melihat ayahnya.

Setelah melihat ayahnya, Hasan kaget dan setengah sadar. Hasan pun menyatukan semua rasa pedihnya. Semua lukanya. Semua rasa sakitnya. Semua rasa sakit hatinya. Karena dia yakin, sakit hati bukan kelemahan. Tetapi, itu adalah kekuatan untuk terus bangkit.

Hasan tidak boleh menyerah! Hasan mengambil batu yang cukup besar baginya. Hasan melihat kakaknya berjuang dengan keahliannya. Saat sang pemimpin G.A.Y itu ingin menembak Aminah. Hasan langsung melempar batu besar itu kepada sang pemimpin kegelapan itu. Dengan penuh semangat dia lemparkan benda kejam itu.

Dan mengenai kepala sang pemimpin kegelapan itu. Semua anggota G.A.Y saat itu pergi ketakutan melihat pemimpinnya mati. Hasan pun langsung terjatuh. Dan teman-teman menyembuhkan luka Hasan itu.

“Ayo pergi!” Ajakan salah seorang teman sekolah Hasan. “Bro? Kamu selamat? Alhamdulillah!” Hasan lega. “Sebelum kita pulang, aku ingin tahu siapa pria dibalik topeng itu.” Sambil merasa perih Hasan berjuang.

Saat si topeng itu kewalahan. Hasan dengan kakaknya dan teman-temannya dibelakang membuka topeng sang pemimpin kegelapan itu. Dan siapakah dia? “Di, di, dia kan?” Hasan menggerutu terkaget.

“Ayah?” Ujar Aminah. “Aminah? Kamu memakai jilbab, Itu bagus, nak. Jawab ayah Hasan dan Aminah dengan kesakitan sampai batuk parah yang memuncratkan darah. “Maafkan ayah atas semua tingkah bodoh yang ayah lakukan kepadamu, Aminah. Kepada kalian semua.” Ujar sang Ayah.

“Sekarang, biar kalian menjadi saksi ayah.” Sambil kesakitan ayah Hasan dan Aminah bersyahadat. “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un” Hasan menangis. Malam itu juga ayah mereka dimakamkan.

Syawal, 01 – 1435 H

Hari ini lebaran! Alhamdulillah petualangan Hasan dan kakaknya berakhir dengan hebat. Sekarang dengan semua petualangan ini. Keluarga Hasan sudah sadar dan faham apa yang mereka perbuat.

Setelah Hasan sholat Id. Hasan pulang ke rumahnya. Dan menemui kakaknya dengan memakai jilbab biru putih yang cantik. Begitu pula uminya yang memakai jilbab yang sama. Hasan alim kepada uminya dan memeluk uminya sambil menangis. “Minal ‘Aidin bal Faidzin, mi.” Hasan terharu.

Setelah memeluk uminya, Hasan salim sama kakaknya. Dan memeluk kakaknya. “Minal ‘Aidin bal Faidzin, kak.” Hasan terharu. “Harusnya kakak yang minta maaf sama kamu, San!” Aminah terharu sambil tertawa. Lalu mereka semua tertawa bahagia.

“Ayo! Kita pergi ke rumah paman. Mungkin sudah berkumpul semua keluarga kita disana?” Uminya Hasan mengajak Hasan dan Aminah. “Baiklah!” Dengan bahagia, Hasan dan kakaknya menerima ajakan Uminya.

Tetapi saat mereka sudah siap untuk pergi. Tiba-tiba saja ramai orang yang jalan menuju rumah Hasan. Siapa mereka? Mereka adalah seluruh keluarga dan teman-teman Hasan.

Hasan terharu melihat hasil jerih payahnya bersama kakaknya yang mengubah semua keluarganya dan teman-temannya. Lalu mereka semua bersilaturahim satu sama lain. Sebagai ikon persatuan. Karena sesama muslim. Harus bersatu!

Sumber Gambar:

wahidunana.wordpress.com
http://islamicways.tumblr.com/
inowallpaper.blogspot.com

 

[Ihsan Abdul Karim, santri angkatan ketiga SMP di Pesantren Media. @ihsanabdulkarim]

By Ihsan Abdul Karim

Nama saya Ihsan Abdul Karim. Saya lahir pada tanggal 27 Juni 2001. Saya nyantri di Pesantren Media sebagai santri Angkatan 3. Saya tinggal di Citayam, Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *