Kisah ini, diambil dari kisah nyata seorang anak manusia yang terlahir di kota batu bara. Seorang bapak yang tidak mudik ke kampung halaman, demi menjaga istri tercinta. Serta dapat menjalankan ibadah Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri bersama istir dan anak-anak tercinta.
Siang begitu terik. Suhu kota Samarinda jatuh pada dua puluh sembilan derajat celcius. Pohon bambu di luar sana berbaris rapat-rapat sekali. Batang-batangnya yang tinggi-tinggi, bergesekan kasar ditiup angin siang. Sedangkanbeberapa daunnya ada yang tetepa kokoh di atas sana, beberapa jatuh berputar perlahan ke atas tanah. Sebuah rumah sederhana yang dihuni oleh empat orang anak manusia itu, terasa teduh dengan diskusi dan beberapa canda sebagai selingan. Tawa yang pecah di antara keempatnya, begitu renyah terdengar. Membuat hati siapa saja iri dengan keakraban yang hangat dari keluarga ini.
Meski tidak sempurna, rapuh bahkan cacat sekalipun. Hidup terasa begitu indah dengan rasa syukur yang melimpah atas segala karunia yang telah diberikan Tuhan mereka. Sebuah penyakit ganas sedang mejadi benalu di tubuh ibu dua orang anak itu – seorang putra yang sedang duduk di bangku sebuah Institut di kota Malang, dan seorang putri yang sedang memperdalam ilmu di sebuah pesantren modern yang terletak di Kota Hujan –. Meski keduanya jauh dari dekapan dan jarak matanya, doa yang ia tumpahkan tidak pernah sekalipun berhenti agar kedua malaikatnya yang sudah tumbuh dewasa ini, menjadi penerus risalah Rasulullah SAW.
Rasa syukur ibu terkuat seantero bumi ini – karena dapat bertahan dengan serentetan resep dokter – tidak pernah putus dari hati dan kedua bibir yang seraya mengucapkan Alhamdulillahirobbil’alamin. Rasa syukur yang menyelimuti keluarga kecil nan bahagia ini, karena masih mampu memapah amanah besar dari Allah azza wa jalla, Tuhan pemilik langit dan bumi, dan apa-apa yang ada di antara keduanya… (QS: An-Nabaa ayat 27), dengan bermodalkan jantung yang masih berdetak, akal yang dipapah dengan otak yang berisikan triliunan memori dan kemampuan akal yang telah dipinjamkan Allah, serta ruh yang telah ditiupkan-Nya, dan segala nikmat yang sangat banyak dari Allah SWT.
Lemahnya kinerja tubuh yang direnggut penyakit kanker tersebut, kadang membuatnya tidak mampu berdiri atau duduk sekalipun. Terbaring. Lemah tak berdaya, sambil terus berdzikir memuji dan merintihkan segala rasa beratnya hidup yang kini ia alami, adalah satu hal yang ampuh untuk membuat beberapa tetes air matanya jatuh, memberontak keluar dari kantung air mata, membanjiri pipi dan bantal yang memapah kepalanya yang sudah tidak menyisakan rambut sehelai pun.
Teringatlah beberapa ton dosa yang telah meneggelamkan hidupnya yang sudah empat puluh sembilan tahun itu. Matanya kembali tertutup, untuk menenangkan tubuhnya yang tidak bisa diajak terlalu banyak bergerak dan beraktivitas. Mengistirahatkan tubuh yang lelah dengan benalu-benalu ganas tersebut. Beberapa semilir angin masih dapat ia dengar. Sayup-sayup, kantuk menderanya. Ibu itu, tertidur dalam selimut yang membungkus tubuh kurus tersebut.
***
Putri satu-satunya itu, sedang menginjakkan kaki kembali di rumah tercintanya. Namanya, Noviani Gendaga. Panggil saja, Via. Via sedang liburan Ramadhan dan Idul Fitri. Anak yang selalu menyayangi dan mencintai keluarga kecilnya tersebut. Meski kadang, egois dan sifatnya yang mudah lupa, membuat beberapa semburat petir dan halilintar menyambar ke dalam kehidupan empat anak manusia tersebut.
Siang yang begitu indah untuk bercengkrama sambil membicarakan sesuatu yang penting, sampai yang tidak ada gunanya sekalipun. Via sedang duduk bersama ayahnya. Seorang laki-laki satu- satunya yang Via kenal, sebagai laki-laki yang setia, tidak sok tahu, berwiba, dan menjadi ayah luar biasa bagi anak-anaknya.
“Pak, kampung Bapak dimana?” sebuah pertanyaan muncrat begitu saja dari mulut Via. Laki-laki berumur lima puluh tiga tahun tersebut menjawab sambil mengupas kulit buah pepaya.
“Magelang” suaranya berat diikuti dengan beberapa kali deheman.
“Berarti, Bapak enggak pulang kampung?” Via menggaruk bagian kakinya yang terasa gatal.
“Ya enggak lah. Kalau bapak pulang ke Magelang, Mamamu siapa yang ngurus tuh, Nak?” kali ini, beliau sedang memotong-motong pepaya menjadi kotak- kotak kecil.
“Kan ada Via. Via bisa jagain Mama” Via nyengir. Laki-laki kesayangan Via tersebut, meghampiri Via sambil membawa satu piring penuh berisi potongan-potongan buah pepaya.
“Masak aja kamu enggak bisa. Mau dikasih makan apa Mamamu?” beliau tertawa kecil, diikuti dengan tawa kecil anak perempuan satu-satunya itu.
“Ya… Namanya juga sudah berkeluarga, Nak. Pasti lebih memprioritaskan keluarganya. Apalagi, Mbahmu tinggal di Samarinda. Lebih baik, enggak usah pulang kampung. Kecuali, kalau orang tua Bapak ada di sana.” Sambungnya. Bapak bernama Gendro Sugiarto tersebut memasukkan beberapa potong pepaya ke dalam mulutnya.
“Sekalian jaga Mamamu, soalnya lagi sakit kanker kan?”
Via terdiam beberapa detik.
“Hmm, ada enggak rasa rindu kampung halaman?” Via mengambil beberapa potong pepaya dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
“Ya… kalau rasa rindu itu pasti ada. Tapi, namanya juga cuma sampai umur tiga tahun doang di Magelang. Setelah itu, di bawa ke Samarinda sama Mbahmu. Jadi, kehidupannya emang lebih lama di Samarinda” Pak Gendro meneguk es sirup yang mampu menghilangkan rasa kering di tenggorokannya.
“Belum lagi, kalau ada apa-apa sama Mamamu. Bisa gelagapan Bapakmu ini. Kalau dengar Mamamu muntah- muntah, Bapak panik banget kayak waktu itu pas Mamamu muntah- muntah di Rumah Sakit samapi lemes gitu. Udah gitu, badannya jadi kuning” matanya berbinar. Via hanya bisa terdiam kembali untuk beberapa detik. Namun, ia bungkam ketika hendak memulai untuk membuka percakapan kembali.
“Bapak pengen, lebaran dan puasa Ramadhan sama- sama keluarga. Sama Istri, sama anak. Tapi, ya… namanya juga sudah takdir Allah. Semuanya sudah direncanakan sama Allah. Pasti rencana Allah itu yang terbaik buat hamba-Nya.” Pak Gendro adalah satu-satunya laki-laki yang paling hebat. Segalanya bagi kedua putra-putrinya.
-Sungguh Tuhan Maha Baik. Menciptakan kesedihan dan kebahagiaan secara bersamaan. Andai Tuhan bisa lebih baik lagi, supaya mengangkat segala penyakit yang menimpa Ibu dua orang anak yang sangat dicintai oleh suaminya tersebut. Mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membuangnya jauh-jauh. Dan tidak kembali lagi menjadi benalu yang membuat tubuh beliau lemah seperti sekarang.-
[Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, angkatan ke-2, jenjang SMA]