Loading

Mell meletakkan piring di tempat cuci piring lalu beranjak pergi setelah membawa lap basah untuk membersihkan meja. Pelanggan terakhirnya malam ini telah pergi sekitar setengah jam yang lalu. Chi Café juga sudah dia tutup.

Setelah menyelesaikan semua pekerjaan yang tersisa, Mell memasuki ruangan di samping dapur. Itu adalah sebuah kamar berukuran sedang tempat biasa dia beristirahat. Mell tidak pernah meninggalkan Chi Café selangkahpun untuk beberapa alasan. Dia bahkan tidak pernah berbelanja untuk bahan-bahan di café, karena semua bahan tersedia di gudang seperti tidak ada habisnya. Café penuh dengan keajaiban.

Sudah hampir tiga minggu lamanya Mell berada di Chi Café yang selalu mengejutkan. Meskipun pelanggan-pelanggannya tidak cukup banyak, tapi menjalani hari-hari di café ini sangat menyenangkan. Beberapa pelanggannya bahkan membawa masalah yang beragam, membuatnya harus berpikir untuk membantu mengatasi masalah mereka. Mell bahkan tidak menyangka dia memiliki nasihat-nasihat yang bagus untuk mereka.

Banyak hal yang aneh dan harus dipertanyakan dari Chi Café. Mulai dari asal-usulnya hingga para pelanggannya. Tak satu pun dari pelanggannya adalah orang yang sama. Dalam satu hari, pelanggan yang datang paling banyak sekitar tiga puluh orang. Pemasukan di café juga pas-pasan, seringkali pula Mell memberikan makanan atau minuman secara cuma-cuma pada pelanggannya. Dan tampaknya, itu semua tidak mengubah apapun pada Chi Café.

Bukannya tidak merasa penasaran dengan apa rahasia di balik Chi Café, tapi Mell tidak ingin memusingkannya. Dan dia mungkin . . . agak tidak peduli dengan itu semua. Kehidupan yang dijalaninya di café, terlampau baik hingga membuatnya tak ingin meninggalkan café ini selangkahpun. Dia ingin selama-lamanya berada di tempat ini, menangani masalah orang lain tampak lebih mudah dari pada masalahnya sendiri . . .

“Apa-apaan…” Mell melangkah mundur saat melihat pusaran putih di lantai yang tiba-tiba muncul. Mell semakin menjauh dari pusaran yang perlahan melebar . . . terus melebar dan menelan barang-barang di sekitarnya.

Cahaya putih tiba-tiba muncul dari pusaran, menghisap Mell ke dalamnya . . .

 

Sora keluar dari kamarnya menuju ruang keluarga, menemui ayah dan ibunya. Dari belakang dia mendengar suara langkah kaki cepat menghampirinya, tidak lama sepasang tangan melingkari kakinya.

“Kakak!” sapa Yuna, adik kecilnya yang hanya setinggi pinggangnya saja. Yuna tertawa kecil sambil menggenggam tangan Sora, mengikutinya sampai ke ruang keluarga.

“Aku mau coba resep baru kakak di café, boleh yah?” tanya Yuna.

“Mmh, boleh aja sih, tapi bayar, yah?” mendengar itu membuat Yuna merengek. Sora tertawa melihatnya lalu mencubit pelan pipi adiknya yang tembem. Sangat menggemaskan.

Candaan di antara keduanya terhenti ketika bau besi yang menyengat tercium. Atmosfer di sekeliling mereka tiba-tiba terasa mencekam, membuat Sora merasa takut sendiri. Yuna yang tidak menyadari keadaan hanya menurut dalam diam saat ditarik kakaknya ke belakang.

Sora adalah seorang chef dessert, indra penciumannya setajam matanya. Dari luar mungkin yang diciumnya seperti bau besi biasa, tapi Sora tahu betul bau besi yang diciumnya sekarang lebih khas dari bau lainnya. Jantung Sora berdegup begitu kencang ketika dia tahu bau ini bersumber dari ruang keluarga. Tangannya yang bergetar menarik daun pintu perlahan, mengintip isinya.

Suara Sora tercekat ketika melihat sebuah kepala tergeletak mengenaskan. Dari celah pintu yang dibukanya, dia bisa melihat darah menggenangi kepala yang dikenal sebagai ayahnya itu.

“Kakak . . . kenapa?”

Sora menahan Yuna yang bergerak, ingin melihat ke dalam ruang keluarga. Dia berbalik membelakangi pintu, menatap Yuna yang balik memandangnya penasaran. Sora baru akan mengatakan sesuatu ketika matanya menangkap bayangan seseorang mendekati mereka.

“Siapa di sana?” secepat seruan itu terdengar, Sora langsung membawa pergi Yuna yang dia dekat erat di gendongannya.

Keluar dari rumah, Sora berlari sekuat yang dia bisa. Yuna semakin erat melingkari lehernya sambil menangis terisak, bingung dengan apa yang terjadi. Dalam hati, Sora menyesali rumah keluarganya yang jauh dari keramaian kota. Ladang-ladang di sekelilingnya mempersulit langkah Sora, tidak pula membantunya menyembunyika keberadaannya. Dia bahkan terlalu panik dan lelah untuk berpikir memanggil polisi yang mungkin juga tidak terlalu berguna, tempat tinggalnya ini cukup jauh dari fasilitas umum. Dari kejauhan dia bisa mendengar seruan-seruan orang-orang yang mengejarnya.

Sora terus berlari, menghiraukan ilalang tinggi dan semak-semak yang melukai badannya juga sakitnya kaki. Yang dipikirannya sekarang hanya keselamatan dirinya dan Yuna.

“KAKAK!”

“YUNA!”

Kaki Sora tergelincir, membimbing dia dan adiknya ke dalam jurang yang dipenuhi semak belukar. Selama beberapa saat Sora sempat mendekap adiknya erat sebelum akhirnya tangannya mulai mati rasa dan melepas Yuna yang ikut terguling ke dasar.

Sora berusaha bangkit dari tempatnya. Seluruh tubuhnya sudah penuh luka, darah bercucur di sekitar wajahnya. Meski kakinya terasa nyeri bila digerakkan dia tidak berhenti untuk mencoba dan menemukan adiknya.

Sora sudah hampir berdiri ketika tiba-tiba dia ditarik paksa dari belakang, mendorongnya jatuh ke tanah. Kepalanya diinjak kasar, nyeri dan pening menyerang tubuhnya tapi dia tersenyum bersyukur ketika pandangan matanya menemukan Yuna yang, tubuhnya tersembunyi diantara semak, wajahnya menghadap ke arah Sora. Dari jarak mereka yang cukup jauh, dapat ia lihat air mata membasahi wajah adiknya yang kini sudah kotor oleh tanah dan dipenuhi memar.

Dirasakan kepalanya diinjak lebih keras membuat ringis kesakitan keluar dari mulut Sora.

“Di mana adiknya?”

“Tidak ditemukan bos, sepertinya jatuh sampai ke ujung jurang.”

“Bunuh dia. Untuk dijual pun tidak berguna!”

Sora tersenyum pada adiknya, lalu tanpa suara dia mengucap, “Go, my Chi!” selesai terucap, Sora dapat merasakan benda panas menghantam kepalanya, sementara telinganya berdenging karena suara pistol yang begitu kentara, membuat dia kehilangan kesadarannya di tengah bau mesiu yang memenuhi hidungnya.

 

Kakaknya bilang saat bayi dulu Yuna kecil sekali, kulitnya merah dan lembut juga tipis. Saat kecil dulu Yuna juga sakit, kakaknya sampai takut dia kenapa-kenapa kalau dipegang. Katanya, Yuna seperti kain lembut yang tipis dan mudah robek, meski begitu Yuna itu kuat. Seperti syal pemberian oma yang terbuat dari chiffon. Kak Sora bilang, Yuna seperti chiffon. Yuna itu Chi.

“Kalau orang bilang Yuna itu lemah, ngga ada tenaganya, ngga usah nangis apalagi marah. Yuna itu Chi. Chi selalu tersenyum apapun keadaannya. Kalau Chi punya masalah yang menurut kamu besar, coba bilang “Chi”, nanti masalahnya ngga besar lagi.”

Yuna selalu ingat bagaimana kakaknya mengatakan itu padanya. Setiap kali Yuna menangis, kesal, bete, dan sejeningnya, Kak Sora selalu datang sambil mengatakan “Chi” padanya lalu bilang padanya kalau, “Yuna itu Chi.”

“Yuna itu Chi.” ucap Yuna. Suaranya bergetar, tubuhnya yang penuh luka dia bawa dengan kakinya yang kesakitan. “Yuna itu Chi.” kata Yuna lagi dan terus mengulanginya hingga tanpa ia sadari suaranya menegas, langkah kakinya semakin mantap, rasa nyeri di seluruhnya seolah lumer, sementara bibirnya mengukir senyum. “Yuna itu Chi!”

Yuna menatap ke depan, dia bersyukur sudah ada di tempat ini, meski masih di daerah terpencil tapi banyak orang melewati tempat ini. Di sinilah kakaknya membangun café. Yuna mempercepat langkahnya menuju café, sesampainya di sana ia masuk ke dalam lewat pintu belakang yang selalu tidak terkunci.

Untunglah ada tempat untuknya mengistirahatkan diri. Dia sudah terlalu lelah untuk berjalan. Yuna menatap ke sekeliling café yang sepi, membuatnya mengingat Kak Sora. Air mata kembali berlinangan di wajah Yuna.

Yuna masuk ke dalam kamar Kak Sora di café ini, mengambil buku bersampul hijau dari lemari lalu memeluknya erat di atas kasur. Buku itu Yuna dan Kak Sora gunakan untuk menulis resep-resep hasil percobaan mereka. Buku itulah kenangan mereka yang tersisa.

Yuna jadi ingat kakaknya yang selalu mengajarkan untuk tidak lari dari masalah. Tapi kenapa tadi kakaknya justru lari dari masalah? Kemana pula ayah dan ibunya? Dia mungkin agak sedikit mengerti sekarang, kalau tadi kakaknya tidak lari dari masalah mungkin dia juga akan mati. Dan ayah ibunya, mereka mungkin sudah tiada sekarang.

Ternyata, ada saatnya pula untuk lari dari masalah. Kalau begitu, bisakah Yuna menyelesaikan masalah, yang belum diketahuinya, ini?

“Periksa tempat ini!”

Yuna langsung waspada begitu mendengar seruan menyeramkan itu. Sudah waktunya untuk dia menyelesaikan masalah, kah?

Yuna berlari mengambil pulpen dari meja lalu membuka halaman terakhir buku yang dipegangnya terburu-buru. Tangannya yang bergetar memegang pulpen penuh ketakutan, takut orang-orang yang mengejarnya menemukan dia lebih dulu. Dari luar suara barang-barang yang pecah dan jatuh bersahutan. Suara langkah kaki mulai terdengar jelas.

“Periksa ruangan itu, tikus sekecil apapun harus kita habisi!”

Mendengarnya Yuna langsung berlari ke bawah kasur, bersembunyi di sana lalu melanjutkan menulis di buku. Matanya sudah berderai oleh air mata, tapi dia harus menyelesaikan tulisannya.

Suara langkah kaki terdengar di segala penjuru kamar. Yuna menutup bukunya perlahan, mengintip keadaan lalu berlari keluar kamar secepat mungkin saat orang-orang yang mengejarnya lengah. Kalau dia tidak bisa menyelamatkan dirinya, buku ini harus ia selamatkan!

“Di sana!”

Para pengejar itu menemukan Yuna yang langsung berlari ke dapur, menaiki meja lalu meletakkan buku di rak paling atas. Dia melompat turun lalu berlari sejauh mungkin, dia hampir mencapai pintu saat dari belakang seseorang menariknya kasar.

Yuna sudah menangis kencang saat tubuhnya dibanting ke lantai, menyisakan nyeri di punggung dan kepalanya yang berdenyut. Tidak berhenti di situ, Yuna tetap berusaha pergi dari para pengejar, tapi perutnya ditendang keras, membuatnya mual dan sakit.

“Biar aku yang membunuhnya. Lewat tangan sendiri lebih menyenangkan,” kata suara seseorang.

Tubuh Yuna sudah bergetar, matanya mencari ke arah dapur dan menemukan buku hijau yang ditaruhnya di atas rak. Dia jadi teringat kakaknya, keadaan ini persis seperti menjelang kematian Kak Sora. Tanpa suara Yuna mengucap, “Go my Chi!” pada buku bersampul hijau, berbarengan dengan meletusnya peluru pada pistol. Dengan kesadarannya yang tersisa ia melihat buku bersampul hijau itu menghilang.

 

Mell jatuh tersungkur saat keadaan di sekelilingnya menghilang seperti angin puting beliung. Suasana kamar kembali seperti semula, sementara Mell menyembunyikan tubuhnya di balik selimut di atas kasur. Tubuhnya bergetar ketakutan saat melihat kejadian demi kejadian yang mengenaskan. Tragedi yang menyakitkan di Chi Café. Dia melihatnya seperti film yang diputar ulang. Emosinya bercampur antara sedih, panik, gelisah, takut, tapi dia juga harus kuat.

Hatinya membawa dia keluar dari selimut menuju ke dapur. Mell melihat di rak paling atas dapur, ada sampul buku berwarna hijau yang mencuat keluar. Buku yang dicarinya berminggu-minggu, yang hilang tanpa jejak itu seolah mengajaknya untuk membaca halaman terakhirnya.

“Yuna itu Chi. Chi tidak bisa menyelesaikan masalah diri sendiri, apalagi orang lain. Kalau kamu Chi, selesaikan masalah sendiri, lalu bantu masalah orang lain!”

Mell menutup buku, mengusap pelan sampulnya sambil berurai air mata. Chi Café adalah tempat terbaik untuknya. Dia bisa merasakan kedamaian sambil membantu masalah banyak orang tapi tidak membantu masalahnya sendiri. Mell, dia . . . lari dari masalah.

Ini malam yang sunyi, tapi pikirannya begitu ramai oleh emosi. Mell memandang ke sekeliling café, berusaha mengingat tiap sudutnya dalam pikiran, mengenang tiap hal menyenangkan dan menyedihkan yang terjadi di sini. Apapun yang terjadi, dia selalu tersenyum di Chi Café.

Mungkin, ini saatnya Mell untuk terus tersenyum di luar Chi Café.

Mell membuka pintu masuk Chi Café. Untuk pertama kalinya sejak masuk Chi Café, Mell melangkahkan kakinya keluar. Dia membalik tubuhnya setelah menutup pintu yang baru ia sadari tak pernah ada kunci atau gembok di sana.

Ia sedang berjalan menjauhi café menyebrangi jalan saat sadar satu hal. Kejadian ini, persis seperti apa yang dilihatnya saat lari dari para pengejar. Dia melihat orang lain keluar dari sebuah bangunan yang kemudian menghilang di keremangan lampu jalan.

Mell menengok ke belakangnya, berniat melihat Chi Café untuk terakhir kalinya. Hal pertama yang dilihatnya saat itu adalah ramainya orang-orang berlalu lalang, lalu pohon yang tumbuh besar di pinggir jalan. Malam yang sunyi dan sepi berganti ramai secepat ia menengok ke belakang. Di celah-celahnya Mell berharap menemukan Chi Café di sana, tapi dari deretan toko-toko itu tak ada satupun di antaranya adalah Chi Café.

Chi Café menghilang, dan Mell tersenyum seraya berkata, “Go my Chi!”

 

willyaaziza, 3 November 2016 9.10 a.m

[ZMardha]

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *