Suasana malam itu begitu mengerikan.
Aku mendapati diriku berada di tengah hutan yang gelap. Entah sudah berapa lama aku berada di sini. Angin malam berhembus lumayan kencang. Membuat bulu kudukku meremang.
Jam Swatch yang tersemat di lenganku menunjukkan pukul 22.32. Aku mencoba menerawang hutan ini. Barangkali aku bisa menemukan sumber air. Aku haus setengah mati.
Bingung. Itulah yang kurasa saat ini. Apa salahku hingga aku berada di tempat ini? Mengapa ayah begitu yakin bahwa aku yang membunuh tante Maria? Mataku menyusuri setiap seluk beluk hutan ini. Pohon Pinus berdiri angkuh, berjejer berantakan di sekitarku. Jarak antara pohon satu, ke pohon yang lainnya sangat sempit. Beberapa ruas lenganku terasa perih, dengan luka sobekan tipis.
Ah! Itu dia! Mataku mendapati sebuah sungai cukup luas di seberang sana. Kerongkonganku sudah tak sabar menanti hujan pada kemaraunya.
Aku berlari bagaikan harimau terluka yang haus akan daging lezat. Menerjang begitu saja semua yang menghalangi jalanku. Tanpa sengaja aku tersandung sebuah batu yang besarnya seperti kepala orang dewasa.
Tubuhku tak lagi seimbang. Aku tersungkur di atas permukaan tanah yang kasar dengan beberapa daun kering. Pelipisku tertusuk ranting pohon yang runcing dan kokoh. Aku merasakan nyeri yang tak bisa lagi ku deskripsikan. Darah segar mengucur perlahan hingga membasahi sebagian wajahku.
Pandanganku berubah gelap.
###
Cahaya matahari dan udara sejuk di pagi hari membangunkanku dengan lembut. Aku masih merasakan nyeri di bagian pelipisku. Badanku terasa pegal. Kurasakan ada sesuatu yang menempel di pelipisku. Aromanya begitu asing, sangat menyengat.
Rumah siapa ini? Siapa yang membawaku ke sini?
Aku berada di ruangan yang lumayan besar. Ruangan ini dipenuhi dengan kardus-kardus yang diletakkan sembarang. Ada banyak lukisan-lukisan yang begitu mengerikan. Salah satunya ada lukisan yang menggambarkan seorang wanita memegang sebuah pisau tumpul dan kepala laki-laki yang masih meneteskan darah segar di tangan satunya lagi. Mungkin tepatnya aku berada di gudang. Siapa yang telah membawaku ke sini?
Krieeett..
Lelaki berperawakan tinggi besar berwajah sangar datang menghampiriku. Ia membawa semangkuk bubur dan segelas teh yang masih mengepulkan asap tipis. Kemudian meletakkannya di atas meja kecil di samping ranjang.
“Segera habiskan semua ini! Setelah itu mandi dan segera menuju halaman!” Perintahnya kasar, lalu bergegas meninggalkan ruangan ini. Aku hanya terpaku. Memikirkan siapakah orang itu sebenarnya. Berani-beraninya dia membentakku. Padahal kami tidak saling mengenal!
###
“Tapi, itu semua bukan salahku! Itu semua perbuatan Mario! Dia yang melakukan semuanya!” Aku menggebrak meja. Aku sudah muak dengan semua ini.
“Sudah cukup! Alasanmu itu sangat tidak masuk akal!” Lelaki paruh baya berkacamata itu pergi menuju sebuah meja di sudut ruangan, mencari-cari sesuatu.
“Tapi Ayah, mana mungkin aku yang membunuh tante Maria?!” Mungkin pembelaan ini tak akan didengarnya.
“Ini buktinya!” Mr. Yamin, begitu orang-orang memanggilnya, menunjukkan sebuah foto yang membuatnya yakin bahwa akulah yang membunuh tante Maria, adik kandung Ayahku.
“Jelas-jelas itu bukan aku, Ayah. Belakangan ini aku…”
“Sudah cukup! Pergi dari rumah ini sekarang juga!”
“Tapi, Ayah..” Aku menghela napas untuk yang kesekian kalinya. “Baiklah, kalau itu yang Ayah mau. Aku akan pergi sekarang juga!” Aku menendang keras-keras meja yang ada di depanku. Sebelum pergi, sekilas ku lihat wajah Mario yang tersenyum sinis penuh kemenangan.
Aku pergi keluar dari rumah itu dan membanting pintunya keras-keras. Kemudian aku berlari sekencang-kencangnya. Aku begitu muak dengan semua ini! Bahkan ibuku yang biasanya selalu membelaku, hanya diam terpaku melihat perdebatan hebat antara aku dan ayahku.
###
Mengingat kejadian kemarin, benar-benar membuatku merasa seperti mahluk paling malang di dunia ini. Tapi tak peduli lah. Aku tak boleh bersedih. Karena kenyataannya, memang bukan aku yang membunuh tante Maria. Itu semua hanya rekayasa yang dibuat-buat oleh Mario!
Daripada aku terus menerus bersedih, lebih baik aku makan saja. Perutku sudah memainkan orkestranya sejak semalam. Aku siap sedia, melahap makanan dan minuman yang dibawakan oleh lelaki-berperawakan-tinggi-besar-berwajah-sangar tadi. Tapi rasanya, aku malas sekali untuk pergi mandi. Lagipula, kalau aku mandi, mau pakai baju apa aku nanti. Mana mungkin aku memakai baju ini lagi, yang benar saja.
Aku menyusuri lorong-lorong menuju halaman. Lorong itu disesaki dengan macam-macam lukisan mengerikan. Ditambah dengan penerangan yang remang-remang. Serta sarang laba-laba yang tersebar di sudut-sudut lorong.
Setibanya di halaman, aku melihat lelaki-berperawakan-tinggi-besar-berwajah-sangar itu sedang menebang pohon dengan gergajinya. Adapula seorang laki-laki lain yang tubuhnya tidak kalah besar dengan lelaki yang pertama kulihat, sedang memotong-motong batang pohon yang sudah ditebang menjadi bagian yang kecil dengan kampak besarnya.
“Per..permisi Paman, a..ada yang bisa kubantu?” Tanyaku walau takut setengah mati.
“Bukannya tadi saya telah menyuruhmu untuk mandi terlebih dahulu!” Bentak lelaki itu.
“Ma..maaf. Tetapi, sa.. saya tidak memiliki baju lain, selain yang sedang saya pakai.” Jawabku tergugu, menunjukkan baju yang sedang kupakai.
“Shafiyaa! Tolong antar perempuan ini mandi!” Lelaki itu berteriak memanggil nama seorang wanita yang pastinya aku tidak mengenalinya.
Seorang wanita tinggi besar, muncul dari samping rumah itu. Tubuhnya dibalut dengan baju panjang yang berwarna ungu muda dengan motif bunga-bunga kecil hingga menutupi kakinya dan mengenakan penutup kepala sepinggul, datang menyahuti panggilan lelaki tadi.
“Baik, Ayah. Tidak perlu teriak-teriak, Ibu tetap akan datang untuk mengerjakan perintah Ayah.” Wanita itu berbicara dengan begitu lembutnya. Berbeda sekali dengan cara berbicara lelaki yang tadi ia sebut Ayah. Lelaki itu, tidak memperdulikan ucapan wanita itu. Ia tetap pada pekerjaannya.
“Mari, cantik.” Ia tersenyum hangat. Aku tersenyum tipis.
Kami berjalan melalui samping rumah tempat aku dirawat tadi. Ternyata di belakang rumah itu ada sebuah rumah yang jauh lebih besar, lebih indah dan lebih asri. Di halaman depan rumah itu terdapat berbagai macam pepohonan dan bunga-bunga yang begitu cantik. Rumah itu dicat dengan warna ungu muda, cantik sekali. Berbeda sekali dengan rumah sebelumnya yang lebih tepat disebut gudang.
Aku memasuki rumah indah tersebut. Mulutku terbuka lebar, seperti terowongan kereta api. Ternyata, isi rumah itu tidak kalah indah dengan halamannya. Bagian dalam rumah itu dicat dengan warna putih. Ada banyak tanaman hias buatan yang tersusun rapi di tempatnya. Gambar pemandangan dan tulisan entah apa itu yang begitu indah dipajang di beberapa sudut ruangan.
Rumah ini, memang tidak begitu luas. Tapi mungkin, karena wanita yang bernama Shafiya itu, rumah ini menjadi begitu indah dan begitu terasa nyaman.
###
Sinar matahari yang menembus lapisan jendela kamarku dan udara pagi yang menusuk tulangku, membuatku kembali melihat dunia menyebalkan ini. Dunia yang dipenuhi dengan segudang aktifitas, beribu-ribu persoalan hidup yang tak kunjung selesai dan berjuta-juta orang menyebalkan yang berada di sekitarku.
Aku memulai aktifitas pagi ini dengan semangat hanya sebesar biji sawi. Memang hanya sebesar itu yang aku miliki. Memikirkan segala rutinitas hari ini yang hanya akan membuat memori otakku bertambah penuh, membuat semangatku menciut.
Sebenarnya, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tapi yang kurasakan kini, aku begitu nyaman berada di rumah ini. Kamar yang aku tinggali, begitu indah dan nyaman. Samar-samar kudengar, ada seorang wanita yang sedang melantunkan sebuah irama yang begitu indah. Tapi itu bukan lagu dan bukan juga sebuah puisi. Aku pernah mendengar ini sebelumnya, ketika aku sedang berada di perbatasan antara desaku dengan desa sebelah. Oh, aku tahu. Ini adalah bacaan kitab Al Qur’an yang biasa dibaca oleh penduduk desa sebelah, yaitu desa muslim. Ini begitu indah. Aku ingin mendengarnya lebih jelas.
Aku keluar dari kamarku dan mencari di mana sumber suara itu berasal. Aku terus berjalan. Semakin lama, suara itu semakin terdengar jelas di telingaku. Aku begitu menikmati suara itu.
Kulihat, di sebuah ruangan dengan dinding cat berwarna putih, ada seorang wanita yang mengenakan pakaian serba putih dan memegang sebuah buku berukuran sedang.
Aku mengintipnya selama beberapa saat. Tiba-tiba, wanita itu terdiam. Apakah dia tahu jika sedang ada yang memperhatikannya?
“Hai, cantik. Sudah bangun ternyata. Apakah aku telah menganggu mimpi indahmu?” Wanita itu membalikkan badannya dan tersenyum padaku.
“Ti… tidak.” Jawabku seperti maling yang ketangkap basah sedang melakukan aksinya.
“Ohh, syukurlah.” Wanita itu tersenyum lega.
Wanita itu meletakkan buku yang dipegangnya tadi ke atas sebuah meja dan datang menghampiriku.
“Aku tahu, kamu pasti lapar. Ayo kita sarapan bersama-sama.” Wanita itu begitu ramah kepadaku. Bahkan, lebih ramah dari ibuku.
###
Suara ketukan pintu itu begitu keras. Sepertinya, orang yang mengetuk pintu itu sedang marah. Tetapi, siapa orang itu? Anggota keluarga rumah ini tidak pernah mengetuk pintu sekeras itu, walaupun dalam keadaan marah sekalipun.
“Dobrak saja pintunya!” Seorang lelaki berteriak memerintahkan yang lain.
“Iya benar! Dobrak saja pintunya!”
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa orang-orang di luar sana emosinya begitu meledak-ledak? Aku begitu cemas.
Air muka wanita bernama Shafiya itu terlihat begitu cemas. Biasanya, wanita itu selalu menghadapi setiap masalah dengan begitu tenang. Apakah ini pertanda bahwa akan terjadi bencana besar?
“Umi,” Begitu Shafiya memintaku untuk memanggilnya. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Umi juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sekilas Umi lihat, sepertinya orang-orang itu berasal dari desa sebelah.” Suara wanita itu bergetar. Apakah mereka memiliki niat jahat?
Lelaki-berperawakan-tinggi-besar-berwajah-sangar itu membuka pintu dan pergi menghampiri orang-orang di luar rumah.
“APAKAH KALIAN TIDAK MEMILIKI SOPAN SANTUN!” Lelaki itu berteriak lantang.
“Untuk apa kami bersopan santun kepada orang yang telah menculik anak Mr. Yamin!”
“Jangan pernah menuduh orang lain dengan tuduhan tak masuk akal!”
“Kami tidak akan pernah menuduh para domba jika memang begitu adanya.” Sang pemimpin dari desa sebelah itu menatap tajam lelaki-berperawakan-tinggi-besar-berwajah-sangar itu.
Aku tahu siapa mereka. Aku tahu apa maksud mereka sebenarnya. Aku tahu dalang di balik semua ini. Aku tak boleh diam saja. Aku harus bertindak!
Aku pergi menuju kerumunan di luar sana. Ku lihat, sang dalang sedang berdebat dengan lelaki-berperawakan-tinggi-besar-berwajah-sangar.
“Hei kau, Khalid! Kembalikan anak yang telah kau culik padaku dan urusan kita selesai!” Sang dalang mengancam lelaki-berperawakan-tinggi-besar-berwajah-sangar. Dari ancaman itu, baru aku tahu ternyata lelaki yang biasa aku sebut lelaki-berperawakan-tinggi-besar-berwajah-sangar atau Abi itu ternyata bernama Khalid.
“Ayah! Mengapa Ayah menuduh lelaki ini telah menculikku?!” Semua orang terdiam saat mendengar suaraku yang lantang.
“Tidak. Ayah tidak sedang menuduh lelaki ini. Tetapi, memang lelaki ini telah menculikmu, Sarah,”
“Ayah bohong! Mengapa ayah melakukan ini semua kepadaku?! Aku tahu, kalau sebenarnya Ayah tahu siapa yang telah membunuh tante Maria dan aku tahu siapa dalang di balik semua ini. Tapi, satu hal yang tidak pernah aku mengerti, “ Suaraku bergetar akibat usahaku menahan tangis.
“Mengapa ayah melakukan semua ini kepadaku dan tante Maria? Mengapa ayah begitu membenciku dan tante Maria?”
“Itu semua terjadi karena kalian berdua tidak pernah menyukai segala pertentangan antara kami dengan para domba ini.” Suara ayah terdengar begitu mengerikan.
“Kami mempunyai hak, Ayah.”
Praakk!
Telapak tangan kasar mendarat tepat di pipiku. Sebuah tamparan yang terasa begitu menyakitkan. Sebuah tamparan yang kudapatkan dari orang yang begitu aku cintai, jauh sebelum semua ini terjadi.
Aku tenggelam dalam samudera kesedihanku dan menjauh dari ayah. Aku tak lagi memperhatikan apa yang sedang terjadi, yang kudengar hanyalah suara dua mata pisau yang saling beradu, orang-orang yang meringis kesakitan dan bau anyir darah yang menguak.
Wanita bernama Shafiya itu, masih berusaha menenangkan diriku dan membawaku ke dalam dekapannya. Dekapan hangat, nyaman dan begitu menenangkan.
Aku merasa lebih baik dari sebelumnya. Perlahan, aku melepaskan dekapan wanita itu dan melihat ke arah perkelahian yang sedang terjadi.
Ayah mengarahkan sebuah pisau yang dipegangnya ke arah lelaki bernama Khalid itu. Khalid dengan segenap kekuatannya, berusaha menahan agar pisau itu tidak mengenai dirinya. Kemudian, pisau itu berbalik dan pisau itu mendadak meluncur dengan derasnya dan menancap tepat di dada ayahku.
Kami semua terbelalak menyaksikan kejadian itu.
Tubuhku gemetar. Kesedihan itu kembali menyerang diriku. Beberapa pria teman ayah terlihat bersiap untuk mengeroyok suami Umi Shafiya. Ketika mereka bersiap melompat ke arah suami shafiyah, seorang teman ayah berseru, “Cukup! Kita tidak perlu mengotori tangan kita. Kita bawa saja kasus ini ke pengadilan.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk.
Aku merasakan kakiku tak lagi berpijak di bumi. Tiba-tiba entah datang darimana, sebuah gelombang kekuatan yang membuatku mampu berbicara dengan lantang. “Baik. Akulah yang akan menjadi saksi bahwa Ayah yang bersalah,”
“Dan Allah bersamaku.”[]
[Cylpa Nur Fitriani, Santriwati Pesantren Media kelas 3 jenjang SMP]