Loading

Terik matahari siang itu sangat panas. Bahkan untuk beli jajan keluar saja malasnya minta ampun. Apalagi pergi sholat dzuhur ke masjid yang jaraknya harus ditempuh sepuluh menit dari rumah. Begitulah kemalasan majikan ku ketika akan melaksanakan ibadah yang memakan waktu dan tenaga lumayan banyak.

Setiap hari aku harus menemani majikan ku pergi. Meskipun cuaca tidak enak, aku harus menerima nasib sebagai pembantu, dan aku tidak menerima bayaran sepeser pun dari majikan. Kalau dibilang budak, mungkin saja cocok. Tapi aku tidak mau dipanggil budak.

Siang ini majikan ku terpaksa harus pergi melaksanakan ibadah solat dzuhur di masjid, meski harus dipaksakan. Majikan ku memang sering memaksakan jika dia mulai malas untuk beribadah. Lama-lama juga akan menjadi kebiasaan baik untuk majikan ku.

Setiap waktu sholat, aku pasti diajak majikan ku untuk menemani nya. Bukan hanya ketika waktu sholat saja aku di suruh menemani nya, untuk jajan keluar kau juga diajak menemani “Dasar majikan manja!” kesalku dalam hati.

Ketika sudah sampai di masjid, aku di tinggal di teras masjid bersama teman-temanku. Mereka juga senasib ddengan ku. Setiap hari mereka harus menemani majikan mereka kemanapun sang majikan ingin pergi.

Setelah beberapa saat aku menunggu majikanku keluar, tiba-tiba ada yang memanggilku dari kejauhan. “Bro, siapa namu you?” Aku tersentak mendengar ada yang memanggilku. Baru kali ini ada yang menyapa aku. “Yo’a bro, nama ku Andret. Sepertinya kita dari daerah yang sama ya broo?” Aku membalas sapaan tersebut dengan gaya SKSD (Sok Kenal Sok Dekat). “So pasti… Bedanya cuma kulit kamu lebih kasar dari aku.” Dia menjawab sambil ngledek ke arah wajah ku.

Belum sempat aku menanyakan nama teman baru ku, tiba-tiba aku di ajak paksa tanpa melihat siapa sebenarnya aku. Pada momen-momen seperti ini aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa kabur bgitu saja. Aku tidak tahu mau dibawa kemana oleh oarang ini yang asal comot.

Setelah beberapa saat aku berjalan, tiba-tiba aku sudah berada di tr=eras rumah orang. Aku tidak tahu dimana letak rumah ini. Sepertinya jarak rumah asing ini dan rumah kontrakan majikan ku tidak terlalu jauh. Kalau aku kabur, mana bisa aku pergi. Nanti aku menyalahi takdir yang telah ditetapkan kepada ku. Satu-satunya cara agar kau bisa kembali ke majikan ku, aku harus datang lagi ke masjid tadi supaya bertemu majikan yang selalu menyayangi aku.

Tiga jam lamanya aku menunggu orang yang asal mengajak aku. Boring, bosen, sepi, gak ada teman. Hanya aku sendiri di sini.

Suara aadzan Asar berkumandang. “Sepertinya aku kenal suara yang mengumandangkan adzan. Ooh… iya, ini suaranya Mbah Edi.” Majikan ku selalu menebak yang megumandang adzan. Biasanya yang selalu adzan Mbah Edi dan Oyyok. Karena majikan ku sering mengatakan nama nama itu, jadinya kau hafal.

Setelah adzan asar selesai, ada seseorang yang keluar dari rumah. “sepertinya oarang ini orang yang membawa aku ke sini” Gumam ku dalam hati. Setelah orang itu sampai di depan ku, ternyata tebakan ku benar. Dia kembali membawa ku pergi lagi. Entah kemana aku akan di bawa. Semoga saja orang ini membawa aku ke masjid.

Setelah berjalan beberapa menit, aku terus berdo’a agar aku dipertemukan lagi dengan majikan ku. Karena memang dia satu satunya majikan paling baik yang pernah aku temui.

“Aku sampai di masjid lagi. Aku di masjid…hahaha.” Aku berteriak sambil tertawa karena do’a ku terkabulkan oleh Allah SWT. Aku masih ada harapan lagi untuk kembali ke majikan ku lagi.

Kumandang Iqomat telah berlalu, tapi majikan ku belum juga datang. Aku masih menunggu dan menunggu. Jika majikan ku tidak datang, pupus sudah harapan ku untuk kembali lagi dengan majikan ku.

“Dasar majikan goblok! Solat asar saja malas, apalagi nanti kalau di medan perang. Kalau malas malasan kamu lang sung mati di tembak musuh!” kesalku menjadi jadi, sambil mengunoamaj=kan majikan yang sangat malas.

“Akhirnya sandal ku ketemu juga. Rp 105.000 kau beli sandal ini. Lumayan kalau hilang lagi.” Tiba tiba majikan ku datang sambil menyembunyikan aku agar tidak tertukar denga sandal lain.

[Dihya Musa AR, santri jenjang SMA, Pesantren Media]

By Farid Ab

Farid Abdurrahman, santri angkatan ke-1 jenjang SMA (2011) | Blog pribadi: http://faridmedia.blogspot.com | Alumni Pesantren MEDIA, asal Sumenep, Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *