Rabu, 5 Maret 2014. Rasa lelah, penat, kantuk, dan segala macam jenis rasa menyeruak masuk ke dalam pori-pori kami. Menyatu pada aliran darah di dalam tubuh kami. Bagai daun yang ditiup angin, tubuh kami seakan sudah tidak kuat untuk berdiri.
Sepulang dari Islamic Book Fair di Istora Senayan, Jakarta, kami pulang menaiki commuter line. Kami menaiki busway menuju stasiun kereta api. Itu kali pertamanya aku naik busway. Meski lelah, tapi senang sekali bisa berdiri bersama teman-temanku di dalam busway. Aku jadi terkesan udik, karena heboh sendiri. Ya, mungkin karena aku takut jatuh ketika busway tiba-tiba rem mendadak.
Aku tidak mau berpegangan dengan lingkaran-lingkaran yang menggantung di langit-langit busway. Bukan karena sok higienis, tapi saya hanya takut baju saya tersingkap hingga auratku jadi terlihat. Aku memilih untuk berpegangan pada tangan kanan Holifah, salah satu teman di pesantren.
Aku terus cekikikan menahan geli karena tubuhku yang berdempetan dengan tubuh penumpang lain. Untungnya, penumpang di sekitarku perempuan semua. Aku sampai menenggelamkan tawaku dengan menggingit lengan bajuku.
Aku dapat menikmati pemandangan kota Jakarta yang padat dengan bangunan-bangunan tinggi, dan jalan raya yang sesak dengan transportasi darat. Kadang, beberapa pengendara motor ada yang menyelinap masuk melewati jalur khusus busway. Dan itu membuat busway berkali-kali rem mendadak. Dan tentu saja membuatku terkekeh karena banyak yang latah.
“Aduh, anak presiden kejempet, nih!” aku membuka pembicaraan, sekedar untuk mencairkan suasana yang kalut dengan rasa lelah pada wajah teman-temanku. Mereka tertawa.
“Baru pertama kali naik busway, Teh?” Putri, adik kelasku yang masih kelas dua SMP bertanya, sambil menggigit-gigit brosur lokasi IBF, yang tadi didapatnya.
Aku menggangguk,
“Kebiasaan carter helicopter, Put…”
Teman-temanku serempak terkekeh mendengar candaanku. Aku ikut tertawa kecil.
Aku tiba-tiba saja ingin ngakak, ketika melihat wajah Daffa berhadapan tepat dengan ketiak seorang mbak-mbak dengan tubuh gempal. Daffa itu, adik kelasku yang sekarang masih kelas satu SMP. Tubuhnya memang paling pendek, tapi dia jadi terlihat imut dengan tubuh yang begitu.
Daffa memerhatikanku yang masih terus-terusan menertawankannya. Dia bahkan belum sadar, bahwa wajahnya benar-benar dekat dengan ketiak mbak-mbak yang bulu ketiaknya kelihatan. Aku sampai sakit perut menahan tawaku yang seakan mau meledak.
Aku menunjuk-nunjuk ketiak mbak-mbak di depanku. Sontak, Daffa kaget dan mundur beberapa langkah untuk menjauhi lautan bulu di hadapannya. Tapi, wanita yang mengenakan baju garis-garis hijau-putih itu malah ikut-ikutan pindah tempat, dan membuat Daffa makin dekat dengan ketiaknya. Aku makin sakit perut.
Tawaku mulai reda ketika melihat sebuah gedung hotel yang tinggi menjulang. Aku lupa apa nama hotelnya. Katanya sih, itu hotel yang pernah di bom. Aku mengangguk-ngangguk ketika Teh Novi mengingatkanku tentang kejadian beberapa tahun lalu tersebut.
Aku mulai tenggelam pada pemandangan Jakarta yang jarang aku lihat di Bogor, atau pun di Samarinda, tempat asalku. Suara ibu-bu yang sepertinya sudah direkam terlebih dahulu, keluar lewat speaker. Suara itu memberitahukan nama halte yang akan menjadi tempat pemberhentian selanjutnya.
Entah apa yang salah, tiba-tiba busway rem mendadak dan membuat penumpang di dalam busway menjadi kaget. Saking kagetnya, Teh Novi hampir jatuh, untungnya… Teh Novi dengan gesit mengenggam ketiak Putri. Aku jadi kembali sakit perut, menahan ledakan tawa di dalam mulutku.
Selanjutnya, adalah pemberhentian busway terakhir. Aku dan teman-teman, ditemani Ustadz Oleh, turun menuju halte. Kami istirahat sejenak di halte, beberapa ada yang sholat asar, sambil menunggu rombongan lainnya.
Tentu saja, kenangan ini tidak bisa terlupakan sampai aku amnesia! [Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, jenjang SMA, angkatan ke-2]