Dendam itu benar-benar membusuk. Entah bila aku akan sadar. Mereka tidak berdosa, Kawan. Lalu mengapa kubunuh? Pedulikah? Yang terpenting aku senang. Namun, kesenangan ini sama sekali tak pernah cukup juga. Lihatlah mayat ini, Nampak buruk sekali, amat menjijikkan. Dan tanganku, penuh dengan darah. Akukah yang melakukan ini? Tentu. Tengoklah parang yang kugenggam. Sadarkah aku ketika aku menghujam mereka? Aahh.. aku selalu saja seperti ini. Setiap kali mengingat wajah itu.. tawa itu.. dan…darah itu!
***
“Abi, lihat ini! Aku berhasil membuat alat penerjemah bahasa.” Burhan langsung menunjukkanalat yang ia buat.
“Sungguh kamu yang membuat ini, Nak? Bagaimana mungkin? Jenius sekali anak Abah. Subhanallah…..” ujarku banggasambil mengelus kepalanya.
“Iya, Abi. Burhan ingin berdakwah dengan alat ini.”
“Berdakwah denagan ini? Seperti apa?”
“Kita kan sekarang ada di negara orang lain. Bahasa yang digunakan tentu berbeda. Padahal Burhan ingin berdakwah dan menuntut ilmu di banyak tempat. Banyak tempat, banyak bahasa. Jika Burhan ingin berdakwah, Burhan harus mengerti bahasa mereka juga. Kalau mereka paham ucapan Burhan, maka Burhan akan mudah untuk berdakwah.” Jelasnya penuh semangat.
Aku bertasbih dalam hati berulangkali. Aku benar-benar tidak menyangka putraku bisa secerdas ini. Subhanallah.
“Lalu selanjutnya apa, Nak?” tanyaku melanjutkan.
“Insya Allah, Burhan akan menunjukkannya pada Mrs. Laurent, dosen peneliti Burrhan. Semoga saja beliau menyukainya ya, Bi.”
“Aamiin….”
Sejujurnya aku sangat malu pada putraku sendiri. Bagaimana bisa dia membuat alat secanggih itu.
“Abi, Allah akan membantu hamba-Nya yang ingin berjihad untuk-Nya. Allah itu dekat, Bi. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah, Bi.” Kata Burhan, mengerti isi hatiku.
***
“JANGAN BERGERAK!! Kami dari LAPD. Kalian kami tahan. Seorang pria gagah berseragam polisi, menodong pistol ke arah kami.
“HEI!!! ADA APA INI?” aku terus melawan. Namun sudah tak guna. Pria it uterus saja menyerangku, menghalagiku agar tidak bisa menyelamatkan istriku yang sedang berjuang melepas pegangan. Tak tahan lagi. Aku hamper tejatuh. Dan, gelap. Istriku, hanya suara raungmu yang tersisa.
***
Hanya satu cahayayang merambatlurus ke arahku. Tanganku terasa nyeri, terikat erat. Aku menatap sekeliling. Kosong. Hanya aku di sini. Di manakah aku sebenarnya? Dan, istriku, Burhan, di mana mereka?
“Hei, Brother. Sudah bangun?” seorang pria mendekat ke arahku. Aku memicingkan mata.
“Kau?”
“Aku? woww! Ternyata kau masih mengingatku. Iya, aku. lelaki yang dulu kau hina.”
“Aku tidak menghinamu!” Aku membantah.
“Tentu saja kau menghinaku.karena kata-katamu itu, aku kehilangan kepercayaan. Dan karena kaulah aku kini melupakan Tuhanku. Karena Dia sepertinya sama sekali tidak ingin jika aku berjuang untuk-Nya. Dia lebih memilihmu, manusia yang putus asa pada-Nya.”
“Niatanmu itu tak pernah ikhlas. Aku tahu kau tidak berjuang untuk islam dengan sepenuh hati. Kau hanya ingin kepercayaan dan pujian, bukan jihad. Niatmu hanya karena riya’. Kau bukan membela islam tapi merusaknya. Islam bukan agama yang mengutamakan kekerasan dan nafsu untuk sebuah tujuan yang baik. Islam agama yang selamat.bukan membunuh tanpa sebab.”
“Hei, kau pikir aku berperang tanpa sebeb. Aku berperang untuk jihad.” Teriaknya, menangkis kebenaran yang kuungkap.
“Tidak! Kau berperang demi dendam, bukan jihad.”
“BAIK! BAIK! AKU MEMANG MEMILIKI DENDAM PADA MEREKA! KAU BENAR!!! Tapi mengertilah! Aku kehilangan anak dan istriku, akibat dari mereka. Dan kau, malah menghalangiku.” Suaranya semakin tinggi. Hanya bisa menatapnya antara rasa prihatin dan benci.
“Akan kubuat kau merasakan apa yang aku rasakan waktu itu.” Ujarnya tajam. Aku bingung. Maksudnya?
“ABI!”
Burhan?
“Abi, tolong burhan. Ummi, Bi. Ummi!” Aku tercengang. Ummi, ada apa? Ya, Allah bantulah hamba. Putraku, kepalanya berdarah.
“Lihat ini! Lihat!” Seru Clist. Clist menarik rambut Burhan. Aku serasa ingin muntab. Namun aku tak berdaya. Aku hanya bisa menahan teriakan yang tercekat di kerongkongan.
“Burhan, murid kesayanganku, karena ia adalah murid paling sabar dan jenius. Sayangnya dia juga murid yang paling aku benci, karena dia adalah putra darimu Bullah. Oh ya, terima kasih atas presentasi alat yang kau hadiahkan padaku. Itu sangat manis sekali, sayang. Dan tujuanmu, amat mulia. Tapi aku tak sedikitpun tertarik. Penemuanmu itu, malah membuatku muak dan dendamku semakin memuncak. Tapi syukurlah, karenamu aku mendapatkan ide untuk melunasi dendamku. Sekali lagi kukatakan, bahwasannya otakmu ini sangatlah luar biasa jenius.”
Clist langsung menghantam kepala Burhan. Lalu ditendangnya bertubi-tubi.
“Jangan! JANGAN!” Aku kesal dengan diriku yang tak berdaya. Setiap pukulan, erangan yang di terima sangat sakit sekali. Walau aku hanya sekedar melihatnya, tapi jiwa merasa.
“Sebelum kau pergi muridku, kuucapkan terima kasih banyak atas pengorbanan yang telah kau berikan pada gurumu yang kau sayangi ini. Namun rasa dendamku lebih besar daripada rasa sayangku padamu. Oh, terima kasih atas idenya. Akulah yang sebenarnya melekatkan bom kecil di sela-sela alat temuanmu itu. Aku juga yang melaporkan pada LAPD agar kalian ditangkap dengan tuduhan bahwa kalian adalah seorang teroris. Bagaimana merreka percaya? Halo, bumi yang sekarang kalian injak adalah bumi yang sangat percaya bahwa orang islam seperti kalian adalah seorang teroris. Sedang aku, telah keluar dari masa laluku yang tak berguna. So, sangat bagiku untuk menipu mereka. Dan aku juga meminta agar kalian dihukum mati. Mereka juga mempercayaiku agar aku saja yang membunuh kalian. Itu semua akulah pelakunnya. Dan inilah yang terakhir…”
“DORR!”
“ASYHHADUALLAAILAAHAILLAH………..”
“BURHAAANN!!”
***
Karena itulah hidupku kini redup tanpa sinar.
[Natasha]