Pada pekan ini Pesantren Media kembali mengadakan Diskusi Aktual. Yang membahas tentang “Dilema TKW di Negeri Orang”. Diskusi Aktual dipimpin oleh Ahmad Khoerul Anam, santri ikhwan Pesantren Media angkatan ke 2 jenjang SMA. Dan, Fadlan Turi, santri ikhwan Pesantren Media angkatan ke 2 jenjang SMP. Dan saya sendiri Holifah Tussadiah sebagai notulen pekan ini.
Seperti biasa, Diskusi Aktual dibuka oleh Ustadz Oleh Solihin (kepala sekolah Pesantren Media) menyampaikan beberapa fakta yang berkaitan dengan tema kita pekan ini.
“Saat ini Indonesia itu seperti mengekspor ‘sampah’. Karena banyak TKI yang tidak punya bessic. Seperti bahasa, keterampilan dan pendidikan yang memadai. Ditambah lagi TKInya banyak yang ilegal, baik PJ (Penanggung Jawab) yang di luar negeri maupun dalam negeri. TKI yang tidak berpendidikan banyak yang tidak memahami akad kerjanya dengan baik. Dan ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Contohnya, TKI disuruh bekerja tanpa digaji (seperti budak). ..” Jelas Beliau.
“Kalau yang legal itu sudah dibekali dengan bahasa, keterampilan dan pendidikan yang memadai. Para TKI yang legal mengetahui dan memahami akad kerjanya dengan baik. Dan, yang legal ini resmi dari pemerintah. Mereka terfasilitasi.” Tambahnya.
Setelah prolog disampaikan, moderator tanpa basa-basi membuka sesi pertanyaan. Santri pun antusias untuk bertanya. Telah tercatat beberapa pertanyaan yang masuk ke forum diskusi kali ini. Pertanyaan pertama yang dibahas adalah dari Noviani Gendaga, santri akhwat Pesantren Media angkatan 2 jenjang SMA.
”Apa hukumnya menjadi TKW baik yang ilegal maupun legal?” moderatorpun mempersilahkan peserta diskusi untuk menjawab. Jawaban pertama dilontarkan oleh Rizki Yanur Tanjung, santri ikhwan Pesantren Media angkatan ke 2 jenjang SMP.
“Mubah. Kalau misalnya jadi TKW/TKI terdesak gitu. Mungkin karena ekonomi di rumahnya, entah dia banyak hutang atau apa. Kalau kerja di luar negeri kan gajinya banyak, nilai uangnya lebih besar. Jadi kan dia fikir, jadi kerjaan itu bagus. Terserah mau jadi TKW/TKI, mubah-mubah saja.”
Setelah mendengar pendapat Rizki. Hawari, santri ikhwan Pesantren Media angkatan ke 2 jenjang SMA membantah apa yang Rizki paparkan.
”Hukum jadi TKW itu haram. Alasan pertama adalah, kalau TKW tidak disertai mahromnya. Wanita itu kan tidak boleh keluar rumah lebih dari sehari semalam tanpa disertai mahbromnya. Meskipun itu untuk berhaji, yang wajib aja enggak boleh apalagi yang sunnah. Alasan kedua adalah dapat memungkinkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti: pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan.”
Merasa kurang dengan jawaban Hawari. Teh Neng IlhaM, santri akhwan Pesantren Media angkatan ke 1 jenjang SMA, menambahkan jawaban Hawari.
“Menurut Neng, dan yang ketiga itu, kalau dia sudah menikah dan mempunyai anak dia melalaikan kewajibannya sebagai istri dan seorang ibu. Karena kalau wanita bekerja itu hukumnya mubah, mubah itu harus dilihat dulu mana yang utama. Kalau yang utamanya itu harus di rumah menjadi ummu warobatul bait berarti dia enggak boleh jadi TKW.”
Setelah pertanyaan pertama telah di jawab, dan yang bertanya merasa puas dengan jawaban yang telah diberikan. Diskusi kembali dilanjutkan dengan pertanyaan ke 2 dari Solahudin Umar, santri ikhwan Pesantren Media angkatan ke 2 jenjang SMP. “ Apa Islam membolehkan adanya TKW?”
Hukum menjadi TKW itu haram, seperti yang sudah dijelaskan Hawari dan Teh Neng tadi dipertanyaan pertama. Yakni:
“Hukum jadi TKW itu haram. Alasan pertama adalah, kalau TKW tidak disertai mahromnya. Wanita itukan tidak boleh keluar rumah lebih dari sehari semalam tanpa disertai mahbromnya. Meskipun itu untuk berhaji, yang wajib aja enggak boleh apalagi yang sunnah.
Alasan kedua adalah dapat memungkinkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti: pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan.
dan yang ketiga itu, kalau dia sudah menikah dan mempunyai anak dia melalaikan kewajibannya sebagai istri dan seorang ibu. Karena kalau wanita bekerja itu hukumnya mubah, mubah itu harus dilihat dulu mana yang utama. Kalau yang utamanya itu harus di rumah menjadi ummu warobatul bait berarti dia enggak boleh jadi TKW.”
Diskusi kembali dilanjutkan dengan pertanyaan Teh Ira, santri akhwat Pesantren Media angkatan ke 2 jenjang SMA. Pertanyaan pertama dari Teh Ira, “Apa hukumnya membantu TKW yang bersalah? Misalnya dalam kasus Satinah, pihak keluarga korban meminta Satinah untuk membayar diyat sebesar Rp 21 miliyar karena Satinah telah membunuh majikannya. Nah, untuk membantu Satinah ada kegiatan pengumpulan dana. Lalu apa boleh kita membantu mengumpulkan dana itu?”
Lagi-lagi Umar kembali menjawab pertanyaan yang diajukan santri. “Kalau bersalah harus ditegakkan hukumnya. Dalam Islam kalau membunuh harus dibunuh lagi. Kecuali kalau bayar diat. Dalam Islam kan 1 milyar untuk satu orang. Sedangkan ini dua puluhsatu milyar. Ini sudah kelewat batas.”
Ustadz Oleh menambahkan, “Satu milyar itu harus disesuaikan setara dengan 100 ekor unta. Kalau 21 milyar itu kelebihan.”
Umar menambahkan jawabannya “Membantu TKW yang bersalah itu boleh-boleh saja. “
Hawari juga ikut berpartisipasi menjawab, “Membantu kalau dia supaya tidak dihukum atau tidak didenda itu tidak boleh karena bagaimana pun dia sudah membuat kesalahan. Yang kedua, kalau dia disuruh membayar diat terus kita membantu untuk membayar diat itu, boleh. Yang ketiga, dilihat penyebab kasus pembunuhannya itu apa.”
Dan pertanyaan ke 2 dari Teh Ira “Sebenarnya permasalahan yang sering terjadi, siapakan yang patut disalahkan?”
Dengan singkat Ikhsan menjawab “Dilihat faktanya.”
Zahrotun Nissa, santri akhwat Pesantren Media angkatan ke 2 jenjang SMA. Ikut menjawab pertanyaan Teh Ira. “Kalau di berita seringnya mengawali masalah TKW/TKI itu majikannya. Biasaanya, mancing duluan, misalnya disuruh enggak mau langsung dianiaya. Kalau pembantu itu enggak mungkin ngelawan kalau majikannya bener. Banyak tetangga yang baik-baik aja karena majikannya yang bener. Kalau dilihat dari kasus biasanya, majikannya yang salah. Tapi kalau secara keseluruhan sistemnya.”
Moderatorpun tidak mau kalah. Anam ikut menjawab juga “Mungkin memang ini salah majikannya, tapi enggak semua salah mereka. Ini juga salah pemerintah Indonesia, karena mengirimkan TKW/TKI yang tidak sesuai kriteria. Sebelum mengirimkan harusnya dipilih dulu. Mana yang layak dikirim mana yang enggak.”
Setelah panjang lebar menjawab pertanyaan Teh Ira. Kini pertanyaan yang akan dijawab jatuh pada pertanyaan Fathimah, santri akhwat Pesantren Media angkatan ke 1 jenjang SMP. “Apa yang akan dilakukan Khalifah jika ada rakyatnya seperti Satinah itu?”
Karena tidak ada yang mau menjawab, akhirnya moderator menunjuk Hawari untuk menjawab. “Kalau kasusnya seperti itu dan ada khalifah, khalifahnya itu pasti meneliti dulu kasusnya seperti apa. Kalau itu cuma fitnah diberikan keadilan. Kalau dia mau dibunuh karena melakukan kesalahan khalifah akan membiarkan. Tapi yang enggak masuk akal itu, kalau khalifah udah tegak masa ada sih warga negaranya yang dibiarkan apalagi sampai terluka.”
Balik lagi dengan pertanyaan ikhwan. Kini pertanyaan diajukan oleh Dihya Musa Amal Romis, santri ikhwan Pesantren Media angkatan ke 2 jenjang SMA. Ada dua pertanyaan yang diajukan oleh Musa. Yang pertama, “Kenapa Sakinah mau bekerja di Timur Tengah?”
Karena semuanya enggak ada yang tahu, jadi menjawab ala kadarnya. Ikhwan dan akhwat menjawab setahu mereka. “Satinah itu mau bekerja di timur tengah karena himpitan ekonomi, pengen jalan-jalan keluar negeri, karena gajinya juga lumayan untuk mencukupi kehidupannya.”
Dan, pertanyaan kedua dari Musa, “Kapan terjadinya kasus pembunuhannya?”
Baik akhwat maupun ikhwan tidak ada yang tahu kapan terjadinya kasus pembunuhan itu. Jadi moderator menyerahkan pertanyaan ini ke Ustadz Oleh Ustadz Oleh menjawab singkat. “Kasus pembunuhan ini terjadi sejak tahun 2006.”
Pertanyaan selanjutnya adalah pertanyaan Teh Neng Ilham, “ Apa alasan Satinah membunuh majikannya?”
Kurangnya membaca berita ataupun menonton televisi membuat santri banyak yang tidak update berita Satinah ini. Terdengar dari belakang saya, santri kahwat yang menjawab. Ternyata itu Via yang menjawab.
Menurut Via, “Membela diri karena mau disiksa majikannya. Selama satinah bekerja juga dia tidak digaji jadi satinah terpaksa mencuri.”
Kembali saya bacakan pertanyaan. Kini saya memilih untuk membacakan pertanyaan Ela Fajar Wati, santri akhwat Pesantren Media angkatan ke 2 jenjang SMA. “Kapan pertama kali adanya TKI?”
Lagi-lagi santri tidak ada yang tahu. Akhirnya moderator melempar pertanyaan ini pada Bapak Pesantren Media (Ustadz Oleh). “Pertama kali ada TKI itu pada tahun 1890. Pada jaman Belanda, dan ini sebelum merdeka. Yang dikirim itu laki-laki ke Suriname, tapi kalau yang tercatat di Indonesia tahun 1983.” Jawaban Ustadz Oleh singkat dan padat.
Pertanyaan yang ditanyakan oleh Nissa ini penting banget bagi santri Pesantren Media. sekaligus ini menjadi pertanyaan penutup di dikusi kali ini. “Apa tindakan kita sebagai santri media untuk mengurangi jumlah TKW/TKI sekaligus dengan adanya new human tracficking?”
Tentunya santri Pesantren Media sudah tahu apa yang harusnya dilakukan. Satu persatu jawaban santri pun dilontarkan. Kata Via, “Mengingatkan lewat media.” Maila ikut berpartisipasi menyampaikan pendapatnya “Buat tulisan yang berisi tentangTKW bahwa tugasnya sebagai ummu warobatul bait terbengkalai.”
Hawari pun ikut menjawab “Pos di website tentang TKW. Musa pun enggak mau kalah dengan teman-temannya “Berdoa lewat tulisan.” Adik kelas yang satu ini juga enggak mau kalah dengan kakak-kakak kelasnya. Kata Ikhsan “Cari-cari informasi, faktanya, terus bikin film dukumentar tentang TKW.”
Setelah terjawab pertanyaannya. Diskusi pun ditutup tanpa ada kesimpulan baik dari saya maupun dari moderator. Sebenarnya masih ada beberapa pertanyaan yang tidak sempat dijawab. Karena waktu dan pertanyaan yang mirip-mirip, moderator memutuskan untuk mengakhiri diskusi kali ini.
Semoga dengan diadakannya diskusi pekan ini yang bertemakan “Dilema TKW di Negeri Orang” bisa bermanfaat bagi kita semua, amin.
[Holifah Tussadiah, santriwati kelas 2 jenjang SMA, Pesantren Media]