Loading

Bruukk!!

Suara buku terjatuh dari atas meja. Sarah yang sibuk membolak-balikkan sebuah majalah tak sadar kalau bukunya terjatuh akibat senggolan tangannya.

“Aduh, liburan kali ini mau pergi ke mana ya?” Tanya Sarah sedetik kemudian. Sudah hampir satu jam ia duduk di dekat meja belajar sambil membuka Majalah Wisata. Majalah ini adalah salah satu majalah langganan Sarah. Isinya tak lain dan tak bukan adalah mengupas seputar tempat-tempat wisata di Indonesia beserta keunikannya.

“Pantai Parangtritis, Gunung Tangkuban Parahu, Taman Safari. Ahh, bosan!” Keluhnya setelah membuka halaman 15 di Majalah Wisata. Dibukanya lagi halaman berikutnya. Sayangnya, ia tidak menemukan tempat yang cocok untuk liburan semesternya. Ia termenung sesaat. Pandangannya beralih ke arah foto bergambar bunga sakura di atas meja dekat tempat tidurnya.

“Oh iya! Kenapa nggak ke Kebun Raya Cibodas aja ya? lihat bunga sakura kan nggak harus jauh-jauh ke Jepang. Di sana juga ada. Wahh… kebetulan nih, aku belum pernah lihat bunga sakura secara langsung.” Kata Sarah girang. Sekarang ia sudah menemukan tempat yang ia cari.

Tok! Tok! Tok!

Suara pintu kamar Sarah diketuk.

“Kak Sarah…! Ayo turun! Sarapan udah siap.” Teriak seseorang dari balik pintu. Dia adalah Fadli, adik kandung Sarah yang berusia 5 tahun.

“Sebentar. Kakak lagi sibuk nih.” Jawab Sarah.

“Tapi kata Bunda, harus turun sekarang, Kak.” Kata Fadli. Sarah diam tak membalas perkataan adik semata wayangnya itu.

“Kalo nggak turun, nanti disuruh nemenin Fadli ke TK lagi loh…” Kata Fadli kemudian. Mendengarnya Sarah sedikit kesal.

“Aduh, nemenin Fadli ke TK lagi. Ahh… no way!” Batin Sarah.

“Kakak…!” Teriak Fadli.

“Iya, iya. Kakak turun.”  Jawab Sarah kesal. Dari balik pintu Fadli tersenyum lebar. Lesung pipit di kedua pipinya tercetak manis. Fadli memang memiliki lesung pipit persis seperti Pak Irsyad, ayah Fadli dan Sarah.

ooOoo

Sarah, Fadli dan kedua orang tua mereka kini sedang sarapan di ruang makan. Meja makan berbentuk persegi panjang plus kursi yang terbuat dari kayu jati. Di meja ada nasi goreng bakso, air putih, buah apel, pisang, sendok garpu, serbet dan tak ketinggalan telur mata sapi juga susu coklat kesukaan Fadli.

“Ayah, liburan semester kita ke Kebun Raya Cibodas ya?” Tanya Sarah menghapus keheningan di ruang makan.

“Kebun Raya Cibodas, Kak? Tanya Fadli penasaran. Tangannya sibuk menaruh kecap di atas telur mata sapi miliknya. Namun Sarah tak menghiraukannya.

“Libur semester kali ini kita nggak pergi ke mana-mana, Sarah.” Kata Bu Arini pelan. Beliau adalah Ibunya Sarah dan Fadli. Mendengarnya Sarah kaget.

“Bunda serius?” Tanya Sarah. Bu Arini mengangguk. Mata Sarah kini tertuju kepada ayahnya yang sedari tadi sibuk mengunyah makanan sambil membaca koran.

“Ayah?” Panggil Sarah lembut.

“Ayah mau pergi ke luar kota, Sarah.” Kata Bu Arini. Raut muka Sarah kini tampak cemas.

“Ayah beneran mau pergi?” Tanya Sarah. Namun ayahnya hanya tersenyum.

“Ayyaahh…?” Panggil Sarah manja. Sambil melipat koran, Pak Irsyad menatap wajah buah hatinya itu.

“I’m sorry, Honey.” Kata Ayah Sarah lembut. Sarah terdiam. Tak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Ia tahu, ayahnya adalah tipe pria yang mempunyai pendirian teguh.

“Sudahlah, Sarah. Kita bisa pergi ke sana liburan semester depan.” Ucap Bu Arini santai. Tangannya sibuk mengelap baju Fadli yang kotor akibat terkena kecap.

“Iya, Kak. Kalau semester depan, Narutonya bisa datang. Hehe.” Cetus Fadli polos. Bu Arini dan Pak Irsyad tersenyum kecil. Sedangkan Sarah merasa kecewa dengan keputusan ayah dan ibunya itu.

Fadli memang suka sekali dengan Naruto. Naruto adalah ninja remaja dalam serial anime yang karakternya berisik, hiperaktif dan ambisius yang ingin mewujudkan keinginannya untuk mendapatkan gelar Hokage, pemimpin dan ninja terkuat di desanya.

ooOoo

Di dalam kamar yang berada di lantai dua, dengan dinding bercat hijau muda dan lantai yang dihiasi keramik putih keabu-abuan, Sarah sedang duduk melamun dekat jendela.  Matahari bersinar dengan teriknya membuat udara menjadi panas. Di luar jendela terlihat beberapa orang memakai payung. Mungkin untuk melindungi kulit mereka dari sengatan ultra violet.

“Sarah?” Sapa Bu Arini lembut memecahkan lamunan Sarah. Kemudian beliau duduk di atas tempat tidur Sarah.

“Eh, Bunda.” Kata Sarah sedikit kaget.

“Siang-siang gini kok ngelamun?” Tanya Ibu Sarah heran.

“Bunda, apa Ayah beneran mau pergi?” Tanya Sarah penasaran. Ia masih tak percaya dengan keputusan ayahnya pagi tadi. Ibu Sarah diam tak menjawab.

“Please  jawab Sarah, Bun.” Pinta Sarah sambil menatap wajah ibunya. Namun ibunya masih diam. Ada rasa kecewa dalam hati Sarah melihat ibunya tidak berkata apa-apa.

“Bunda, tak bisakah Ayah membatalkan rencananya?” Tanya Sarah kemudian.

“Sarah, jadi kamu belum menerima keputusan Ayahmu?” Ibu balik bertanya.

“Gimana Sarah mau nerima, Bunda. Ayah selalu seperti itu.” Keluh Sarah. Kini matanya mulai berkaca-kaca. Ibu Sarah kaget mendengar jawaban Sarah.

“Apa maksudmu, Sarah?” Tanya ibu sambil menatap tajam Sarah.

“Apa Bunda ingat, semester lalu kita nggak jadi liburan karena bisnis Ayah? Bahkan di acara kenaikan kelas pun Ayah selalu nggak datang. Dua minggu lalu Ayah tiba-tiba ngebatalin acara keluarga. Sekarang Ayah mau pergi di saat Sarah ingin liburan? Kenapa Ayah selalu seperti itu, Bun? Kenapa?” Tanya Sarah. Air mata perlahan mengalir di pipinya. Membasahi sekaligus menghapus polesan bedak di pipi Sarah.  Mendengar putrinya bertanya seperti itu Ibu Sarah kaget bukan main seolah tak percaya.

“Di peringatan pernikahan, Ayah malah kerja lembur. Padahal Sarah tahu, Ibu udah nyiapin hadiah spesial buat Ayah kan? Ibu bahkan rela nunggu Ayah pulang sampai Ibu tertidur di sofa ruang tamu. Kenapa seperti ini, Bun?” Kata Sarah sambil mendekati ibunya yang masih duduk di atas tempat tidur.

“Sarah!” Bentak ibu berusaha menghentikan perkataan Sarah. Mata beliau berkaca-kaca.

“Bunda, kenapa Ayah seperti itu? Kenapa Ayah nggak punya waktu buat kita?” Tanya Sarah kemudian. Kini ia menangis di hadapan ibunya. “Bisakah kali ini Ayah merelekan bisnisnya demi Sarah? Sarah ingin berlibur dengan Ayah, Bun.” Air mata Sarah mengalir deras hingga membasahi kerudung berwarna hijau muda yang dipakainya. Sementara Ibu Sarah terdiam.

“Bunda…”

Suasana hening. Sarah tak kuasa membendung air matanya. Sudah lama ia tak merasakan bahagianya berlibur bersama ayahnya. Rasa kesal dan sedih campur aduk di dalam hatinya. Ia sungguh merindukan saat-saat bersama ayahnya. Hembusan angin yang masuk lewat jendela mengusap lembut pipi Sarah.

“Sarah inget waktu kecil dulu?” Tanya Ibu Sarah memecah keheningan. Namun, Sarah masih larut dalam tangisannya.

“Waktu Sarah kecil, Ayah selalu menggendong Sarah kemana pun Sarah mau. Bahkan saat menaiki anak tangga,  Ayah tetap menggendong Sarah. Padahal anak tangganya banyak dan melelahkan. Ayah selalu membawa Sarah ke tempat yang menyenangkan. Saat itu Sarah sangat bawel dan selalu minta diajak pergi. Tapi Ayah nggak pernah mengeluh.“ Tutur Ibu Sarah pelan. Penuturan beliau membuat Sarah membuka kembali kenangan masa kecilnya.

“Apa Sarah ingat?” Tanya beliau sambil menatap kedua mata anaknya itu.

“Tapi kenapa giliran Sarah yang ngajak, Ayah selalu nggak bisa, Bun? Ada saja halangannya.” Keluh Sarah.

“Sarah, kewajiban seorang Ayah itu mencari nafkah untuk keluarganya. Ayah nggak bisa pergi karena harus mencari uang untuk kehidupan kita. Kalau Ayah nggak kerja, nanti kita nggak bisa makan, mungkin Sarah juga nggak bisa sekolah.” Jelas Ibu Sarah lembut.

“Tapi bukankah waktu bersama keluarga juga penting, Bunda?” Tanya Sarah.

“Ya, sangat penting. Memangnya Sarah kira Ayah nggak mau pergi sama kita? Tidak, Sayang. Ayah ingin sekali pergi. Bahkan Ayah merasa bersalah karena nggak bisa pergi liburan. Tapi sekarang ini tempat kerja Ayah lagi kena musibah. Tentu, Ayah sebagai salah satu pegawai yang dipercaya dan berkompeten juga harus mencari cara untuk menyelesaikan masalah di kantor.” Jelas beliau panjang lebar.

“Sarah terima kalau memang sekarang ini kantor kena musibah. Tapi yang sebelum-sebelumnya?” Sarah kembali bertanya. Untuk kesekian kalinya Ibu Sarah terdiam. Sarah melihat air mata mengalir di pipi ibunya itu. Membuat Sarah penasaran.

“Bunda kenapa?” Tanya Sarah.

“Nggak apa-apa, Sayang.” Jawab beliau sambil mengusap air mata di pipinya.

“Bunda baik-baik aja?” Tanya Sarah cemas.

“Iya. Sarah, sebentar lagi Ayah mau berangkat. Bunda keluar dulu.” Kata Ibu Sarah sambil melihat ke arah jam dinding yang menunjuk ke angka 13.05 WIB. Beliau keluar dari kamar Sarah. Sarah heran dengan sikap ibunya itu.

ooOoo

Hari ini adalah hari pertama libur semester. Hanya libur pelajaran sekolah saja yang dirasakan Sarah. Tak ada liburan ke pantai atau ke gunung. Ke rumah sanak keluarga pun tidak. Dua hari lalu ayahnya berangkat ke luar kota. Menyisakan sesak dan rindu di hati Sarah. Fadli kini tak serewel saat hari pertama keberangkatan ayah. Biasanya Fadli  selalu bertanya di mana ayahya berada. Walaupun sudah diberitahu, ia tetap saja bertanya. Sampai ia menangis layaknya kehilangan permen. Namun, entah apa yang ia pikirkan hari ini.

Sedangkan Bu Arini beraktivitas seperti biasanya. Mengurus pekerjaan rumah, memasak dan mengantar Fadli mengaji. Kadang, beliau pergi ke butik milik Bu Hasna, bibi Sarah. Lain lagi dengan Sarah. Ia lebih memilih diam di dalam rumah. Memang, berbanding terbalik dengan keinginannya saat ia meminta ayahnya untuk menemaninya berlibur.

“Kak, sekarang Fadli udah hafal surat Al-Ma’un loh.” Kata Fadli kepada Sarah yang sedang membaca buku di ruang tamu.

“Wah… adik Kakak hebat!” Kata Sarah.

“Iya dong. Kakak juga harus tambahin hafalannya. Nanti Fadli kejar loh hafalan Kakak…” Fadli mencoba mengancam Sarah. Tapi Sarah hanya tertawa kecil melihat adiknya itu.

“Ih, beneran loh, Kak.” Kata Fadli berusaha meyakinkan Sarah.

“Eh, Bunda di mana, Fad?” Tanya Sarah kemudian.

“Tadi sih ada di kamar.” Jawab Fadli sambil mengambil kue donat di atas meja. Sarah kemudian pergi menuju kamar untuk menemui ibunya.

ooOoo

Sesampainya di depan kamar ibunya, Sarah heran karena pintu kamar sedikit terbuka. Ia mengetuk pintu dan mengucap salam.

“Bunda?” Panggil Sarah. Namun tak ada jawaban. “Bunda, Sarah masuk ya.” Katanya lagi.

Sarah tak melihat sosok ibunya di dalam kamar. Sarah pikir mungkin ibunya ada di ruangan lain. Jendela kamar masih terbuka. Di luar gerimis turun perlahan.  Rintik-rintik hujan laksana jarum-jarum bius yang berusaha ‘menidurkan’ aktivitas manusia. Angin dingin berhembus menggoyangkan tirai jendela berwarna biru dan bercorak bunga tulip. Sarah berusaha menutup jendela. Angin malam ini lumayan kencang. Sarah tak melihat satu pun bintang di langit. Tiba-tiba ia teringat ayahnya.

“Sekian lama mendung masih di sini. Belum permisi tinggalkan pengap di dada. Kecewanya hatiku hilangkan relung hati.” Batin Sarah.

“Astaghfirullah…” Sarah beristighfar. Dalam hati kecilnya, ia masih menyimpan kekecewaan kepada ayahnya.

Setelah menutup jendela, Sarah memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Namun langkahnya terhenti saat ia melihat selembar kertas dan amplop di atas bantal ibunya. Kemudian kertas itu dilihatnya.

“Inna lillaahi…” Sarah kaget. Ia tak kuasa membaca lagi tulisan yang ada di kertas itu. Tiba-tiba tangan kanannya yang memegang kertas terasa kaku. Sulit digerakkan. Ingin rasanya ia menjatuhkan kertas itu.

Sesuatu seperti menghantam relung hatinya hingga membuatnya lemas. Ada getaran kecil di sekujur tubuhnya. Ia merasa dadanya sesak. Perlahan air mata jatuh tepat membasahi kertas. Semakin lama air mata itu makin deras. Mata Sarah memerah. Ia tak kuasa menahan air matanya. Walaupun begitu air mata yang terjatuh tidak secepat jatuhnya air hujan di luar yang kini turun dengan derasnya. Rasa sedih, kesal, marah dan kecewa bercampur jadi satu.

“Bun, Bunda?” Panggil Sarah dengan nada lemas. Namun tak ada tanda-tanda ibunya masuk ke kamar.

“Bunda!!” Teriak Sarah. Namun tetap saja. Suara Sarah kalah dengan suara gemuruh hujan yang membasahi bumi. Sarah duduk di atas tempat tidur.  Ia memandangi kertas yang masih ia pegang. “Bunda di mana? Ini nggak mungkin.” Katanya lagi.

Tak lama kemudian, Ibu Sarah masuk ke dalam kamar. Beliau kaget melihat anaknya ada di sana. Segera beliau berjalan menghampiri Sarah.

“Sarah?” Panggil ibunya.

“Bunda, kenapa sembunyiin ini dari Sarah?” Tanya Sarah sambil menyerahkan kertas. Air matanya mulai berhenti mengalir. Sedangkan ibunya kaget saat mengetahui kertas itu berada di tangan Sarah.

“Sa, Sa, Sarah…” Kata beliau terbata-bata. Kedua mata Ibu Sarah berkaca-kaca.

“Bunda, apa isi dari kertas itu benar??” Tanya Sarah lagi.

“Maafin Bunda, Sarah.” Jawab ibunya.

“Kenapa Bunda nggak pernah bilang?” Tanya Sarah heran. Ibu Sarah menangis di hadapan anaknya itu. Hal ini membuat Sarah semakin penasaran dengan kebenaran isi dari surat itu.

“Mungkin ini saatnya kamu tahu, Sarah. Isi surat dokter itu benar.” Jawab ibunya pelan.

“Jadi, Ayah…” Tanya Sarah untuk kesekian kalinya. Ia masih tak percaya dengan ucapan ibunya itu. Ia baru tahu bahwa ayahnya mengidap penyakit Hepatitis B. Penyakit yang menyerang hati ini menambah kesedihan Sarah.

“Sebenarnya itulah alasan kenapa Ayah nggak bisa pergi. Ayah harus menjalani pengobatan. Harus tes darah secara teratur. Minggu lalu Ayah menjalani pengobatan tradisional di tempat rekan kerjanya.” Tutur ibunya. Sarah terdiam. Kenangan bersama ayah masih terbayang-bayang di pikirannya.

“Ayah nggak kasih tahu karena khawatir membebani pikiran Sarah. Apalagi saat itu kamu sedang ujian. Tapi percayalah, Ayah sangat menyayangi kita.” Kata Ibu Sarah. Sarah menunduk. Perlahan linangan air mata kembali menetes. Sekarang ia sadar, ternyata kekecewaan yang kerap ia dapatkan bukan karena kesibukan ayahnya bekerja di kantor. Melainkan karena ayahnya yang menjalani pengobatan. Prasangka buruknya selama ini kini telah lenyap.

“Bunda, Sarah menyesal udah nuduh Ayah macem-macem. Kenapa penyakit itu menimpa Ayah?” Tanya Sarah.

“Sarah, ini semua kuasa Allah. Kita sebagai hamba-Nya harus bersabar. Jika Allah berkehendak, Ayah bisa sembuh. Kita berdo’a, Sarah.” Jawab Ibu Sarah sambil mengusap air mata di pipi Sarah. “Sarah harus bersyukur karena masih bisa berkomunikasi dengan ayah walaupun lewat telepon. Saudara kita di luar sana belum tentu seperti Sarah.” Jelas Ibu Sarah. Mendengarnya Sarah tersenyum. Kerinduan kepada ayah kini semakin dalam dirasakannya.

“ Give me your time, Dad! I’m very miss you!” Batin Sarah.

Di luar hujan mulai reda seperti redanya kekesalan Sarah. Langit masih menyisakan awan mendung. Namun Sarah seperti mendapat kembali energi yang sempat hilang. Malam ini menjadi malam yang berharga bagi Sarah. Malam yang menjadi saksi lenyapnya segala kekesalan di dadanya. Kini ia sadar, tak selamanya apa yang diinginkan akan tercapai. Ia berjanji tidak akan menyia-nyiakan setiap waktu dan kesempatan. Termasuk kepada ayahnya.

~Selesai~

Bogor, 20 Januari 2014

Pukul 08.21 WIB

[Siti Muhaira, santriwati kelas 3 jenjang SMA, Pesantren Media]

By Siti Muhaira

Santriwati Pesantren Media, angkatan kedua jenjang SMA. Blog : http://santrilucu.wordpress.com/ Twitter : @az_muhaira email : iraazzahra28@ymail.com Facebook : Muhaira az-Zahra. Lahir di Bogor pada bulan Muharram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *