Loading

Karya : Novia Handayani (Santri Pesantren Media)

Suasana pagi di Puncak, yang masih gelap gulita, membuatku terbangun dari tidurku. Karena aku suka suasana pagi itu, aku putuskan untuk merenung di atas tingkat rumahku.

Tidak berapa lama kemudian, adzan shubuh mulai berkumandang indah di telingaku. Karena aku tidak mau tertinggal shalat subuh, aku langkahkan kakiku menuju kamar, untuk mengambil mukena dan sajadah. Saat sudah siap, aku langsung menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Di saat semuanya sudah selesai aku lakukan, aku langkahkan kakiku menuju masjid yang lumayan dekat dari rumahku. Dan Alhamdulillah, aku berhasil menuju masjid. Tapi di saat aku ingin menuju jalan pulang, langkahku terhenti saat melihat seorang pemuda mabuk menghampiriku.

“Ya Allah. . Lindungilah aku. . “ lirihku dalam hati, disaat laki-laki itu berusaha untuk menyentuhku.

Di saat aku sedang berusaha untuk menghindar dari laki-laki tesebut. Jarak antara aku dengan dia semakin dekat. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk berlari sambil berdoa, berharap keselamatan dari Allah.

Setelah aku sedang berlari menghindar dari laki-laki tersebut, tampak seorang ibu menarikku dan menyembunyikan aku di sebuah rumah gubuk.

“Allah telah melindungimu. . tetaplah di sini, karena di sini adalah tempat yang aman untuk kamu bersembunyi. . “ ucap ibu tersebut sambil tersenyum.

Mendengar apa yang ia katakan, tak henti-hentinya aku berpikir dan berpikir, kenapa ia bisa tahu jalan pikiranku. Ataukah mungkin, ia adalah seorang malaikat yang Allah turunkan untuk menolongku. Entahlah. . tapi aku mengganggap bahwa ibu itu adalah malaikat yang berhati baik dan mulia.

Sambil tersenyum, ia menghampiriku dan memberikan segelas air teh hangat kepadaku.

“Nak. . sekarang minum dulu ya. . biar capenya ilang. . “ pinta ibu tersebut.

Dengan senang hati, aku menerima air teh hangat ibu itu sambil mengucapkan terimakasih, sedangkan ibu itu hanya tersenyum, sambil menatapku.

Saat air minum itu sudah selesai aku habiskan, ibu itu langsung bertanya seputar namaku.

“Nak. . siapa namamu. . ?” tanya ibu itu.

“Namaku Raras Bu. . “ jawab aku sambil tersenyum.

“Raras. . nama yang bagus. . “ jawab kembali ibu itu sambil tersenyum dan langsung pergi meninggalkanku.

Berselang beberapa menit aku terdiam memikirkan kejadian tadi. Ibu itu langsung menghampiriku kembali dan langsung menepuk pundakku, akupun langsung tersadar dari lamunanku.

“Nak. . tidak baik melamun seperti itu. . kalau memang kamu ada masalah. . kamu bisa cerita sama ibu. . ibu siap membantu. . “ ucap ibu tua itu sambil mengusap-usap pundakku.

Karena kebetulan aku sedang ingin membutuhkan teman curhat, aku putuskan untuk menceritakan apa yang baru saja aku alami. Dengan perasaan yang masih malu-malu, aku tundukkan pandanganku dari ibu itu.

“Ibu. . apakah aku tidak berhasil menjaga harga diriku. . ?”tanyaku murung.

“Baluran Jilbab dan kerudungmu. . untuk apa kamu pakai, kalau kamu tidak mau menjaga harga dirimu. . “ jawab ibu itu sambil tersenyum.

“Tapi bu. . tidak semua wanita berjilbab dan berkerudung itu berhasil menjaga harga dirinya. Buktinya aku, aku malu Bu dengan jilbab dan kerudungku. aku juga malu Bu kepada Allah. . karena aku tidak berhasil menjaga harga diriku. . Baru saja aku hampir mau diperlakukan tidak senonoh oleh seorang laki-laki “ ucapku lirih.

“Nak. . memang tidak semua wanita berjilbab dan berkerudung itu tidak berhasil menjaga dirinya, karena apa. . karena dia mudah terpengaruh dengan bisikan-bisikan setan yang mengganggunya. Tapi jika kamu terus berusaha mendekatkan dirimu kepada Allah. . dan menjalankan hukum-hukum Allah. . maka kamu telah berhasil menjaga harga dirimu. . “ ucap ibu itu, sambil menggenggam tanganku erat.

Merasakan genggaman tangan ibu itu, aku teringat akan genggaman tangan ibuku. Saat terakhir kali aku menggenggam jemari tangan ibuku, kala itu aku masih duduk di Taman Kanak-Kanak. Kini genggamana itu, aku rasakan bersama ibu yang menologku itu.

Saat aku sedang mengenang ibuku dulu, ibu tua itu langsung menggenggam kedua tanganku sambil menangis, aku tidak mengerti, apa yang ibu itu lakukan kepadaku.

“Ibu. . kenapa ibu menangis. . ada apa. . ?” tanyaku sambil membalas kedua genggaman tangannya.

“Nak. . saat pertama kali ibu melihatmu. . ibu teringat akan anak ibu. . mungkin sekarang anak ibu sudah besar seperti kamu. . “ ungkap ibu itu sambil menangis.

“Loh. . memangnya, anak ibu kemana. . ?” tanyaku sambil menatap wajah ibu itu.

“Saat anak ibu masih sekolah, ibu diusir oleh suami ibu. . “ jawab ibu itu sambil menangis.

“Apa. . jahat sekali dia. . memangnya apa yang membuat suami ibu mengusir ibu. . ?” tanya balik aku penasaran.

“Ibu dituduh berselingkuh dengan teman suami ibu. . padahal itu semua tidak benar. . ibu sangat mencintai suami dan anak ibu. . tidak mungkin ibu melakukan hal semacam itu. . “ ucap ibu itu sambil menangis.

Karena aku tidak tega melihat ibu itu menangis, aku langsung memberanikan diriku, untuk memeluknya. Tapi pelukan itu terlepas, saat seekor ular berbisa menggigit tangan kiriku. Dengan sigap, ibu itu langsung mengambil sebuah batu, dan menghantamkan batu itu ke ular tersebut hingga mati. Tapi disaat ular itu sudah mati, aku langsung jatuh pingsan akibat racun ular tersebut.

Dan aku mulai tersadar, saat luka gigitan ular yang aku alami itu sudah tertutup dengan daun sambil diikat kain sobekan. Karena aku tidak tahu, siapa yang melakukan itu. Aku langsung melangkahkan kakiku, mencari ibu itu. Dan tampak ibu tersebut, sedang meniupkan bambunya itu ke bara api yang hampir mau mati.

“Ibu. . hati-hati. . asapnya itu tidak baik untuk pernapasan. . “ ucapku sambil tersenyum. Mengetahui aku ada di dekatnya, ibu itu langsung tersenyum, sambil membantu aku berjalan.

“Kamu yang harusnya hati-hati nak. . “ balas ibu itu, sambil menyuruhku duduk di sebuah kursi rotan yang sudah lapuk.

Saat aku sudah duduk, ibu itu langsung kembali meniupkan bambu itu ke bara api, untuk menyalakan kembali api yang mati. Melihat hal itu, tetesan air mata mulai membasahi pipiku, tapi aku langsung menghapus air mataku itu, dan langsung menghampiri ibu itu.

“Ibu. . mari aku bantu. .”

“Tidak usah nak, sebentar lagi nyala kok. . lebih baik, kamu duduk saja. . “pinta ibu itu. Tapi aku menolak permintaan ibu itu, karena aku tidak tega melihat ibu itu.

“Aku nggak mau duduk lagi bu, pegal kalau duduk terus. . lebih baik ibu saja yang duduk, dan aku yang menyalakkan api dari bara api tersebut. . aku jamin. . tidak perlu waktu lama untuk menyalahkan bara api itu. . “ ucapku sambil tersenyum dan ibu itupun menuruti permintaanku.

Berselang beberapa menit aku berusaha menyalahkan api dari bara api tersebut, akhirnya api tersebut mulai muncul perlahan demi perlahan. Tapi bukan karena ditiup dengan bambu, melainkan dengan kipas kain milik temanku.

Melihat api itu menyalah, ibu itu langsung tersenyum senang dan langsung meletakkan panci berisi air di atas api yang menyala tersebut.

“Wah. . kamu hebat yah. . andaikan saja kamu itu adalah anak ibu, pasti ibu bangga banget bisa punya anak seperti kamu. .” ucap ibu itu kagum.

“Ibu. . jika ibu memang mau mengganggapku sebagai anak ibu, aku mau bu. . karena aku ingin merasakan buaian kasih dan sayang seorang ibu. . karena saat aku TK dulu, ibu kandungku pergi meninggalkan entah kemana. . “ ucapku sambil tersenyum, sedangkan ibu itu langsung memelukku sambil menangis.

Saat lumayan lama kami hanyut dalam kesedihan, aku langsung membantu ibu itu mengangkat panci yang berisi air yang sudah matang tersebut.

Beberapa saat kemudian, ibu itu mengajakku ke sebuah taman yang sangat indah, dan tampak di taman tersebut, mengalir sebuah air sungai yang sangat bersih dan bening. Selama kami berada disana, canda dan tawa tidak bisa lepas dari kami. Dan kejadian tersebutpun yang membuatku yakin, bahwa ibu itu pantas menjadi ibuku, meskipun statusnya bukan sebagai ibu kandungku.

Disaat aku sedang asik bermain di air sungai jernih tersebut. Tiba-tiba saja ayahku memanggilku dan langsung terdiam saat melihat ibu itu, begitupun ibu itu. Berselang beberapa lama mereka terdiam, ayahku langsung menghampiri ibu itu dan langsung bersujud di kaki ibu itu sambil meminta maaf.

“Maafkan saya. . saya telah menyakiti perasaanmu. . Maafkan saya. . “ ungkap ayahku sambil menangis.

“Mudah sekali kamu meminta maaf kepadaku mas. . atas apa yang sudah kamu lakukan kepadaku. . kamu telah memisahkan aku dengan anakku. . “ ucap ibu itu. Mendengar apa yang ibu itu katakan, aku langsung terlonjak kaget dan tidak menyangka bahwa ibu yang sedari tadi menemaniku itu adalah ibu kandungku.

Ucapan syukurpun tidak lepas menghiasi relung hatiku. Tapi di sisi lain, perasaan sedih mulai menghiasi relung hatiku, saat ibuku, enggan memaafkan kesalahan ayahku.

“Ibu. . aku mohon bu. . maafkanlah kesalahan ayah. . “ pintaku kepada ibuku.

“Nak. . sulit untuk ibu memaafkan kesalahan ayahmu. . ayahmu telah mengusir ibu. . ayahmu telah memisahkan ibu dengan kamu. . “

“Sinta. . maafkan saya, saya khilaf. . saya menyesal telah mengusirmu. . Sinta saya mohon maafkan saya. . “ pinta Pak Rudi yang tidak lain adalah ayahku sambil terus bersujud di kaki ibuku.

Tidak berapa lama ibuku terdiam, tiba-tiba air mata jatuh membasahi pipi ibuku. Setelah itu, ibuku langsung membantu ayahku berdiri dan langsung memeluk ayahku erat. Melihat kejadian itu, aku langsung berlari menghampiri kedua orang tuaku dan langsung memeluk mereka berdua.

Saat aku melepaskan pelukanku, begitupun orang tuaku. Aku langsung dicium oleh kedua orang tuaku. Memang sih, rasa malu terpampang jelas dari rona wajahku yang mulai memerah. . tapi meskipun begitu, aku tidak peduli, lebih baik aku malu daripada aku tidak mendapat ciuman dari kedua orang tuaku.

Saat aku sudah selesai dicium oleh kedua orang tuaku. Ayahku langsung meledekku soal ciuman tadi.

“Bu. . nggak nyangka yah. . ternyata Raras sudah mahasiswa, tapi kok masih mau yah dicium sama kita. . biasanyakan malu bu. . hehehe. . “ ledek ayahku.

“Apa mahasiswa. . wah, hebat anak ibu. . tidak apa-apa ayah. . itu namanya, dia berani. . “ ucap ibuku sambil merangkul pundakku.

“Ikh. . udah dong. . aku malu tahu. . “ ucap aku dengan wajah cembetut.

Melihat wajahku kelipaet-lipet seperti itu, ayah dan ibuku langsung meminta maaf kepadaku.

“Maafkan ayah dan ibu ya. . kami hanya bercanda saja. . “ ucap ibuku sambil tersenyum.

“Tidak apa-apa kok yah. . bu. . justru aku senang, aku sangat menantikan saat-saat ini. . bisa berkumpul degan keluarga utuhku. . dan kini aku akan merasaka belaian kasihmu. . belaian kasih yang dulu sempat hilang ditelan oleh waktu. . “ ucapku sambil tersenyum.

Mendengar akan hal itu, ibuku lagsung memelukku erat.

Setelah sekian lama kami larut dalam suasana kerinduan yang mendalam, kami langsung membangun kembali keluarga kami yang sempat tercerai-berai.

_The End_

By Administrator

Pesantren MEDIA [Menyongsong Masa Depan Peradaban Islam Terdepan Melalui Media] Kp Tajur RT 05/04, Desa Pamegarsari, Kec. Parung, Kab. Bogor 16330 | Email: info@pesantrenmedia.com | Twitter @PesantrenMEDIA | IG @PesantrenMedia | Channel Youtube https://youtube.com/user/pesantrenmedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *