Tengah hari kala itu, bagi sebagian besar orang, adalah saat-saat paling tidak menyenangkan untuk keluar rumah. Panas hari itu terasa mau membakar ubun-ubun. Suasana hari itu juga terasa gersang. Debu-debu beterbangan, diterbangkan oleh angin musim kemarau yang juga membawa hawa panas. Melihat dan merasakan semua itu, orang-orang tentu memilih untuk tidak keluar rumah. Lebih memilih beraktifitas di dalam ruangan dengan AC menyala.
Namun, tengah hari bolong yang panas membakar itu tak mampu membuat hati dan pikiran Neo mendidih. Jika sebagian besar orang yang berpapasan dengannya berwajah mengkerut karena kepanasan, maka hal itu tak nampak di wajah Neo. Mukanya nampak segar berseri-seri. Jika sebagian orang besar orang yang berpapasan dengannya berjalan cepat-cepat untuk menghindari terik, maka itu tak terjadi pana Neo. Dia malah berjalan dengan tenang dan santai. Sesekali ia nampak tersenyum. Sebuah senyum yang memancarkan kemenangan, kebahagiaan, dan kebanggaan.
Hari ini memang hari yang membahagiakan bagi Neo. Baru saja, di sekolah, ia menerima rapor dan untuk kesekian kalinya, ia menjadi juara kelas. Hal inilah yang membuat hati Neo berbunga-bunga bahagia. Sebuah kebahagiaan yang menyejukkan dan mampu membentengi dirinya dari panas terik matahari kemarau siang itu.
“Selamat ya, Neo. Kamu juara kelas lagi. Bapak akan semakin bangga padamu jika kamu bisa mempertahankannya hingga kau lulus dari SMA ini.”
Suara sang kepala sekolah yang lembut dan berwibawa seolah-olah hadir di kepalanya dan disetel berulang-ulang.
Dan, semua itu membuat senyum Neo semakin lebar.
***
“Prang!”
Sebuah panci melayang hampir mengenai kepala Neo tepat di saat dia baru pulang kuliah dan hendak melewati ruang tamu.
“Apa tidak cukup semua yang telah aku berikan dan aku korbankan kepadamu selama ini?” Teriak ayah Neo, menyalak bak anjing herder kesetanan.
“Dasar pelacur!” Tambahnya menghardik.
“Omong kosong! Lagakmu kayak orang suci. Aku baru tahu istri simpananmu itu banyak.” Balas ibu Neo tak kalah galaknya.
“Ceraikan aku sekarang juga!”
Dan sebuah piring pun melayang, menghantam sebuah TV yang menyala. Layar TV itu pun pecah berkeping-keping.
Percekcokan keduanya terus berlanjut. Mereka bahkan tidak menghiraukan kehadiran Neo yang saat itu telah berurai air mata. Neo melangkah gontai di antara perang dunia kedua antara ayah dan ibunya itu.
Sesampainya di kamar, Neo membanting tas dan tubuhnya ke atas kasur. Ia tak tahu harus berbuat apa. Dadanya bergemuruh. Dalam hati ia tak habis pikir, kenapa hal ini bisa terjadi pada dirinya?
“Ayah dan ibuku jarang ketemu. Mereka sibuk dengan bisnis dan urusannya masing-masing. Begitu ketemu, mereka langsu tengkar.” Ratapnya di antara isak tangis kesendiriannya.
Berbagai pertanyaan-pertanyaan ganjil berkecamuk di kepalanya. Semuanya membuat dadanya terasa sempit. Nafasnya tersengal. Suara isak tangisnya semakin lama semakin pelan. Akhirnya, isak tangis itu pun tak terdengar lagi. Neo tertidur di dalam kegalauannya.
Pagi harinya, Neo mengemudikan motornya dengan kesetanan, ngebut sengebut-ngebutnya hingga orang-orang yang berpapasan dengannya menganggap Neo sudah gila. Bukan kea rah kampus seperti biasanya, namun kea rah sebuah tempat bar remang-remang di pinggiran kota.
Ia teringat kata-kata teman kampusnya bahwa dengan teller, semua permasalahan berat yang dialami akan hilang. Maka ia pun tak ragu, ia tenggak sebanyak mungkin minuman keras di bar itu hingga ia mabuk berat dan tak ingat apa-apa lagi.
Ia baru tersadar ketika ia lihat belasan orang terseungkur di pinggiran trotoar. Ternyata orang-orang yang tersungkur itu adalah para pejalan kaki yang baru saja dia tabrak. Ada yang luka ringan, luka berat, bahkan ada yang meninggal di tempat. Tak lama kemudian, samar-samar dia lihat sekerumunan orang berlari ke arahnya sambil berteriak-teriak memaki. Meraka nampak membawa pentungan dan akan segera menghajar dirinya.
Neo tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak bisa lari karena kepalanya masih pusing dan kakinya terluka. Tak ayal, ia pun menerima amukan massa di pinggir jalan itu. Ia pun berjuang antara hidup dan mati.
Di saat-saat kritis itulah, muncul seseorang yang berteriak meminta warga menghentikan aksinya. Mendengar teriakan lelaki ini, orang-orang pun berhenti menghajar Neo. Ternyata lelaki ini adalah seorang tokoh agama di kawasan ini. Tanpa pikir panjang lagi, lelaki ini menggotong Neo yang saat itu sudah remuk berdarah-darah ke rumahnya.
Pak Ikhsan, begitulah masyarakat sekitar memanggilnya. Lelaki yang baik hati ini adalah seorang ustadz terkemuka di kampungnya. Dialah yang merawat Neo hingga pulih dari lukanya, baik itu luka fisik karena dihajar massa maupun luka batin yang dialaminya.