Sore ini, Rabu, 02 April 2014, aku belum bisa beranjak dari pelataran Masjid Raya Bogor. Belum bisa pulang. Hujan yang turun, membuat aku tak bisa melangkah keluar, mencari angkot yang akan mengantarkan raga ini sampai ke rumah.
Tapi aku bahagia. Setidaknya, dari salah satu sisi masjid ini, aku bisa menatap hujan yang menerpa atap-atap rumah. Sesuatu yang sedari kecil – yang jarang kulakukan ketika usia ini semakin tua – sangat aku sukai. Entah kenapa, di setiap tetes demi tetes air langit itu turun menyapa semua yang ada di Bumi, hatiku menjadi amat tenteram. Hawa dingin serta aroma khasnya yang begitu kental kurasakan, bahkan bisa mendamaikan hatiku. Membawa kesegaran tak biasa yang seolah membangkitkan gairah untuk menjalani hidup.
Hujan semakin menderas. Bulir-bulirnya semakin banyak, mengaburkan pandangan. Seolah-olah ia berkata, “Sore ini, tetaplah kau di sini, Kawan. Lihatlah aku. Begitu bergairah melaksanakan tugas yang dititahkan Sang Pencipta alam semesta padaku. Selalu bersemangat menyapa dan menghidupi tanah-tanah gersang berdebu. Lihatlah, aku adalah rahmat-Nya yang baru tercipta. Apakah kau menyukaiku?”
Dalam diam, hatiku menjawab, “tentu saja aku menyukaimu, Hujan. Sejak kecil, ketika awan pekat mulai berarak menghias langit desa, aku selalu bersiap menyongsong kehadiranmu. Bersiap-siap dengan sejuta alasan yang kukarang untuk membujuk ibu supaya diperbolehkan berlarian mengitari rumah untuk bermain-main denganmu.”
“Dan aku selalu senang luar biasa ketika ibu mengijinkan. Dengan bertelanjang dada, aku berlari mengelilingi rumah. Berlari sambil menengadahkan wajah. Kau ingin tahu apa yang kurasakan saat itu? Kedamaian dan keceriaan yang begitu mendalam. Yang mungkin bahkan tak akan bisa kudapatkan dengan hanya nonton Ultraman, Power Ranger, atau makan bakso dan mie ayam. Mungkin engkau benar, dan para guru pastilah benar, bahwa engkau adalah rahmat-Nya yang baru tercipta. Hingga aku harus mengucapkan ini ketika berjumpa denganmu: Allahumma soyyiban nafian.”
Sebenarnya, maksud hati hendak berlama-lama bercerita tentang hujan. Menggali semua memori yang ada. Mengisahkan semua kisah tentangnya. Namun apa daya, indikator beterai netbook sudah menyala merah. Pertanda dayanya sudah sangat lemah. Hampir habis setelah hampir satu jam menemaniku bercuap-cuap di radio terkait nasib buruk yang menimpa TKW nun jauh di negeri orang sana.
Maka, di antara riuh kerumunan anak-anak SD yang entah melakukan apa di pojokan sana, di antara beberapa orang yang ikut termanggu menunggu reda hujan di pelataran masjid, kuakhiri saja coretan ‘ngasal’ tentang hujan ini.
Akan kututup layar netbook, dan kembali menatap hujan yang mulai ditemani angin.[]
[Farid Ab, santri jenjang SMA, Pesantren Media]