Bekerja sebagai sekretaris pribadi dari direktur perusahaan yang tidak lain adalah sepupuku sendiri, Ani, tidak membuat pekerjaanku mudah. Perusahaan itu milik keluarga besarku, tentu saja. Sayangnya aku tidak bernepotisme agar bisa menduduki posisi ini. Bekerja di perusahaan keluarga adalah pilihan terakhir ketika aku benar-benar pasrah karena tidak mendapat pekerjaan. Yang pada akhirnya terjadi dan secara mengejutkan aku diterima karena saat itu hanya ada dua orang pesaingku.
Jadi ketika aku bangun di pagi buta karena telpon masuk dari Selli, sekretaris penggantiku yang melaporkan perihal jadwal bulan ini, membuatku terpaksa harus melek. Pasalnya, ternyata banyak jadwal meeting yang harus di cancel sehingga jadwal lainnya juga mau tidak mau harus terganggu. Selli sangat tidak membantu dalam hal ini karena semua yang dia katakan di telpon hanyalah keluhan saja.
“Ja, saur dulu, cepet!”
“Bentar, bu, bentar lagi.” Kataku sambil lalu, sementara ibu langsung keluar dari kamarku.
Aku baru masuk ke dapur setelah hampir setengah jam berkutat dengan laptop, email dan menelpon sana-sini. Itupun karena aku menunda menelpon perwakilan perusahaan-perusahaan yang jadwal meeting-nya harus diubah.
Ibu berselonjor kaki, menonton tivi yang menayangkan tausiah pagi hari sementara aku memakan saurku. Tumis kangkung dan tongkol sambal merah yang masih hangat langsung kusantap setelah mengambil dua centong nasi. Ah, makanan selalu enak dan nikmat saat perut sedang kosong. Setelah menghabiskan tumis kangkung, tongkol dan nasi, aku membawa piringnya ke wastafel, mencucinya sambil menyimak suara dari tivi.
Selesai mencuci aku langsung duduk bersila di samping ibu, mengambil al-Quran setelah memakai kerudung milik ibu yang kutemukan tergeletak di lengan kursi di sofa. Kubaca lamat-lamat ayat al-Quran supaya tidak memecah konsentrasi ibu mendengarkan ceramah di tivi.
Baru satu lembar kubaca, adzan subuh berkumandang. Diimami ibu, kami sholat subuh berjamaah lalu membaca al-Quran sampai sekitar jam enaman. Aku langsung keluar dari ruangan yang dikhususkan untuk sholat, menuju kamar begitu selesai membaca juz dua puluh lima, meninggalkan ibu sendiri.
Kembali ke pekerjaanku, aku langsung menghubungi beberapa perwakilan perusahaan sementara sisanya di-handle Selli.
Lelah dengan rutinitas kerja yang memakan waktu hampir dua jam. Yang meski kulakukan di rumah tetap menyita perhatianku dari keadaan sekitar, aku baru sadar kalau rumah benar-benar sepi. Biasanya ibu selalu merecokiku ini itu kalau aku sedang di rumah, meski aku sedang mengurus pekerjaan sekalipun. Jadi rasanya aneh karena beberapa jam lalu aku tidak merasa risih direcoki ibu.
Kuperiksa dapur dan ruang tengah juga kamar, tidak ada ibu dimanapun padahal baru jam delapan pagi. Mungkin ibu sedang ke pengajian di masjid, seperti yang biasa beliau lakukan saat aku SMA dulu. Aku bersiap kembali ke kamar saat bel pintu rumah berbunyi. Aku masih mempertimbangkan untuk membukanya atau berpura-pura tidak ada orang di rumah, karena orang gila mana yang membunyikan bel di pagi hari seperti ini, khususnya di bulan Ramadhan seperti ini. Sampai akhirnya suara ibu terdengar. Aku melenggang pergi ke kamar, membiarkan ibu yang mengurus tamu.
“Ituloh, Ja,” adalah kalimat yang ibu lontarkan begitu aku duduk di sofa di sampingnya untuk menonton tivi selepas mandi. “Yang tadi dateng, panitia acara MERDEKA. Masih inget, kan?”
Tentu saja aku ingat. Aku mengangguk malas sambil memindahkan channel ke saluran berita. “Mereka lagi menggalang dana buat acara itu,” Aku diam, berusaha untuk terlihat tidak mendengarkan, meski faktanya aku mendengar. Walau aku tidak setuju dengan ide ibu, tapi tidak mendengar semua yang ibu katakan pantang kulakukan.
“Ibu bilang aja, kamu lagi ada di rumah, jadi kalau masih butuh dana bisa minta tolong kamu buat nyari sponsor.”
Aku menghela napas berat. Lagipula tidak mungkin mereka tidak berusaha untuk mendapatkan sponsor. Rata-rata orang yang tinggal di lingkup komplek ini adalah orang berduit. Aku tidak pernah mengada-ada, karena memang faktanya begitu. Jadi, cukup aneh kalau di antara orang berduit itu tidak ada yang mau menjadi sponsor.
“Ja, nanti malem kan, teraweh, sekalian aja kenalan sama panitia-panitianya.”
“Ibu…” Kataku gemas.
“Iya, iya,”
Ugh, sudah begini aku tetap di Kalimantan. Aku dan Ani memang sangat dekat, tapi tetap saja aku merasa tidak enak kalau harus mengambil cuti dua minggu karena alasan aneh ibu. Ani mungkin punya pilihan untuk memecatku kalau saja aku tidak memberitahu perihal ibu yang menelponku sambil menangis dan marah-marah.
“Tapi, Ja, seenggaknya kenalan aja sama panitianya. Kali aja bisa temenan, kan?” Aku menjawab dengan ‘iya’ yang panjang. “Ibu kesel deh sama Bu Nari. Masa tadi di pengajian dia ngomongin anaknya, si Gusti itu. Ikut organisasi tapi tetep kerjalah, apalah,”
Aku mendesah keras. Lelah mendengar topik pembicaraan ibu yang berkutat dengan organisasi. Sebenarnya aku tidak punya masalah dengan yang namanya organisasi, hanya saja aku bukan tipe orang yang bisa beradaptasi dengan cepat di lingkungan seperti itu. Menjadi asisten dan harus menemui banyak orang juga butuh adaptasi yang cukup lama buatku.
Ibu, selain satu-satunya keluarga kecil yang aku punya, beliau juga orang yang selalu aku utamakan baik saat ayah masih ada sampai sekarang. Ibu tau aku akan menuruti apa yang beliau mau. Beliau selalu memberikan permintaan yang tidak melanggar agama, jadi aku juga baik-baik saja melakukannya. Semendesak apapun aku, jika soal ibu, aku akan melakukannya. Seperti terbang ke Jakarta karena beberapa jam sebelumnya ibu menangis dan memintaku pulang.
Jadi sebenarnya tidak heran juga ibu malah merasa di atas angin dengan sifatku yang satu ini. Seringkali aku merasa dimanfaatkan oleh ibu, tapi tentunya aku tidak masalah. Lagi-lagi, selama tidak melanggar syariat agama.
Seperti saat ini. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih sedikit. Aku sedang menghabiskan waktu dengan grup chat teman-teman SMA-ku yang merencanakan reuni, saat ibu tiba-tiba berlari kecil ke arahku.
“Ja, anter ibu beli lauk buat buka, yuk?”
Yang pertama kali kulakukan adalah mengerutkan dahi, heran. Sejak kapan ibu mau diantar beli lauk ke tukang sayur? Terakhir kali ibu memintaku melakukannya saat kelas 3 SMP dulu. Esoknya ibu tidak mau mengajakku lagi karena aku malah mengacaukan acara belanjanya dengan membeli bahan yang salah dan tidak penting.
“Biasanya juga ngga mau dianter lagi,” kataku tapi tetap berdiri dan melangkah ke kamar untuk memakai gamis dan kerudung, karena sekarang aku hanya memakai baju rumahan.
Aku dan ibu berjalan, melewati beberapa blok yang tidak kuhitung dan berhenti di tikungan. Ada sebuah lahan sepanjang pinggir jalan yang ramai oleh penjual sayuran, daging, ikan, dan sejenisnya. Aku mengikuti ibu yang berjalan menuju ke penjual yang mengampar terpal sebagai alas untuk sayuran yang ia jual. Ibu berjongkok, mulai memilah kangkung dan bayam, lalu kol, sementara aku masih berdiri, tidak berminat.
Aku melihat ke sekeliling. Rata-rata perempuan yang memenuhi tempat ini, dari tua hingga anak-anak. Aku cukup malu saat melihat seorang anak kecil sekitar kelas tiga SD sedang menyerahkan seikat kacang panjang pada penjual. Bukan salahku sebenarnya, kalau tidak tahu menahu soal memasak. Sejak kecil ibu melarangku memasak dengan alasan yang sama sekali tidak jelas menurutku.
Selesai dengan sayuran, ibu mengajakku ke penjual ikan. Bau anyir langsung menyeruak begitu kami sampai di sana. Aku melangkah menjauh beberapa langkah, sementara ibu sibuk bernegosiasi ria dengan penjual.
Kembali, aku melihat ke sekeliling. Berjarak satu blok dari tempatku, aku bisa melihat halaman depan masjid komplek ini yang sudah banyak berubah sejak terakhir kali aku melihatnya sekitar setengah tahun yang lalu. Dari sini aku bisa melihat beberapa orang perempuan berkumpul di teras depan masjid, entah melakukan apa. Sementara gerombolan laki-laki berjalan memasuki masjid.
“Takjilnya mau bikin atau beli aja, Ja?”
Aku mengalihkan pandangan pada ibu. “Terserah,” aku melirik belanjaan yang dibawa ibu, tiga ikan mas, bumbu-bumbu dan sayuran yang cukup banyak. “Beli aja, bu.”
“Kamu yang beli, yah, Ja. Nanti aja jam setengah enaman ke sini lagi.”
Aku bergumam, mengiyakan. Baru beberapa langkah kami berjalan menuju ke rumah, tiba-tiba ibu menghentikan langkahnya dan menarik tanganku kembali ke arah tempat berjualan tadi.
“Ja, Ja, sini dulu, sini. Itu, tuh, ada Hafsa,”
“Siapa?”
Mengabaikan pertanyaanku, ibu terus berlari kecil ke arah seorang perempuan yang berdiri di depan stand kue. “Hafsa!” perempuan itu langsung melirik ke arah kami, tersenyum menyambut ibu yang meninggalkanku di belakang.
Ibu mengobrol terlalu bersemangat pada Hafsa yang menanggapinya dengan senyuman, anggukan atau jawaban singkat yang membuatnya terlihat begitu anggun. Satu meter dari mereka, ibu melirik ke arahku diikuti Hafsa.
“Ini, anak ibu, Najwa. Sampe lebaran insyaallah di sini terus. Kalo panitianya masih kurang, ajak Najwa aja.”
Aku menatap ibu gemas. Pasalnya kami sudah membicarakan perihal menjadi panitia ini berkali-kali. Dan ibu sudah tahu jawaban seperti apa yang kuberikan. Tapi seolah tidak pernah ada pembicaraan itu di antara kami, ibu mempromosikanku, lagi, agar diikutkan menjadi panitia.
Aku beralih pada Hafsa yang tersenyum padaku. “Najwa,” kataku mengulurkan tangan padanya sambil tersenyum.
“Hafsa,” aku menatap malas senyum Hafsa. Sampai sekarang aku bertemu banyak orang dengan beragam sifat yang beragam pula penanganannya. Tapi baru kali ini aku melihat perempuan yang mengeluarkan aura keanggunan alami hanya dengan cara dia berdiri, pandangan matanya, dan cara dia tersenyum.
“Kalo Teh Najwa mau, boleh kok ikutan jadi panitia,” kata Hafsa ramah dan senyum selalu menyertai tiap katanya.
“Oh, iya,” kataku pada akhirnya.
“Dananya udah cukup? Kalo belum Najwa bisa loh, bantu cariin. Temen-temennya banyak-” aku menahan diri untuk tidak meninggalkan ibu di sini sendiri dan pulang ke rumah. Sementara ibu masih ngobrol ria dengan Hafsa.
Aku memilih menyibukkan mataku melihat ke arah masjid yang jaraknya tidak kurang dari lima belas meter. Gerombolan laki-laki keluar dari masjid, beberapa di antara mereka memakai sarung dan peci. Sisanya memakai kaos, baju koko, celana bahkan baju training.
Tidak jauh dari mereka, gerombolan perempuan berpakaian rapi mengobrol ria sambil bersiap meninggalkan masjid. Ah, pertemanan yang indah. Aku jadi ingat saat SMP atau SMA dulu. Karena sikapku yang cenderung introvert dan jutek, jarang ada yang mau berteman dekat denganku. Hanya sekedar mutualisme karena saling membutuhkan atau teman sebangku. Tapi biasanya di akhir tahun SMP dan SMA, aku berusaha untuk lebih terbuka agar setidaknya bisa tetap berhubungan dengan teman-teman angkatan. Syukurlah kami masih terhubung sampai sekarang lewat sosial media.
“Teh Najwa dateng aja besok sore ke masjid itu jam tigaan. Ada rapat panitia nanti, Hafsa bisa kenalin Teteh ke temen-temen panitia lainnya.”
“Oh, iya, diusahakan yah,” aku tersenyum, menghargai ajakan Hafsa. Nada bicaranya yang lembut tapi tegas terdengar begitu jujur. Belum lagi tatapan matanya yang terlihat sangat mengharapkan aku untuk datang.
“Najwa pasti dateng. Kalo ngga dateng nanti ibu yang seret dia ke masjid,” aku tertawa menahan malu karena perkataan ibu. Rasanya aku tidak punya muka lagi untuk ditunjukkan pada Hafsa yang sekarang menahan tawa gelinya.
Dalam hati aku mendesah keras sambil meneriakkan kata ‘ibu’ panjang-panjang.
To be continued….
[ZMardha] willyaaziza santri kelas 2 SMA Pesantren Media
- Slice of The Life 4 akan terbit setelah penulis menemukan filenya yang hilang