Ayahku adalah orang yang bijaksana. Ia selalu memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang sulit. Setiap orang meminta pendapatnya, ayahku selalu memberikan pendapat yang luar biasa. Ia juga memberikan solusi. Orang-orang selalu senang berbincang-bincang dengan ayahku.
Lebih tepatnya, ayahku adalah tipe orang yang senang membantu. Ayah sering membantu tetangga-tetangga. Tetangga-tetangga menjadi sangat baik kepada keluarga kami.
Biar begitu, ayah adalah orang yang jujur. Ia akan mengatakan kesalahannya jika tahu kalau itu salah. Aku tidak seperti ayah. Kejujuranku tergantung pada siapa yang memintaku. Bisa disebut, aku lebih sering merasa tidak enak hati. Tapi ayahku selalu berkata padaku agar selalu berkata jujur. Apa pun yang terjadi.
ooOoo
Ayahku. Ia selalu mengucapkan kata-kata bila kecewa kepadaku. Ia tidak berkata-kata yang buruk. Tetapi tatapan dan intonasi bicaranya mengatakan bahwa ia kecewa kepadaku. Matanya menoleh kepadaku walaupun badannya tidak. Tangannya sering bergetar bila aku melakukan hal yang sudah pasti akan membuatnya marah. Tapi ia tidak membentakku. Hanya berkata itu saja. Selalu.
Ia berlalu di hadapanku. Dari belakangnya, dapat kulihat punggung tegap itu pergi meninggalkan kami. Punggung yang melambangkan kekokohah badannya, ketegaran jiwanya, dan kekuatan dirinya sebagai kepala keluarga. Aku selalu memikirkannya. Ia selalu terlihat tegar walau aku sering membuatnya kecewa. Senyuman penuh kebanggaan itu selalu aku nantikan setiap pulang sekolah. Walau kulihat matanya yang sayu akibat tidak tidur semalaman, ia tetap selalu tersenyum menyambut kedatanganku.
Sumber : Tugas menulis (Memulai cerita), 9 Maret 2015
[Fathimah NJL, Kelas 3 SMP, Santriwati Angkatan ke-1 Jenjang SMP, Pesantren Media]