Senandung Rindu, nama itu tersimpan sebuah kenanganku bersama Mama. Kenangan manis yang tak akan mungkin terlupakan atau sengaja dilupakan.
Setiap kali Mama keluar kota, setiap kali pula Mama pulang kemudian mencari-cariku sambil mengucapkan kalimat, “mana Senandung Rinduku ya?” Katanya mencari-cariku. Aku pura-pura tak mendengar.
Setiap kali Mama pergi keluar kota, setiap kali pula aku marah. Tapi Mama tak pernah tahu alasan aku marah, aku cuma takut Mama kenapa-kenapa.” Bagaimana kalau ada laki-laki nakal yang menyakiti Mama? Siapa yang melindunginya?” Pikirku waktu itu.
Mama tak pernah tahu, aku tak pernah bisa tidur setiap kali Mama ada di luar kota. Mama juga tak pernah tahu aku selalu menangis setiap kali tahu Mama belum pulang dari luar kota.
Mamaku adalah seorang pengusaha makanan. Biasanya dalam seminggu itu Mama sering menghadiri pertemuan bersama teman-teman pengusahanya di luar kota. Tapi tak sampai menginap. Kalaupun menginap, biasanya mengajak aku. Sempat aku protes pada Mama tentang dia yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Tapi setelah dijelaskan, akupun mengerti. Aku sudah tak mempermasalahkan itu lagi. Malah penjelasan dari Mama itu membuatku sangat sayang padanya.
Sebetulnya aku sudah terbiasa sendiri (di siang hari) di rumah, karena Mama pulang dari kerjanya setelah ashar. Dari kecil aku sudah dikenal di kalangan teman-temanku adalah seorang yang galak, perkasa dan ditakuti. Siapa saja yang berani menggodaku atau mencari gara-gara padaku, aku tak segan-segan menonjoknya sampai memar-memar. Aku pukul dia sampai nangis tanpa rasa kasihan. Tapi aku melakukan itu hanya pada teman laki-laki tidak pernah pada perempuan.
Aku juga pernah melempar seorang pria memakai batu, karena dia mendekati Mamaku. Sampai pria itu dibawa ke rumah sakit karena kepalanya bocor.
Sorot mataku selalu penuh dengan kebencian. Hatiku selalu menyimpan rasa dendam. Kemudian Mama meredamnya. Penyakit hati itu hilang sementara dalam diriku karena Mama selalu menasehatiku.
Delapan agustus dua ribu tujuh, aku kehilangan Mama. Aku sempat depresi. Sebulan aku tak masuk sekolah, hampir satu semester aku tak mau ada yang menemani. Selalu pengen sendiri. Dan lama sekali aku kehilangan diriku, aku merasa menjadi orang lain. Saat itu juga aku berubah menjadi anak yang cengeng dan manja. Mungkin karena nenekku selalu memperlakukanku seperti itu.
[Neng Ilham Raudhatul jannah, Santriwati SMA, Angkatan Pertama]