Senin, 20 Agustus 2012
Hari ini saya dan Anam memenuhi undangan Bu Hindun untuk bertandang ke rumahnya. Sebenarnya Bu Hindun ingin kami ke tempatnya pas di saat lebaran. Namun, kami belum dapat menyanggupinya. Kondisi komplek yang sepi ditambah beberapa pengalaman terkait perilaku orang-orang aneh yang sering terlihat mengamati suasana, yang memanfaatkan momen ditinggalkannya rumah guna mudik ke kampung halaman. Kami takut pesantren menjadi sasaran pencurian jika kami tinggalkan lama-lama.
Maka pada hari ini, kami berkunjung ke rumah Bu Hindun. Sambutan hangat terbuka untuk kami berdua. Bu Hindun langsung menanyakan kenapa baru sekarang berkunjung. Kami pun menjelaskan duduk persoalannya. Akhirnya beliau mengerti. Bu Hindun hanya menyayanngkan kami tidak datang kemarin karena beliau telah menyiapkan hidangan yang enak-enak. Kami hanya menelan ludah ketika mendengarnya.
Hari ini, dikarenakan kami telat berkunjung, yang kami dapatkan hanyalah kue saja. Namun begitu, perbincangan di antara kami begitu hangat. Bu Hindun bercerita banyak hal. Begitu pula kami. Kami menceritakan berbagai hal yang bagi Bu hindun tidak ketahui. Seperti misalnya cerita tentang Anam yang sakit dan sempat dirawat beberapa hari di Rumah Sakit Marzuki Mahdi. Beliau terkaget-kaget mendengar berita ini. Maklum, Anam adalah santri baru yang pada saat sakit masih belum mengenal Ibu Hindun.
Selasa, 21 Agustus 2012
Hari ini, setelah shalat Subuh, saya bersama Anam membereskan sampah yang ada di asrama. Sesudah itu saya bersantai sambil mencicil tugas yang ada. Baik itu tugas menulis, hunting foto, menyusun ide tugas bahasa Inggris, dan lain sebagainya. Tak lama setelah itu, kantuk menguasai mata. Saya pun tertidur hingga jam satu siang. Sehabis bangun tidur, saya shalat Duhur dan makan siang di pesantren.
Tahu tidak, menulis satu paragraf di atas bagi saya begitu membosankan. Ceritanya begitu biasa, begitu datar. Hari ini memang datar-datar saja. Ah, saya tidak tahu apa lagi yang ingin dituliskan.
Mungkin cerita hari ini akan berakhir di sini jika saja tak ada kejutan kedua dari Pak Bandi. Sehabis shalat Maghrib di Masjid Nurul Iman, beliau kembali mengajak kami ke rumahnya. Dalam hati saya berpikir, betapa baiknya beliau. Selalu bermurah hati mengajak kami para perantauan ini guna makan bersama di rumahnya.
Begitu tiba di rumahnya, istri beliau memberitahu bahwa makanan belum matang. Melihat kondisi ini, kami jadi tidak enak sendiri. Datang-datang hanya untuk makan. Sungguh memalukan. Tapi, ini kan Pak Bandi sendiri yang mengajak. Bukan kami yang memaksa berkunjung ke rumahnya. Setidaknya itu pembelaan yang ada dalam benaak saya.
Pak Bandi memang orang yang baik. Mengetahui makanan belum matang, beliau tidak tinggal diam apalagi menyuruh kami pulang. Beliau pun mengajak kami keluar. Makan bakso di pinggir jalan. Tepatnya di seberang jalan di depan lapangan futsal Laladon. Di sana ada penjual bakso yang sepertinya sudah sangat akrab dengan Pak Bandi. Si penjual bakso tidak menjual baksonya di warung, melainkan di sebuah gerobak bakso biasa yang masih bisa didorong.
Baksonya besar sekali. Rasanya begitu kenyal. Satu mangkok saja sudah cukup membuat perut ini terasa penuh. Namun begitu, mau tidak mau, sepulang dari tempat ini kami harus makan lagi. Memenuhi janji makan malam di pesantren. Harus kami penuhi janji itu karena kalau tidak, akan ada makanan yang terbuang percuma. Bu Wita, istri Ustadz Rahmat sudah berlelah-lelah memasak makan malam untuk saya dan Anam. Tak enak rasanya jika tidak makan di pesantren hanya karena ajakan adadakan dari Pak Bandi untuk makan bakso.
Sampai di sini dulu cerita untuk hari ini. [Farid Ab, santri Pesantren Media, Kelas 2 SMA]
Catatan: tulisan ini adalah bagian dari tugas menulis diary di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media