Aku melirik ke arah jam dinding di ruang tengah. Satu satu jam lagi sebelum jam tiga. Dan tingkat kemalasanku sudah terlalu tinggi untuk sekedar bersiap-siap sebelum pergi ke masjid, menghadiri undangan Hafsa kemarin.
Aku tidak punya pilihan untuk tidak datang ke masjid. Tidak setelah instingku mengatakan Hafsa benar-benar ingin aku datang. Lagi pula aku sudah bilang akan datang meski ada embel-embel diusahakan. Dan tidak ada halangan yang cukup berarti agar aku bisa mangkir dari undangan Hafsa kecuali rasa malasku.
Lima belas menit kemudian aku beranjak dari pembaringan penuh kemalasan di sofa ruang tengah. Berjalan ke kamar mandi di kamarku, bersiap pergi ke masjid sebelum ibu muncul dan benar-benar menyeretku ke sana.
Rasa jengkelku selama proses bersiap tadi hilang begitu ibu muncul dari balik pintu rumah sambil membawa plastik-plastik besar entah apa isinya dan tersenyum terlalu lebar ke arahku.
“Mau ke masjid, kan.”
Aku terdiam, memikirkan itu pertanyaan atau pernyataan. Meski pada akhirnya aku menggumam mengiyakan perkataan ibu.
“Tuh, kan, Aja pasti mau, ibu bilang juga apa.” Aku menahan diri untuk tidak mendengus kesal menyikapi perkataan ibu. “Eh, tunggu Ja, bawa makanan sekalian, buat panitianya.”
“Puasa ibu,” kataku mengingatkan.
“Oh, iya, lupa ibu. Yaudah buruan pergi. Telat nanti, salam buat Hafsa sama yang lainnya, ya. Eh, kalau ada Gusti, bilang kamu anaknya ibu. Biar Bu Nari tau, Aja juga ikut jadi panitia walaupun sudah kerja.”
Aku beristigfar terlalu keras dalam hati mendengar omongan ibu. “Najwa ikutan karena diajak, bukan buat dipamerin, bu. Udah ah, Aja pergi dulu. Assalamualaikum.”
“Iya, iya, waalaikum salam, Ja.”
Aku berjalan keluar rumah, menyusuri jalanan yang kemarin kulalui bersama ibu untuk sampai ke masjid. Sekitar lima belas menit kemudian aku sudah berada di pekarangan masjid. Pekarangannya memenuhi semua sisi masjid dengan lebar sekitar dua setengah meter dan tanahnya ditutupi batu bata berwarna abu.
Aku berjalan menuju ke teras depan masjid, melepas sandalku di batas suci lalu berjalan memutar, memasuki tempat sholat perempuan yang berada di bagian belakang masjid.
Begitu aku masuk sambil mengucap salam, empat orang perempuan yang salah satunya Hafsa, sedang duduk melingkar dan langsung menengok ke arahku. Aku tersenyum pada mereka kemudian Hafsa berdiri dan menghampiriku.
“Waalaikum salam. Ayo duduk, Teh.” Hafsa menarikku mendekati ketiga perempuan lainnya lalu duduk di antara mereka. “Kenalin, Teh Najwa, anaknya Bu Rani.”
“Oh, Bu Rani di blok F? Kenalin atuh, Nani.” Logat sundanya yang kental dan nada bicaranya yang santai terdengar renyah di telinga. Aku tersenyum, menyambut uluran tangan Nani lalu menyebutkan namaku.
“Kirana,” tersenyum gugup, aku membalas uluran tangan Kirana sambil menyebutkan namaku. Sepertinya Kirana tidak begitu suka dengan kedatanganku dari nada bicaranya yang jutek.
“Sasya, kembaran Hafsa.” Aku kaget saat Sasya mengatakannya. Kulihat Hafsa dan Sasya yang kini duduk bersebelahan, dan aku tidak menemukan kemiripan apapun di antara mereka berdua. Warna kulit, hidung, mata, mulut, kecuali bentuk wajahnya, tidak ada yang akan sadar mereka itu kembar.
“Tau, kok, kita memang gak mirip sama sekali. Tapi gua lahir tiga menit sebelum dia. So, gua jadi kakaknya.” Aku lebih terkejut lagi saat mendengar cara bicara Sasya yang sangat kekinian dan terkesan tomboy. Sangat jauh berbeda dengan Hafsa.
Dulu di SMP aku pernah satu kelas dengan sepasang kembar yang begitu identik. Wajah mereka mirip dan sulit untuk dibedakan yang mana A dan mana B. Andai salah satunya tidak memiliki tahi lalat di bawah matanya, aku sangat yakin tidak ada yang bisa membedakan mereka. Kembar tidak selalu identik, rupanya.
“Udah mau jam setengah empat, ini, ngaret, sumpah.” Aku melirik Kirana sekilas, tidak tahu harus bereaksi seperti apa dengan nada ketusnya.
Dari balik tirai pembatas tempat sholat, riuh rendah suara sekelompok laki-laki menggaung memenuhi masjid. Hingga sepertinya membuat Kirana terganggu. “Berisik, woi!” sahutnya ketus. Simpang siur terdengar suara berbisik yang tidak lama hening.
“Assalamualaikum,” aku melirik ke asal suara. Seorang perempuan berjalan tergesa ke arah kami. “Sorry, telat.” Katanya sambil menyalami kami satu. Kulihat Kirana mau membalas perkataan perempuan itu tapi terhenti ketika suara ketukan mic terdengar disusul suara azan.
“Kita sholat ashar dulu, abis itu rapat.”
Aku bersyukur suara azan memotong apa yang ingin dikatakan Kirana. Instingku mengatakan, dia akan berucap sesuatu yang pedas dengan nada ketus andalannya. Dan aku lebih bersyukur saat Hafsa berhasil membalikkan suasana agar lebih santai.
Perempuan yang baru datang tadi memperkenalkan diri padaku. Santi terlihat manis dan dia sepertinya bukan orang yang banyak bicara. Tapi gaya berpakaiannya yang berwarna membuat dia tampak playful dan childish.
Setelah azan selesai kami langsung mengambil wudhu dan sholat berjamaah. Sepuluh menit kemudian terdengar intruksi dari laki-laki kalau rapatnya akan dimulai. Sasya langsung membuka sebagian tirai pembatas shaf perempuan dan laki-laki. Kami langsung duduk satu shaf sementara beberapa meter dari kami, laki-laki yang hadir duduk setengah melingkar.
Salah seorang laki-laki membuka rapat dengan salam dan muqaddimah. Hafsa bilang namanya Zidan, dia penanggung jawab acara sekaligus ketua DKM masjid ini.
Selama rapat yang sudah berlangsung lebih kurang lima belas menit, aku hanya menjadi pendengar sambil sesekali melirik catatan hasil rapat sebelumnya milik Santi yang duduk di sebelahku. Kesimpulanku, MERDEKA akan dilakukan selama enam hari, dengan hari terakhir khusus untuk perlombaan. Kegiatan dilakukan mulai pukul satu siang sampai isya. Setiap harinya akan ada materi yang diberikan kepada peserta selama satu setengah jam.
Tapi ada satu fakta yang cukup mengejutkan ketika aku membaca catatan hasil rapat. Dana yang terkumpul kurang dari lima ratus ribu. Aku menahan diri untuk tertawa dan berteriak mencemooh semua orang yang hadir di rapat ketika membaca itu. Melihat panitia yang hadir, kupastikan mereka setidaknya sudah lulus SMA atau mungkin sudah bekerja. Tapi dana yang terkumpul kurang dari lima ratus ribu. Itu aneh, dan tidak wajar.
Aku menghitung dalam hati, mengira-ngira berapa minimal dana yang harus mereka kumpulkan untuk bisa memberikan menu berbuka gratis, hadiah di akhir acara, belum lagi bayaran untuk pemateri. Setidaknya harus ada uang lebih dari satu juta untuk mewujudkan semua rencana itu.
Para panitia pasti sudah berusaha untuk berkeliling mendapatkan dana dari warga sekitar tapi gagal. Mengenyampingkan rasa penasaranku kenapa mereka bisa gagal mendapat dana bantuan dari warga, aku berusaha memikirkan cara lain. Jadi aku menghapus option itu dan memilih memikirkan, relasi mana yang kupunya agar bisa dijadikan sponsor untuk acara ini.
Aku mengambil note dari tas, menyusun pilihan-pilihan yang bisa kulakukan untuk mendapatkan sponsor. Ada tiga option yang terpikirkan olehku, mengambil dana dari warga yang sudah pasti bisa menyumbang untuk acara keagamaan, sponsor dari luar, dan uang iuran dari tiap panitia.
“Radit, sponsornya?”
Pertanyaan Zidan membuatku menajamkan telinga. “Sorry, kemaren gua sibuk, gak sempet buat bikin proposal. Sorry banget,” Aku berdecak kesal mendengar jawaban dari Radit. Jawaban seperti itu sudah sering kudengar saat SMP dan SMA. Seperti jawaban teman-temanku yang lupa mengerjakan tugas kelompok. Klise dan mengada-ada, itu yang kupirkan.
“Gimana perkembangan iuran warganya?”
“Kita ngga bisa ngandelin warga. Hampir semua rumah kosong, kerja.”
Aku bisa mendengar decak kesal Zidan dari sini. Mungkin para penghuni komplek berasal dari golongan mampu, dari situ seharusnya aku berpikir kemungkinan mereka tidak ada di rumah. Kalau bukan gila kerja, mungkin gila belanja. Ah, pikiranku terlalu sarkasme.
“Gimana kalo iurannya diminta sebelum isya atau setelah teraweh?” aku langsung mendongak, mencari ke asal suara. Laki-laki itu duduk di ujung kanan barisan, sedikit membelakangi barisan perempuan. Aku menunduk menatap opsi ketiga yang kutulis di note.
“Ana liat kemaren banyak yang teraweh. Hari pertama kita kasih info tentang dana iuran soalnya bisa jadi banyak yang ngga bawa uang saat itu, kan? Nah, hari kedua kita bisa minta uang iurannya.”
“Praktis, gua setuju.” Celetukkan Kirana membuatku refleks melirik ke arahnya. “Gua ngajuin diri buat jadi penanggung jawab perempuannya.”
Aku cukup terkejut mendengar kesediaan Kirana untuk menjadi PJ. Kupikir Kirana bukan tipe orang yang bisa berbaur ceria di antara banyak orang. Apalagi sikap dia ketika pertama kali berkenalan denganku yang terkesan jutek dan tidak suka. Tapi aku belum cukup mengenal semua sifat dan karakter dari orang-orang yang hadir di rapat. Jadi aku belum berani mengungkapkan pendapatku, untuk sekarang.
“Thanks.” Zidan mengangguk singkat pada Kirana. “Radit, gua ngga tau kapan lu ngga sibuk, jadi buat ngantisipasi, gua minta yang lainnya buat cari sponsor,”
Kupikir keputusan Zidan untuk melepas Radit dari tanggung jawabnya itu tepat. Bukan karena Radit tidak amanah dengan tugasnya mencari sponsor, meski itu bisa saja menjadi salah satu alasannya. Tapi berdasar pengalamanku, jika seseorang sudah diberi kelonggaran, maka ia akan meminta kelonggaran itu lagi dan lagi.
Meski ibu seringkali mempromosikan aku mencari sponsor untuk membantu dana pemasukan, tapi aku tidak berani mengajukan diri.
“Kalo gak salah Bu Nani bilang anaknya bisa cari sponsor, kan? Yang Hafsa ajak buat ikut. Dateng gak, tuh orang?”
Ah, padahal rencananya aku akan terus diam, mendengarkan, sampai rapat selesai. Tapi promosi yang ibu lakukan tampaknya benar-benar berhasil. Aku tidak punya pilihan untuk berkelit sementara nama ibu dipertaruhkan. Jadi demi gengsi ibu yang tinggi, aku tersenyum pada orang yang dengan tidak sopannya menyebutku ‘tuh orang’.
“Najwa,” kataku meralat. Aku berpikir cepat, mengingat semua relasi yang bisa kujadikan sponsor. Dan dari sekian banyak, pilihanku langsung jatuh pada salah satu brand yang cukup dikenal milik temanku.
“Insyaallah bisa.” Dan hanya itu yang bisa kukatakan disertai senyuman yang dengan usaha kubuat seikhlas mungkin, sementara rasa kesal pada laki-laki yang menyebutku ‘tuh orang’ memenuhi hatiku.
“Okay. Gua pegang kata-kata lu, Naj,” aku bisa merasakan nada aneh Zidan ketika dia memanggilku ‘Naj’. Lagi-lagi aku tersenyum, menahan diri untuk meralat panggilan Zidan. Dalam hati aku berteriak kencang, ‘panggil gua Najwa’.
To be continued…
willyaaziza, Bogor 13/8/2017, 8:58 am