Gadis itu tersenyum. Namun ia beranjak pergi setelah seseorang yang ada di seberang kami memanggilnya. Sebelum ia pergi, ia pamit kepadaku dan Pak Djoyo dengan mengucapkan salam. Melihat gadis itu pergi, aku merasa ada perasaan aneh dalam diriku. Rasanya aku ingin bertemu lagi dengannya.
“Siapakah dia?” Tanyaku dalam hati.
“Subhanallah, gadis yang ramah, murah senyum dan sholihah. Semoga anak Bapak bisa seperti dia.” Kata Pak Djoyo pelan. Mendengarnya aku geli. Aku pun pergi menuju kelasku.
ooOoo
“Vi, hari ini ada siswi baru loh.” Kata Sari, sahabatku ketika kami sedang di kantin sekolah.
“Iya, Vi. Dia masuk ke kelas 12.A.” Tambah Nayla. Dia berada di sampingku.
“So?” Tanyaku santai. Sari dan Nayla saling bertatapan. Heran.
“Yaaa, dia hebat bisa masuk kelas itu, Vi.” Kata Nayla senang.
“Aku denger, katanya dia jago Sains.” Tambah Sari.
“Ohh… ya, wajar. Bisa masuk kelas 12.A karena emang pinter.” Jawabku pelan.
“Loh, respon kamu kok biasa aja, Vi?” Tanya Sari heran.
“Ya terus aku harus gimana? Masa aku harus naik Monas sampai ke ujungnya sambil teriak kalau aku seneng ada sisiwi baru gitu? Ngga, kan?” Jawabku sambil menatap Sari dan Nayla.
“Ya, nggak juga sih. Nanti kaya orang gila teriak-teriak nggak jelas.” Kata Sari pelan.
“Lagian, jarak Monas sama Yogja kan jauh.” Tambah Nayla.
“Tuh, kan?” Kataku. Sari dan Nayla diam.
Beberapa menit kemudian…
“Eh, eh, coba lihat! Itu siswi barunya.” Tunjuk Nayla ke arah perpustakaan sekolah tepat di seberang kami.
“Mana? Mana?” Tanya Sari penasaran.
“Aduuh, please, girls! Kalian ini kaya orang norak aja?” Kataku kesal.
“Ihh, Evita. Kamu sih nggak tahu siswi barunya.” Kata Nayla. Aku diam.
“Itu Sari!” Tambahnya.
“Ok! Emang mana dia?” Tanyaku. Nayla pun menunjukkan kepadaku di mana siswi baru itu. Setelah aku melihat ke arah perpustakaan sontak aku kaget. Kukucek kedua mataku. Aku berusaha melihat lebih jelas lagi.
“Hah?” Kataku pelan. Kemudian kubalikkan badan.
“Wait! Dia kan….” Kataku sambil berfikir. Berusaha mengingat siapa gadis itu.
“Kamu kenapa, Vi? Tanya Sari mengagetkanku. Aku diam. Kemudian Nayla dan Sari menatapku.
“Tidak, tidak, no problem.” Jawabku gugup. Tak lama kemudian aku pergi meninggalkan mereka berdua. Sari dan Nayla bingung dengan sikapku. Tapi aku berhasil kabur.
ooOoo
“Aduh, kenapa jadi kempes?” Tanyaku heran. Melihat ban sepeda motorku yang kempes.
“What’s wrong?” Tanya seseorang di belakangku. Aku berbalik badan.
“Ka, ka, kamu.. yang tadi pagi itu, kan?” Tanyaku heran plus kaget.
“Iya. Kenalkan nama ana Tuffah. Ana siswi baru di sini.” Kata gadis itu memperkenalkan diri. Ternyata nama gadis itu Tuffah.
“Feelingku bener. Dia siswi baru itu.” Kataku dalam hatiku.
“Anti… Evita, kan?” Tanya Tuffah.
“Namaku bukan Anti Evita. Nggak ada Antinya.” Bantahku.
“Anti itu artinya kamu. Maksudnya, kamu Evita, kan?” Jelas Tuffah.
“Oh gitu. Iya aku Evita. Kok tahu?” Tanyaku heran.
“Jelas ana tahu. Di kelas, anti banyak dibicarain.” Jawabnya.
“Really?” Tanyaku penasaran. Tuffah mengangguk.
“Ohya, sepertinya ban motor anti kempes.” Kata Tuffah. Ia melihat ke arah ban sepeda motorku. Aku mengangguk.
“Lalu gimana anti pulang?” Tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Emm… naik sepeda ana, yuk?” Ajak Tuffah.
“What? Bicycle?” Tanyaku kaget.
“Iya, sepeda.” Jawab Tuffah semangat.
“Evita Drizzle tidak pernah naik sepeda.” Kataku dalam hati.
“Kenapa?” Tanya Tuffah heran. Aku menggelengkan kepala.
“Kalau begitu, ayo!” Pinta Tuffah. Belum sempat aku menjawab, ia menarik tanganku.
“But, how about my motorcycle?” Tanyaku.
“Don’t worry! Nanti biar Pak Djoyo yang urus.” Jawab Tuffah santai.
Aku pun mengikuti Tuffah mengambil sepedanya di sudut parkiran sekolah. Perasaanku campur aduk antara takut, bimbang, heran dan takjub. Aku tak menyangka bisa bertemu dengannya lagi. Tuffah, si gadis cantik pagi tadi kini ada di sampingku.
ooOoo
“Ternyata naik sepeda itu asik juga.” Kataku pelan.
“Tentu!” Tanya Tuffah sambil mengemudikan sepeda. Ternyata ia mendengar apa yang aku katakan.
“Kamu udah lama naik sepeda?” Tanyaku santai.
“Na’am. Dari TK ana suka naik sepeda.” Jawab Tuffah.
“ Why?” Tanyaku lagi.
“Karena ana suka menikmati pemandangan. Sambil bersepeda, ana bisa lihat keadaan jalan raya, pertokoan, perumahan, gunung dan masih banyak lagi. Bersepeda juga sehat buat tubuh.” Jelas Tuffah. Aku sibuk mendengarkan.
Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dengan sepeda Tuffah. Aku lihat Tuffah sibuk mengendalikan stang sepeda yang mulai tak seimbang. Pedal pun kini dikayuh dengan pelan.
“Fah, ada apa dengan sepedanya?” Tanyaku penasaran.
“Ana juga tidak tahu. Coba anti lihat bannya!” Pinta Tuffah.
Aku pun melihat ban belakang sepeda. Aku terkejut. Ternyata bannya bocor. Angin dari dalam ban pun menciut ke luar. Ada paku yang menancap.
“Fah, we must stop it!” Kataku cemas.
“What did you speaking? I don’t hear your voice.” Teriak Tuffah. Sepeda semakin tak seimbang.
“The tire is leaked and there is a nail in side.” Teriakku.
“Really?” Tanya Tuffah. Aku mengangguk.
Dan….
To be continue…
[Siti Muhaira, santriwati kelas 2 jenjang SMA, Pesantren Media]