Oleh Umar Abdullah
Jika pengakuan MA benar, maka era gila pendidikan formal di Indonesia dimulai. Di tahun 1970an berita guru pria naksir siswi SMAnya, lalu melamar dan menikahinya banyak kita dengar. Banyak juga berita siswa SMA naksir guru wanitanya yang punya nilai plus plus. Mulai tahun 2000an banyak kita dengar guru menggerayangi tubuh siswinya. Dan tahun 2012 ada guru SMA Negeri 22 di Matraman, Jakarta yang menjabat wakil kepala sekolah bidang kesiswaan berani menyuruh siswinya melakukan oral seks terhadap dirinya. Gila! Na’udzubillaahi min dzalik!
MASIH ANAK-ANAK ATAU SUDAH DEWASA?
Bedanya, pada era 70an, siswi SMA sudah dipandang sangat layak untuk menikah. Jangankan SMA, banyak murid SD lulus langsung nikah. Padahal pada masa itu gadis-gadis belum banyak menerima rangsangan seksual melalui media dan pergaulan bebas. Tubuh merekapun kurus-kurus. Pada usia 16 tahun banyak gadis sudah menjadi istri dan menginjak usia 17 tahun sudah punya bayi. Banyak guru yang menikahi muridnya. Orang tua si murid pun merasa terangkat derajatnya. Kedudukan guru pada saat itu sangat terhormat hingga layak digugu (didengarkan) lan ditiru (dan diteladani). Pada saat yang sama, walaupun belum banyak tahu tentang Islam, para gadis masih sangat terjaga dan menjaga pergaulannya dengan moralitas yang masih tanamkan para orang tua sebagai sisa-sisa bangsa Islam.
Sementara sejak era Reformasi 1998, media massa semakin liberal. Internet yang seharusnya menjadi sarana pendidikan dan bisnis, berubah menjadi media pornografi dan pelacuran paling efektif. Berbagai gaya hubungan seks dapat dengan sangat mudah dilihat dan dipelajari dari internet. Oral Seks yang berasal dari peradaban liberal seolah menjadi hal lumrah dilakukan oleh wanita terhadap pasangan seksnya. Suatu gaya yang tidak pernah terbayangkan akan dilakukan seorang muslimah walau terhadap suaminya sendiri, pasangan seks yang halal dan resmi baginya.
Perbaikan gizi dan rangsangan seksual yang bertubi-tubi membuat tubuh para gadis saat ini lebih tinggi dan lebih berisi. Tubuh murid perempuan kelas 6 SD sekarang sudah sama dengan siswi SMA jaman dulu. Bisa dibayangkan bagaimana tubuh siswi-siswi SMA zaman sekarang. Anehnya, karena belum lewat usia 18 tahun, siswi SMA kelas 3 pun masih dianggap anak-anak oleh UU Perlindungan Anak.
Lebih aneh lagi, remaja yang sudah sangat tahu tentang hubungan seks dari internet itu dilarang keras menikah. Hasrat seksual akhirnya disalurkan pada saluran yang salah. Penelitian PKBI menunjukkan bahwa di Jabodetabek separuh lebih remaja (51 %) mengaku sudah melakukan hubungan seks (berzina).
Pada saat yang sama, para orang tua era 2000an meniru gaya liberal Barat. Predikat ”punya pacar dan tampil seksi” dianggap sesuatu yang harus melekat pada anak gadisnya. Mereka menganggap kuno moralitas Islam yang ditanamkan para orang tua kita dulu. Sehingga tidak jarang kita melihat ibu-ibu setengah baya memakai kerudung rapi, menggandeng anak gadisnya yang memakai pakaian yang membuka aurat. Terbalik-balik.
MELANGGAR BATAS PERGAULAN PRIA-WANITA DEWASA
Kasus MA menjadi contoh yang terang benderang. Menganggap dirinya masih anak-anak, MA sering berdua saja curhat ke Guru Y. Padahal MA sudah kelas 3 SMA (sekarang kelas 18). Sementara Guru Y menganggap MA sebagai seorang perempuan dewasa. Sehingga wajar ada rumor disekolah bahwa Guru Y pacaran dengan MA, walaupun MA menganggap Guru Y sebagai pengganti ayahnya. Lebih parah lagi MA mau saja diajak berduaan dengan Guru T, baik di mobil maupun di rumahnya. Dasar otak bejat, Guru T mengincar mereka-mereka yang punya track record pacaran. Dia menganggap MA sebagai perempuan murahan yang bisa diajak main seks. Hanya saja guru T tidak ingin meninggalkan jejak berupa kehamilan sehingga ia hanya berani minta oral seks dari siswinya.
Entah belum tahu atau sudah tahu tapi masih nekat melanggar, seharusnya MA tidak boleh berdua saja dengan lelaki yang bukan mahramnya, walau itu gurunya. MA sudah masuk ”Gerbang Khalwat”. Maka setan pun memainkan skenarionya. Nabi saw bersabda:
Laa yakhluwanna [tidak boleh berkhalwat] rajulun bi`imra`atin [seorang pria dengan seorang wanita] illaa [kecuali] wa ma’aHaa dzuu mahramin minHaa [bersama si wanita disertai mahram si wanita] fa`inna tsaalitsuHumaasy syaythaanu [karena sesungguhnya yang ketiga dari keduanya adalah setan] (HR. Muslim)
Seharusnya jika ingin curhat ke guru BP tidak boleh berdua. Ajaklah teman sesama jenis minimal satu orang untuk menemani. Apalagi jika diajak masuk ke mobil oleh guru wajib bin harus tidak sendirian.
Wajar, karena di sekolah negeri pelajaran agama hanya 2 jam per minggu. Itu pun hanya urusan ibadah, akhlaq, pernikahan, perceraian, dan kematian. Persoalan pergaulan pria-wanita tidak diajarkan. Andai para siswa dan siswi tidak mengkaji Islam melalui gerakan-gerakan Islam, maka kondisi sekolah negeri nyaris seperti kandang binatang.
MENUHANKAN NILAI DAN IJAZAH
Sayang beribu sayang, disamping pergaulan pria-wanita tidak tertata dengan baik, penanaman aqidah Islam juga amburadul. Nilai pelajaran dan ijazah sudah menjadi tuhan baru. Nilai diturunkan dan ijazah tidak dikeluarkan lebih ditakuti daripada Allah yang selama ini sudah memberi keselamatan dan rejeki. Padahal dalam dunia nyata pun, banyak orang yang mandiri dan mulia bukan karena ia sekolah, apalagi berapa nilai ijazahnya. Pertolongan Allah-lah yang membuatnya berjaya. Keahlian, ketekunan, dan kreativitasnya semakin berkembang dalam pertolongan Allah tersebut.
Celakanya setan selalu pintar mencari alibi untuk merasuki akal dan hati penduduk negeri ini. Berhala Nilai dan Ijazah dimanfaatkan para guru dan pejabat sekolah untuk menakut-nakuti siswa dan siswinya. Siswa dan siswinya pun dibisiki setan agar takut nilainya jelek apalagi kalau tidak lulus. Akhirnya contek-mencontek menjadi hal biasa. Lebih gila lagi guru, kepala sekolah, kepala dinas ramai-ramai memberi contekan ke muridnya agar nilai ujian mereka terkatrol naik. Sistem pendidikan apa ini! Lalu buat apa belajar selama tiga tahun? Berarti selama ini bukan ilmu yang dicari, tapi hanya untuk mencari nilai dan ijazah.
Wajar, karena anak-anak di negeri ini disetting untuk menjadi pekerja. Ijazah dikejar agar bisa dilampirkan di Surat Lamaran Kerja. Sayang seribu sayang, bangsa merdeka ini masih berpikir sebagai bangsa terjajah, bangsa jongos!!
Seharusnya, bangsa ini mensetting anak-anak bangsa ini menjadi wirausaha. Menjadi juragan di negerinya sendiri. Mereka harus menguasai ilmu dan memiliki skill. Ilmu dan skill tersebut dibuktikan dengan karya. Tidak perlu lagi nilai pelajaran. Tidak perlu lagi ijazah. Karena tidak perlu lagi membuat Surat Lamaran Kerja. Merekalah yang membuat pekerjaan. Merekalah yang membuka lapangan pekerjaan buat orang lain dengan cara mengecek langsung apakah orang yang sedang mencari kerja itu bisa melakukan pekerjaan yang ditawarkan atau tidak. Tak perlu lagi ijazah. Karena ijazah SD-SMP-SMA negeri sekarang nilai-nilainya palsu, dirobek pun tak masalah.[]