Kita nggak harus bahas lagi apa itu sahabat. Gimana rasanya punya sahabat yang ‘bener-bener’ sahabat. Why? Kenapa harus dibedakan, mana yang beneran dan boongan. Memang, ada sahabat yang KW?
Kalau menurut pemikiran saya sendiri, sahabat itu nggak selalu harus ngertiin apa yang kita mau, apa yang kita butuh, dan apa yang kita rasakan. Semua orang pasti punya dong… rasa ‘egois’ atau yang lebih enaknya mungkin mendahulukan kepentingannya daripada orang lain. Bahkan, orang yang paling dekat dengannya. Nggak bisa dipungkiri, bahwa manusia emang punya naluri mempertahankan diri. Yang dengan itu dia bisa marah, gengsi, egois, dan segudang sifat naluriah yang membuat dia bisa bertahan dalam kondisi tertindas atau tersakiti. Jadi, kita harus gimana?
Sebenernya nggak gampang dan nggak sulit, kok. Asalkan ada kemauan plus niat yang sungguh-sungguh, bisa aja kita mengatasi kepentingan kita dan kepentingan orang lain dengan berbarengan atau bergiliran. Di sini, kita punya anjuran atau bahkan perintah untuk mengedepankan sifat ‘Aulawiyat’ atau seberapa penting sih sesuatu itu dikerjakan atau digunakan.
Nah, coba deh. Timbang-timbang mana-mana aja yang sekiranya lebih utama untuk dilakukan. Mana yang sekiranya bisa dikesampingkan. Tapi, bukan berarti yang kedua ini dia lebih rendah kedudukannya atau ‘nggak penting’. Kita tentu nggak bisa melakukan banyak hal dengan kemampuan yang terbatas. Pekerjaan akan lebih mudah kalau dikerjakan sedikit demi sedikit, bukan?
Jadi, masing-masing dari kita seharusnya mengerti bahwa kita itu sama-sama manusia yang ‘ingin dimengerti’. Kalau semuanya pengin diperhatikan, siapa yang mau perhatiin kita? Nggak salah juga kalau kita sedini mungkin belajar untuk empati. Bisa lewat rasa kasihan untuk membangkitkan empati kita yang terpendam. Melalui perasaan itu, kita bisa mengontrol otak kita agar anggota gerak kita bisa bekerja untuk melakukan tindakan nyata, sebagai bentuk empati itu.
Kalau tidak percaya, silahkan coba. Itu sudah terbukti. Karena saya sendiri yang jadi kelinci percobaannya J
Well, kenapa kita bahas aulawiyat, dan empati padahal judulnya terpampang “#GaAdaLoGaRAME”. Yaps, itu dua kunci besar dalam sebuah hubungan persahabatan. Rasa empati dan sikap bijak dalam menentukan kepentingan yang lebih utama. Kalian bisa bayangkan sendiri, betapa rumitnya sebuah hubungan kalau orang-orang di dalamnya nggak punya kesadaran akan naluriah satu sama lain.
Persahabatan itu nggak rumit, kok. Kadang kitanya aja yang buat semuanya itu seolah-olah masalah besar yang nggak akan berujung ke titik penyelesaian. Semuanya akan terus menjadi rantai besar yang mengikat orang-orang di dalamnya supaya bertingkai dan terpecah belah pada akhirnya.
Kebayang nggak, kalau seandainya kita hidup di bumi yang luasnya kita nggak bisa jangkau dengan penglihatan normal, kita hidup sendiri? Tanpa teman, tanpa orang lain? Berapa lama kita bisa bertahan dalam kesendirian dan sepi?
Maka, syukurilah, bertermakasihlah pada Allah, sayangilah teman dan sahabat kalian. Karena bersama merekalah kita hidup. Merasakan pahit manis kehidupan bersama. Tanpa perbedaan kita nggak akan tahu, bagaimana kita yang sebenarnya. Tanpa ada kepayahan, kesuksesan tidak ada rasanya. Tanpa ada keburukan, kebaikan tidak akan ternilai. Tanpa ada neraka, orang akan bersantai-santai karena yakin masuk surga. Tanpa ada teman, kita ini hampa.
Perbedaan itulah yang membuat kita terlihat berwarna. Baik-buruk itu biasa. Karena itu, tulisan ini saya tulis untuk semua teman, sahabat, dan orang-orang yang menyayangi dan sempat menjadi pengisi ruang kenangan manis dan pahit yang saya alami. Tanpa kalian, saya hanyalah sayur tanpa garam.
Karena… #GaAdaLoGaRAME
[Zahrotun Nissa, santriwati jenjang SMA angkatan ke-3 | @nissaniza98]