Loading

Cerita Sebelumnya..

Cerita dari Masa Lalu

“Hmm, kita bertukar kado, yuk!” aku memberi usulan. Maisya menoleh.

“Tapi kapan? Aku akan berangkat jam 10 nanti. Kata Mama, aku akan melakukan kemoterapi lagi sebelum operasi.” Maisya mengayunkan kakinya pelan. Aku berdiri.

“Nanti aja, deh. Kalau Maisya sudah sehat.” Aku memegang kedua tangan Maisya.

“Mudah-mudahan..” Maisya menatapku. Aku mengangguk.

Maisya pergi.  Maisya kuberi apa, ya? Batinku dalam hati. Aku mengambil buku prakaryaku dan mulai mencari. Hmm.., tidak ada yang sesuai. Satu buku sudah selesai kubaca. Aku menyerah pada buku itu.

Hadiah yang Berkesan

Aku kembali berpikir. Sambil mencari ide, aku berjalan menuju ruang TV. Di sana, ada Mama sedang duduk di sofa.

“Sedang apa, Ma?” aku duduk di sebelah Mama. Mama menoleh, kemudian kembali meneruskan pekerjaannya.

“Mama sedang membuat surat izin untuk Maisya dan Maila.” Kata Mama sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba, terbesit dalam pikiranku untuk melakukan sesuatu,

“Ah, iya! Terima kasih, Ma.” Aku memeluk Mama yang terkejut melihatku berteriak. Aku segera berlari ke kamarku.

Sebelum aku memasuki kamar, aku berbalik. Dengan sedikit berlari, aku berjalan menuju gudang. Di gudang, aku mengambil beberapa kertas bekas. Dengan hati-hati, aku membawanya ke kamar.

Pukul 19.45 di RS Nusantara

Selesai melakukan kemoterapi yang ke-2, aku dan Maisya duduk berdua di balkon kamar ruang inap. Maisya duduk di atas kursi roda. Wajahnya pucat. Bibirnya bergetar. Matanya sayu. Aku prihatin melihatnya. Aku rasa, Maisya sangat lelah menalani kemoterapi itu.

Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. Aku masuk ke kamar dan mengeluarkan selembar kertas. Kertas ini terbuat dari bubur kertas. Alias kertas daur ulang. Kertas ini dihiasi dengan warna-warna, bentuk-bentuk, dan gambar-gambar agar terlihat ramai. Kertas ini bertulisan tulisan yang ditulis dengan cat air yang sudah mengeras. Isinya:

Untuk Maisya

Maisya, terima kasih, ya. Sudah mau menjadi kakak sekaligus teman bagi Maila. Mungkin, kalau tidak ada Maisya, Maila tidak akan bisa jadi seperti sekarang ini. Mungkin tidak akan punya teman. Untung saja ada Maisya yang bisa membuat hatiku tidak kesepian.

Oh, iya. Terima kasih juga, ya. Karena sudah mau jadi tempat Maila berbagi keluh dan kesah. Atau hal lain yang mungkin tidak penting. Tapi Maisya tidak marah. Maisya selalu mendengarkan dan memberi solusi. Sekali lagi terima kasih.

Salah satu do`a yang selalu Maila panjatkan adalah untuk kesembuhan Maisya. Maisya sembuh, ya. Agar bisa bermain dan berbagi dengan Maila. Maila akan selalu berdo`a untuk kesembuhan Maisya.

Semangat, ya, Maisya..! Maila akan selalu mendukung.

Aku menatap kertas itu dengan bangga. Hmm.., bagus juga. Batinku dalam hati. Aku melirik Maisya. Maisya diam tidak menoleh. Ia memang sedang menghirup udara segar.

Aku berjalan ke arah Maisya. Begitu aku sampai di pintu balkon, Maisya melihatku. Ia tersenyum lesu. Aku duduk di kursi sebelah Maisya.

“Ini untuk Maisya.” Aku memberikan kertas daur ulang itu. Kertas ini kugulung dan kuikat dengan pita. Maisya menerima gulungan itu. Ia tersenyum. Dibukanya gulungan itu. Kulihat, ia membaca dengan seksama. Selesai membaca, Maisya tersenyum kepadaku. “Terima kasih, Maila.” Katanya ingin memelukku. Namun kulihat, ia kesulitan untuk merangkulku. Akhirnya, aku memeluk Maisya.

Setelah lama kami berpelukkan, Maisya melepaskan pelukkannya. Aku pun melepaskan pelukanku juga. Ia berpaling ke arah Mama. Seperti sedang memberikan sebuah isyarat. Melihat itu, Mama mengangguk.

Setelah masuk ke kamar beberapa menit, akhirnya, Mama memberikan sebuah tas kresek kepada Maisya. Maisya mengucapkan terima kasih kepada Mama. Sekilas, aku melihat Mama mengedipkan mata kepada Maisya.

Sambil tersenyum, Maisya menoleh ke arahku. Aku ikut tersenyum. Sepertinya, ada sesuatu yang disembunyikan dariku.

“Maila. Ini untuk Maila.” Kata Maisya memberikan tas kresek itu. Maisya meletakkan benda itu di atas pahaku. “Maaf, ya. Kalau Maila tidak suka.” Katanya lagi. Aku menggeleng.

“Maila pasti akan selalu menghargai pemberian Maisya.” Kataku memegang tas kresek itu. Maisya tersenyum. “Apakah aku boleh membukanya sekarang?” aku mulai tak sabar. Maisya tertawa. Ia pasti sudah mengetahui aku akan berkata seperti ini. Aku nyengir kuda.

“Tentu saja.” Katanya mempersilakan. Dengan hati-hati, aku membuka tas kresek ini. Di dalamnya, ada sebuah kotak. Kubuka kotak itu dengan hati-hati.

“Lucunya!” Kataku setengah berteriak. Sebuah boneka kelinci bewarna merah muda tersimpan rapi di kotak. “Terima kasih, Maisya.” Aku menutup kotak itu lagi. Maisya mengangguk pelan.

Usai pertukaran kado yang tiba-tiba itu, Maisya mendekatkan kursi rodanya ke arahku. Sambil menunduk, ia berkata,

“Maila, Maila jujur, ya.” Ia memegang tanganku lesu. Tangan Maisya dingin sekali. Aku mengangguk tidak pasti. “Apakah Maila masih memiliki dendam terhadap Maisya?” Maisya tiba-tiba mengangkatkan kepalaku agar bisa bertatap muka dengannya. Aku terkejut. Namun, aku langsung tersenyum. Aku melepaskan tanganku dari pegangan Maisya. Aku memeluknya untuk kesekian kali.

“Tidak Maisya. Setiap ada sesuatu di hati Maila, baik dari siapa pun, akan selalu Maila ikhlaskan. Begitukan kata Pak Guru?” aku mencoba tersenyum semanis mungkin. Mungkin ini akan membuat Maisya ikut tersenyum. Ia mengangguk sambil tersenyum.

“Berarti, Maila ikhlaskan kalau Maisya pergi.” Katanya lagi. Aku tersenyum kecut. Dia menjebakku?

“Aku tidak tahu..” aku memalingkan wajahku. Maisya menghela nafas. Ia menggerakkan kursi rodanya pelan dengan susah payah. Dengan tatapan sedih, ia menunduk. Dalam hati, aku merasa iba. Namun, aku sedang  berada dalam kebimbangan. Tanpa suara, aku mendorong kursi roda Maisya pelan.

*****

Akhirnya..

Sudah dua jam lebih aku menunggu di depan ruang operasi. Antara gelisah, bingung, dan ketakutan bercampur aduk di dalam hatiku. Mama dan Papa yang berada di kanan dan kiriku, terasa sangat mendesakku. Dalam desakkan keduanya, aku dapat merasakan kegelisahan mereka.

Aku bosan. Aku berdiri dan berjalan menuju Mushola. Hatiku sedikit tenang ketika aku berwudhu. Aku bergegas sholat. Sholat Sunnahku untuk Maisya. Entah apa yang mendorongku, sebanyak empat kali, aku melakukan shola dua rakaat ini.

Diakhir rakaat, aku terbayang wajah Maisya. Aku terdiam sesaat. Namun, aku langsung melanjutkan sholatku.

Bersambung ke Aku sudah Ikhlas..

[Fathimah NJL, santri angkatan ke-1, jenjang SMP, Pesantren Media]

By Fathimah NJL

Santriwati Pesantren Media, angkatan ke-5 jenjang SMA. Sudah terdampar di dunia santri selama hampir 6 tahun. Moto : "Bahagia itu Kita yang Rasa" | Twitter: @FathimahNJL | Facebook: Fathimah Njl | Instagram: fathimahnjl

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *