Berbicara mengenai cita-cita, saya yakin setiap orang memilikinya. Siapa sih yang tidak memiliki cita-cita? Anak nelayan yang sehari-harinya membantu ayahnya menangkap ikan saja pasti memiliki cita-cita. Saudara-saudara kita yang mengais uang receh di jalanan pun sama. Cita-cita semua orang itu beragam. Saya jadi ingat ketika saya masih duduk di SD. Ada yang tahu apa cita-cita saya? Hmm… saat itu jika ada yang menanyakan hal itu kepada saya, pasti jawabannya adalah ‘Saya ingin menjadi guru’. Lain halnya dengan teman-teman saya yang ingin menjadi dokter, presiden atau pilot.
Mengapa saya ingin menjadi guru?
Karena saya pikir guru itu adalah sosok yang pintar, ramah, baik, sabar dan menyenangkan. Alasan ini muncul karena guru-guru saya saat itu memang berprilaku seperti itu. Baik, ramah, pintar, sabar dan menyenangkan. Ya, itulah yang terbayang dalam benak saya. Cita-cita saya ini berlanjut sampai saya naik ke kelas 4 SD. Ternyata di masa ini saya dihadapkan pada kenyataan yang tak pernah terlintas sebelumnya di benak saya.
Ya. Seiring dengan berjalannya waktu, pihak sekolah memutuskan untuk mengadakan pergantian guru. Entah apa alasannya sampai membuat kebijakan seperti itu. Yang jelas, rumor yang beredar saat itu adalah karena kinerja guru sebelumnya kurang optimal. Padahal menurut saya waktu itu semua guru baik-baik kok. Tapi yang membuat saya lebih sedih adalah Bu Ria, guru komputer favorit saya mengundurkan diri dari sekolah. Saat itu saya sangat kecewa. Tapi mau bagaimana lagi, ternyata beliau sedang disibukkan oleh kuliahnya. Begitu juga dengan Miss Cindy, guru Bahasa Inggris yang hanya 2x pertemuan saja dengan kelas saya. Huuhf…
Di saat rasa sedih bersemayam di hati setelah berpisah dengan 2 guru, kini saya dan teman sekelas dihadapkan pada guru pengganti yang ternyata tidak sebaik guru kami sebelumnya. Ada satu guru baru yang menurut saya sangat berbeda. Guru tersebut berbadan tinggi beras, disertai kumis dan bulu alis yang tebal. Jika dilihat dari luar guru itu memang terlihat menyeramkan. Saya saja, merasa takut dan deg-degan jika bertemu dengan guru itu. Takut dimarahin. Hehe. Guru itu bernama Pak Naruson. Beliau adalah guru PKN dan matematika di sekolah. Khusus untuk kelas saya, beliau hanya mengajar pelajaran matematika.
Dengan kehadiran beliau di sekolah membuat saya berpikir bahwa tidak semua guru itu baik. Bahkan berimbas pada cita-cita saya. Saya sampai berpikir, “Bagaimana jika nanti saya menjadi guru seperti itu? Jangan sampai deh!”
Semenjak itu, saya mulai memikirkan kembali cita-cita saya. Di usia 10 tahun saya bertanya kembali kepada teman-teman mengenai cita-cita mereka. Ternyata banyak juga yang ingin menjadi guru. Sisanya menjadi penyanyi, dokter, pejabat dan lain-lain. Ahh, tapi tetap saja hati nurani saya tertuju pada cita-cita awal, menjadi guru. Saya tidak bisa melupakan guru-guru saya yang dulu. Saya ingat dengan kebaikan-kebaikan mereka. Tapi saya bingung, keraguan selalu muncul saat saya melihat Pak Naruson.
Kesan pertama memang menyeramkan. Tapi ternyata saya salah. Di balik kumis dan bulu alisnya yang tebal, ternyata beliau adalah sosok bijaksana dan tegar. Wihh… saya saja terkejut saat menyadarinya. Beliau memang tegas, sering menghukum siswa-siswa yang nakal. Lama kelamaan rasa takut saya beranjak pergi. Ternyata setelah mengenal beliau lebih akrab saya jadi kagum. Sama seperti saya, orang yang baru ketemu dengan beliau pasti ketakutan juga. Tapi jika sudah mengenal lebih dekat rasa takut itu akan sirna. Dan semenjak saat itu saya tidak ragu lagi dengan cita-cita saya. Kata beliau, memang tidak semua guru itu prilakunya baik. Tapi contohlah guru yang baik.
Ya, cita-cita saya menjadi guru berlanjut hingga saya lulus SD. Bagaimana selanjutnya? Apakah cita-cita saya masih sama? Nantikan cerita berikutnya!^^
[Siti Muhaira, santri kelas 2 jenjang SMA, Pesantren Media]