************************
Akira menahan emosinya sekuat mungkin. Tapi dia tak kuasa lebih lama lagi.
GUBRAKK!! Suara hantaman Akira pada meja yang memadat ke sisi kelas yang hampa.
“Ah, siapa yang berani memainkannya tanpa izinku? Dasar!” Aka keluar kelas, bergegas mencari asal bunyi. Semakin dekat. Semakin sakit. Dekat. Sakit. Akira menggigit bibir. Tak salah lagi, suara itu dari ruangan ini. Akira membuka pintu ruangan dengan keras.
Hening. Tampak seorang gadis menggenggam sebuah biola menoleh ke arah Akira. Akira cengang. Gadis itu tersenyum dengan wajah damai.
“Hai, Aki. Rika Akira. Aku senang kau mengunjungiku. Kau pasti menyukainya, kan?”
“Sial. Aku tak peduli kau siapa dan bagaimana kau bisa mengenalku. Aku mohon, jangan mainkan itu lagi. Karena, aku benci..”
“Kau benci tapi kau menghampirinya. Dasar aneh.”
“Aku menghampiri karena aku terganggu…”
“shhttt.. kau diam saja. menurutmu, apa yang membuatmu membencinya, ha? Ini indah, bukan?”
“Kau tidak tahu. Kalaupun kau tahu, kau takkan pernah paham.”
“Begitu. Jadi, sekarang maukah kau menceritakannya untukku. Agar aku tahu. Agar aku paham.”
*****************
Dia adalah akar dari senyumku. Akar dari semangatku. Akar dari keberanianku. Dan, akar dari simfoniku.
Saat itu, saat di mana aku menjatuhkan air mataku, dia mencapai perasaanku. Sebelumnya, aku telah mendengar rumor tentangnya. Dia adalah pemain biola yang sangat memikat. Gesekannya lembut didengar, hayatannya mencapai ke benak-benak orang yang memujanya. Ya, dia juga berhasil mencapaiku. Dan saat itu juga, aku jatuh cinta.
Dicky Hayme. Setiap pertunjukannya, aku tak pernah alfa untuk menyaksikannya. Dia benar-benar menawan. Aku tahu ini cinta gila. Mencintai seseorang yang tak mungkin aku gapai. Ah, lagi pula, dengan cara apa aku bisa menggapainya. Namun, rasa itu semakin egois.
Aku mulai berkeinginan menjadi seorang pemain biola. Aku berlatih keras selama berbulan-bulan. Setiap kali setelah aku menyaksikan pertunjukannya, aku selalu bersemangat dan berlatih hingga tak mengenal waktu. Sampai akhirnya aku berhasil mengikuti kompetisi, dan dia akan menjadi bintang tamu di acara penyambutanku sebagai juara. Sayangnya, takdir berkata lain. Dia tidak datang. Aku mencarinya dengan rasa cemas. Pasti ada alasan kenapa dia bisa tidak datang. Aku rela meninggalkan acara penyambutanku. Aku tak peduli. Karena apapun yang aku raih, semua demi mencapainya.
Tiga minggu berlalu. Dia masih tak kuketahui keberadannya. Bahkan di pertunjukan manapun. Ketika aku mencari alamat rumahnya di internet, sama sekali tidak ada. Semua kru manager panggung juga sama sekali tak mengetahuinya. Saat itulah aku tersadar bahwa dia adalah ilusi yang nyata. Dia ada, dianggap istimewa, sayangnya dia tidak jelas asalnya.
Aku frustasi. Aku tahu kalau perasaanku sudah egois. Aku hanya memikirkan dia, tanpa memikirkan aku. Bahkan, ibuku yang kala itu tengah sakit kritis. Dan aku anaknya malah menggila, membuat ibuku lebih parah. Dan aku tak peduli.
Hingga suatu hari, aku merasa kesepian. Aku jalan-jalan ke taman yang dulu selalu aku kunjungi ketika aku sedih. Karena taman itu indah dan aku tenang berada di sana. Tiba-tiba saja aku mendengar suara. Suara simfoni yang mengisi ruang gendang telingaku. Aku terpukul. Nada ini, aku sangat mengenalnya. Aku berlari menelusuri arah suara yang selalu indah ini. Hingga aku sampai di depan sebuah rumah yang sedikit usang, dan tak berjendala.
Aku diam kebingungan. Aku yakin suara tadi dari arah sini. Aku yakin pendengaranku tidak salah. Karena simfoni itu bak suara hati dari pendengar. Yang mana jikalau aku tuli pun, aku sanggup mendengarnya. Aku mengetuk pintu.
“Permisi, ada seseorang di dalam? Siapapun?” Nihil. Tak ada respon sama sekali. Aku kesal, dan membuka pelan pintu itu. Aku merinding bukan main. Ruangan ini.. Gelap.
“Nona Aka, Non?” Aku membuka mataku pelan karena silau cahaya yang belum bersahabat.
“Ini, rumah sakit?” tanyaku memastikan. Laik, pembantuku, mengangguk dengan ekspresi iba melihat kondisiku. Aku diam, mengerti keadaanku. Tapi, tadi, yang kulihat itu nyata.
********************************************
Aku melihat Ibu. Haih, lagi-lagi Ibu belum bangun. Aku sedih tapi tidak cemas. Karena ada yang lebih aku cemaskan. Aku mengurung diri di kamar. Undangan panggung aku lantarkan. Aku sedang tak kuasa menghadirinya. Karena aku melantunkan simfoni demi dia, bukan mereka. Aku melamun sembari menatap biolaku yang seperti meronta hendak dimainkan. Aku tersenyum tipis, lalu meraihnya. Barangkali dia dapat mengiburku. Saat gesekan di tangga nada pertama, aku terpukul untuk yang kesekian kalinya.
Rumah itu.. Nada itu.. Dan.. Dia..
Aku membuka mataku pelan karena silau cahaya yang belum bersahabat. Kali ini tak ada pembantuku yang menyambutku saatku bangun. Tapi memang benar aku terbaring lagi di kasur yang tak lama aku tiduri kemarin. Aku bangun, hendak mencari Laik. Aku cemas, ingin pulang.
Aku berjalan santai di lorong rumah sakit. Beberapa perawat tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya. Tiba-tiba. Deg. Aku terpukul. Nada indah yang tak lagi asing bagiku, terngiang kembali. Aku berlari, menabrak semua yang menyempitkan jalanku. Hingga aku sampai di satu ruang ICU. Nada itu hilang. Aku geram. Apa semua ini? Aku membuka pintu ICU dengan kencang. Kakiku gentar, dan gentarnya semakin kencang. Dia.. Gelap
“Non, udah sadar?” aku mengerjapkan mata, memandang Laik sambil mengingat apa yang terjadi.
“Hish, Non tadi kok bisa ada di ruang ICU, sih? Saya kan jadi cemas.” Aku hanya tersenyum melihat wajahnya yang marah bercampur khawatir.
Benar. Aku melihat bayangan itu lagi. Dan aku terpukul lagi. Ah, ini bagaikan teka teki yang menerorku. Duhai engkau, simfoniku. Jangan siksa aku dengan teka-teki keberadaanmu. Siapa dan apa kau sebenarnya, sampaikan padaku lewat simfonimu sebagaimana aku yang selalu mengutarakan perasaanku padamu lewat simfoniku.
****************
Aku kembali mengurung diri di kamar. Aku suram, dunia pun suram, bagiku. Bibirku kering, air mataku pun kering. Padahal aku masih membutuhkan beberapa air mata lagi demi menuntaskan kesedihanku.
Deg. Aku terpukul. Nada ini lagi.
Tanpa berpikir panjang, aku bergegas mengikuti nada yang selalu indah bagiku itu. Tiba-tiba ibu menyapaku.
“Aka, sinilah, nak. Ibu rindu. Kita bisa berbincang sejenak, kan?” Ibu tersenyum manis penuh harap padaku. Dia terlihat sehat. Tapi aku tak bisa meninggalkan suara yang telah menarik hatiku itu. Bodohnya, hanya aku yang dapat mendengarnya. Karena itulah aku yakin, nada ini panggilan untukku. sebuah panggilan rindu.
Aku tersenyum kecut, lalu meninggalkan Ibu tanpa permisi. Aku harus bergegas.
Nada itu terhenti di rumah sakit. Rumah sakit yang terpencil sekali. Luarnya lusuh tak terawat. Dan sangat sepi sekali. Aku sedikit merinding, namun tetap tegar melangkahkan kaki. Aku masuk ke rumah sakit itu. seorang perawat menyambutku.
“Siang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?”
“Oh, tidak. Hanya saja saya baru melihat rumah sakit ini, dan berkeinginan untuk masuk sekedar melihat-lihat.” Ujarku ramah.
“Memang rumah sakit ini sudah tidak berjalan lagi.”
Deg. Maksudnya?
“Jadi, rumah sakit ini adalah peninggalan dari Bapak El. Beliau sudah wafat tiga tahun yang lalu. Dan rumah sakit ini terlantarkan. “
“Kenapa tidak dilaporkan pada pemerintah agar dapat difasilitasi dan menjadi usaha negara?”
“Tidak. Amanah dari Bapak El adalah, penerus haruslah anaknya sendiri. Yakni, Tuan Hayme…”
“Apa? Hayme? Dia..?”
“Iya, legendaris biola itu.” Ya, Tuhan. Dia benar-benar misterius.
“Apakah Anda tahu di mana dia sekarang? Dia menghilang dua bulan terakhir ini.”
“Tuan sedang berjuang melawan sakitnya. Nanti siang Tuan akan melakukan operasi. Selama ini Tuan mengidap Leukimia. Tetapi dia hanya mau dirawat di rumah sakit ini. Dia tak ingin ada media yang meliput penyakitnya.” Ceritanya, dengan wajah yang sedih.
Betapa nyerinya hatiku saat berita ini disampaikan. Bodoh. Dasar Hayme bodoh. Kau harus berjuang untuk hidup. Tak mungkin kau hendak meninggalkan aku sendiri. Aku tak akan memaafkanmu. Camkan itu!
“Di mana ruang rawatnya.” Aku bertanya dengan nada menekan.
“Di.. di sebelah sana, ruang tengah, Nona.”
Tanpa permisi aku melangkah ke ruangannya. Aku membuka pintu ruangan dengan meneteskan air mata. Hening.
Dia tidak ada?
Kakiku lemah. Aku terduduk.
Selalu saja. Selalu saja seperti ini. Detik-detik di mana aku sekejap lagi akan dekat, dia menjauh dalam sekejap. Aku menangis sekuat-kuatnya. Suaraku menggema ke langit-langit rumah sakit, membuat perawat tadi menyusulku.
“Maafkan saya, Nona. Tuan Hayme dioperasi lebih cepat karena lima belas menit yang lalu dia semakin memburuk. Maafkan saya.” Ujarnya sambil memelukku yang terduduk lemas.
*********************
Aku menunggu proses operasinya. Yang ada di benakku hanya doa dan harapan agar bisa bertemu dengannya, bahkan bersama dengannya. Di pikiranku juga hanya terisi angan-angan bersamanya. Seakan-akan aku yakin bahwa dia akan sembuh.
Sore menjelang. Operasi selesai. Betapa bahagia dan penuh harapnya aku saat pintu ruang operasi dibuka. “Bagaimana keadaan Hayme? Dia sudah sadar?”
“Nona, kami sudah berhasil menjalankan operasinya. Namun untuk saat ini, Tuan Hayme belum sadar. Jadi mohon bersabar untuk menunggu, ya.”
“Pasti, Dok.”
Kebahagiaanku tiada tara saat aku memegang gagang pintu untuk bertemu dengannya. Tiba-tiba ponselku berdering, “ Kringg..” Aku urung membuka pintu.
“HALO! AKIRA!!! IBU..”
***
“Kau sekarang pasti menyimpulkannya, kan, Izyu. Mengapa aku mencintainya, dan mengapa aku sekarang membencinya. Membenci dia dan semua tentang dia.”
Izyu merenggangkan tangannya. “Kau bodoh kalau membencinya karena ulahmu sendiri.” Izyu tertawa kecil. Kau yang menemui Kakak, kau yang menunggunya sampai-sampai kau tak makan, tak tidur, bahkan tak memedulikan ibumu saat ibumu sedang diujung hayatnya. Itu semua ulahmu sendiri, Aki. Aku akan marah jika sekali lagi kau mengatakan kau benci Kakakku.” Izyu menatapnya tajam. Akira terdiam merasa bersalah.
“Sekarang giliran Kakakku.” Izyu menyodorkan sebuah kertas gulung berpita merah di hadapan muka Akira. Akira terkejut, lalu mengambilnya pelan.
“Kau akan paham mengapa aku marah jika kau membenci Kakakku dengan membaca itu.” Izyu berbalik.
***
TERUNTUK,
RIKA AKIRA
Aku adalah Dicky Hayme. Kau pasti mengenalku, kan, nona Akira? Lucu sekali. Padahal aku lebih banyak mengenalmu dan lebih lama mengenalmu. Ah, sudahlah. Kau sudah lupa, ya. Aku sedih kau lupa padaku, pada kita, kita yang dulu berlari dan tertawa bersama. Baiklah, aku akan mengingatkan kembali, semua tentang kita.
Sebuah rumah yang sederhana dihuni oleh keluarga yang ramah dan memiliki anak gadis yang sangat ceria. Ya, rumah itu bersebelahan denganku. Anak gadisnya, yang bernama Rika Akira, suatu hari dengan percaya dirinya menyapaku dengan mengajakku bermain bola bersama. Aku, anak yang pemalu, dan penakut, tak sanggup menolak ajakannya akibat senyumnya yang menyipitkan matanya itu.
Aku menghambur ke halaman rumah menyambut ajakanmu. Saat itu, kau merubahku. Mengubah kepribadianku, mengubah hidupku, dan mengubah hatiku. Dan semua itu tak berubah hingga saat ini.
Tapi kau jahat! Kau berhasil mengubahku, kau juga berhasil merubahmu. Kau tiga bulan ke Kota R. Saat kembali, kau lupa segalanya. Aku tahu kau jatuh dari tangga kapal. Kepalamu terbentuk dahsyat oleh lima tong besar yang berisi air. Tapi aku juga jatuh saat mendengar berita itu. Jatuh, sangat kecewa. Kau hanya diam saatku menjengukmu. Diam seakan-akan aku hanya bayangan samar yang tak perlu kau pedulikan. Aku benci. Namun walau begitu, aku masih percaya dan menunggu. aku percaya kau akan mengingatku lagi. Semua akan baik-baik saja. Tetapi nyatanya, nihil.
Aku pindah ke Kota A untuk di sekolahkan di sekolah musik, ayahku juga akan membangun rumah sakit di kota itu. Aku berat meninggalkanmu. Namun tak ada yang bisa diharapkan lagi.
Namun, jujur saja aku senang sembari terkejut meihatmu selalu hadir di setiap pertunjukanku. Kau semakin cantik, dan itu membuatku semakin membara memainkan simfoni itu. Sayangnya, di setiap simfoniku tak ada yang berani untuk menyampaikan perasaan ini padamu. Semua hanya simfoni kebohongan mengenaiku. Mengenai aku yang asing padamu. Mengenai aku yang tak mencintaimu.
Tetapi, aku kembali terkejut sembari berharap saat kau tiba-tiba menjadi pemain biola yang terkenal. Dan, terima kasih. Simfonimu yang menggambarkan perasaanmu mencapaiku. Ternyata kau lebih berani dariku. Oh tidak. Kau memang gadis pemberani. Maafkan aku yang pengecut ini.
Andai kau tahu, di pertunjukan kita malam itu, aku sudah menyiapkan diri dan simfoni untuk membalas perasaanmu. Haih, namun aku tak berdaya. Tiba-tiba penyakitku yang sudah akut dari aku mengenalmu, menampakkan dirinya. Maaf, aku merahasiakan hal ini sejak kita berteman dulu. Aku berusaha mengatakannya dengan berusaha mencapaimu dengan simfoniku. Aku tahu aku berhasil. Kau datang ke rumah sakit, sayangnya, aku ada di dunia lain saat itu.
Tapi, ini semua impas menurutku. Kau dulu melupakanku tanpa meninggalkanku, sedang aku meninggalkanmu tanpa melupakanmu. Namun, apapun itu, aku bersyukur aku pernah mencintaimu, dan kau pernah mencintaiku. Terima kasih, Rika Akira, gadis simfoniku. Izinkan aku mengucapkan selamat tinggal dengan berkata, aku mencintaimu. Selamat tinggal.
TERTANDA.
Dicky Hayme.
***
“Izyu, aku membencinya. Namun, aku sangat mencintainya.”
[Natasha]