Loading

Lebaran kali ini tak seceria lebaran tahun kemarin bagi Elyssa. Ya, tahun ini atmosfer Lebaran tak terasa di rumah Elyssa, yang ada hanya duka dan tangis lara. Bukan tanpa sebab, melainkan ayah Elyssa baru saja meninggal saat malam takbiran karena sakit jantung yang dideritanya tiba-tiba kambuh.

Tak ada yang bisa mengira kapan ajalnya akan datang. Kita hanya bisa menunggu malaikat menunaikan tugasnya, dengan tekun ibadah menanti hari pertanggung jawaban.

Seperti Elyssa, gadis kecil berumur 5 tahun ini selalu ceria. Tawa dan kegembiraan selalu mengelilinginya. Namun tidak hari itu. Duka yang mendalam membelenggunya ”Bun, kapan kita bisa berkumpul lagi dengan ayah?” tanyanya sambil bersandar di bahu bunda yang basah karena tetesan air matanya.

“Nanti, sayang” kata Bunda pelan.

“Nanti kapan?”

“Saat kita dijemput bertemu ayah nanti”

“Tapi, itu kapan?”

“Tunggu saja, hari itu pasti akan datang”. Dengan jawaban Bunda, Elys makin binggung dan tak tahu harus berkata apalagi. Terdiam. Membisu seperti batu di jalanan kereta.

 

***

Tak lama, Fira, anak tentangga sebelah yang sekaligus teman rumah Elys datang sambil membawa makan siangnya dengan lauk opor ayam. Makanan kesukaan Elys. Ia berjalan ke ruang tamu dengan gaya lenggak-lenggok khas anak-anak yang menirukan model-model cat walk.

“Lys” panggil Fira dengan nada meledek. “Aku bawa opor ayam nih. Enak lho…” sambil menyuapkan sesendok nasi lengkap dengan sepotong ayam kecil ke mulutnya.

“Ehmm… enak” Elys kesal dan langsung membentaknya “Kalau mau pamer gak usah ke sini. Sana pulang”.

“Ihh, kok kamu gitu sih. Aku cuma…” belum selesai Fira bicara, Bunda Elys datang “Ada apa ini. Elys, kenapa teriak-teriak. Tidak sopan, ada tamu.”

“Ini, Bun.” Sambil menunjuk Fira dengan tatapan ketus.

“Apaan sih. Tante, aku kan cuma mau main ke sini” bantah Fira sambil menundukkan kepala.

“Iya, Fira. Tante minta maaf ya. Tapi lebih baik Fira makan di rumah saja, kan lebih enak. Bisa minta disuapi ibu” Bunda Elyssa coba meredakan suasana yang penuh amarah.

“Ehmm…” Fira mencoba menjawab.

“Tau ah” Kesal, Elys langsung lari ke kamarnya sambil membanting pintu kamar.

Semua tamu diam tanpa kata. Ibarat suara angin saja terdengar oleh setiap orang yang dilewatinya. Bunda Elys langsung mengejar anaknya ke kamar. Pintu dibukanya. Kemudian ditutup lagi. Bunda duduk diranjang Elys, membalikkan bahu Elys yang membelakanginya seakan marah. “Kenapa, sayang” lembut suara Bunda perlahan masuk ke telinga Elys.

Sambil tersedu-sedu “Elys nggak suka sikap Fira kayak gitu, Bun” katanya.

“Sikapnya yang bagaimana?” Tanya Bunda lagi.

“Dia bawa opor ayam ke rumah kita dengan gaya orang pamer, sedangkan dia tahu itu makanan kesukaanku. Dia dengan sengaja memamerkannya di depanku” sambil mengambil napas “mungkin dia tahu kalau kita tidak membuatnya” lanjutnya.

“Biarkan saja, Elys. Kita nggak boleh membalas orang yang menyakiti hati kita dengan kejahatan lagi” terang Bunda perlahan sambil tersenyum karena jawaban anaknya.

“Ingat tidak kemarin malam Bunda menceritakan kisah Rasulullah yang diludahi wanita tua setiap kali beliau lewat rumahnya itu?” Tanya Bunda sambil menatap mata Elys dalam-dalam. Penuh rasa cinta dan kasih.

“Ingat, Bunda…” melirik. Kemudian Elys anggukkan kepalanya tanda mengiyakan.

“Rasulullah saja yang setiap hari dihina, tidak pernah membalas si penghina itu. Malah, Rasulullah menganggap itu sebagai hiburan. Ketika wanita tua itu tidak ada, Rasulullah malah pergi ke rumahnya, dan ternyata dia sakit.”

Dengan pipi yang masih basah karena air matanya, Elys menambahkan “Lalu wanita tua itu menanyakan pada Rasul mengapa beliau begitu. Mendengar jawaban Rasul, wanita tua itu bersaksi mengikuti agamanya. Islam.”

“Nah…” senyum indah terlukis di wajah Bunda dengan diwarnai tangis haru, mendengar lanjutan cerita yang diucapkan Elys. “Artinya, Elys juga tidak boleh membalas atau mencaci-maki Fira tadi saat dia seperti itu. Biarkan Allah yang membalas orang yang menyakiti hati kita. Karena Allah Maha Mengetahui, Elyssa… ”

Elys lalu menatap bulat mata Bundanya kemudian memeluknya sambil berkata”Elys minta maaf, Bunda.”air mata lagi-lagi mengucur deras.

“Jangan minta maaf sama Bunda, nak. Minta maaflah sama Fira dan Allah”

“Astaghfirullah” ucap Elys sadar.

 

***

Setelah waktu berputar. Matahari beranjak dari ufuk timur ke barat. Hari demi hari silih berganti. Hari-hari Elys juga ikut diwarnai berbagai rasa senang, sedih, gembira, dan duka.

Lebaran Kurban, begitulah Elyssa biasa menyebut Idul Adha. Ya, memang Lebaran Kurban sudah diujung waktu. Hanya menghitung jam saja Elyssa dan semua kaum muslim akan segera menunaikan shalat I’ed lagi.

Saat waktu berbuka Puasa Arafah datang, tiba-tiba Elyssa nyeletuk “Bun, lebaran ini kita bikin opor ayamkan?”

Bunda menjawab hanya dengan senyum dan anggukkan. “Ye… ye… akhirnya bisa makan opor ayam lagi” teriak Elyssa kegirangan. Bunda hanya bisa geleng-geleng dan tersenyum geli melihat anaknya seceria itu.

Tanpa ragu, Elyssa dengan senang hati membantu Bunda membuat opor ayam saat masjid-masjid berlomba-lomba mengumandangkan takbir dimana-mana.

***

Selesai shalat I’ed.

“Bunda…” teriak Elyssa sambil berlari ke dapur menemui Bundanya yang sedang menghangatkan opor ayam. “Apa, anakku sayang…” jawab gemas Bunda.

“Aku mau makan opor sekarang, Bun.” Pinta Elys merengek. Kata Bunda “Iya, sebentar ya… Bunda siapkan dulu.”

“OK bunda” jawabnya singkat sambil menyodorkan jempol tangan kanannya dan memejamkan mata sebelah kanannya.

Tak lama Bunda muncul dari dapur ke meja makan membawa panci yang terlihat berat karena kuah opor ayam. Semangat, Elys langsung saja menyodorkan kotak bekal yang biasa dia bawa ke sekolah.

“Lho, bukan ambil piring kok malah ambil kotak bekal?” Tanya Bunda heran.

“Tadi, Elys teringat cerita Bunda semalam sebelum Elys tidur. Elys kasihan sama keluarga Fira yang baru terkena musibah karena ayahnya ditahan di kantor polisi. Jadi, Elys mau bagi sebagian opor kita ke dia. Yah… walaupun nggak seberapa”

Bunda tersenyum dan dengan senang hati menuangkan opor ayam itu ke kotak bekal Elyssa.

[Zahrotun Nissa, angkatan ke-3, janjang SMA, Pesantren Media]

By Nurmaila Sari

Nurmaila Sari | Alumni, santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA | Asal Pekanbaru, Riau | @nurmailasarii

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *