Malam yang sepi. Aku lingkarkan selimut erat ke tubuh. Dingin menusuk hingga ke urat – urat. Perlahan, terdengar suara ciutan pintu terbuka. Aku tujukan pandangan pada pintu. Seorang perempuan sedang berdiri di sana. Gelap, sehimga aku sulit untuk mengetahui siapa sosok itu. Aku berdiri, melangkah ingin memastikan.
“Aice, kaukah itu?” tanyaku sambil melangkah dengan kaki gemetar. Tak ada jawaban. Jarakku tinggal satu meter lagi darinya. Dia maju kearahku, kakiku langsung kaku. Cahaya bulan yang remang, sedikit dapat membantuku melihat wajah itu. Ah, ternyata Aice. Aku menghela napas, lega. Mungkin dia sedang iseng menakutiku. Aku tersenyum. Membuktikan bahwa aku tidak takut dengan keisengannya.
“Apa yang membuatmu ketawa, Beni? Kematianmu?” Aice berkata dengan nada berbisik, tersenyum licik padaku. Aku rak dapat memahami rautnya, ataupun perkataannya. Kematian?
“Kau bingung, Beni? Temukan jawabannya, dengan satu tolehan kebelakang.” Aku mengerutkan kening, tidak mengerti. Aku menolehkan kepalaku ke belakang, menuruti kata – katanya. Aku terkejut hingga jantungku berdebar amat kencang. Aku hendak meneteskan air mata karena takut dan bingung. Apa ini? Sebuah jurang berjarak sejengkal dariku. Dan, hei, jurang itu penuh duri raksasa di dalamnya.
Aku memandang Aice yang tersenyum. Apa ini? Hatiku panik. Wajahku meleleh oleh keringat. Aku memandang Aice lagi, berusaha mencari jawaban. Namun Aice tak sekalipun memedulikan kecemasanku. Aice berjalan pelan kearahku. Langkah demi langkah, dia mendorongku keras, dan aku terjerembap ke dalam jurang itu. Aku menjerit, tanganku berusaha meraih tangan Aice kembali. Tapi sia – sia saja.
Aku terbangun dengan napas tersengal. Badanku terasa panas. Keringat menetes dari wajahku. Kepaaku pusing, mual. Aku ingat apa yang terjadi. Ah, Cuma mimpi. Aku kembali berbaring. Hei, seperti ada yang basah. Aku bangun melihatnya. Astaga, darah segar memenuhi kasur. Aku menyentuh punggungku. Darah segar membekasi seluruh punggungku.
[Natasha]