Loading

Cerita sebelumnya..

Rahasia yang Mulai Terungkap

“Maila juga minta maaf ya.” Kataku. Aku dan Kak Syifa memeluknya. “Maisya, aku boleh tanya tentang, ehm, peny..” kataku takut-takut.

“Penyakitku?” tanya Maisya menaikkan alisnya. Aku mengangguk pelan. “Oh. Maaf, ya. Aku tidak pernah memberitahumu.” Aku dan Kak Syifa mendengarkan dengan serius. Maisya melanjutkan,

“Sejak kecelakaan pada pertandingan itu, aku divonis oleh dokter karena suatu penyakit.” Katanya. Aku terkejut. Begitu pula Kak Syifa.

Cerita dari Masa Lalu

“Maisya, cukup sampai di sini kamu menutupi penyakitmu itu. Aku akan membantumu semampuku.” Aku memegang pundak Maisya. Kak Syifa memegang tanganku.

“Sudahlah, Maila.” Katanya.

“Tidak apa, Kak.” Kata Maisya melepaskan tanganku dari pundaknya. “Tapi Mayla jangan menangis, ya. Kalau Maisya menceritakan ini.” Katanya lembut menggenggam tanganku. Aku mengangguk tidak yakin.

“Ceritakanlah.” Kata Kak Syifa mengubah posisi duduknya. Maisya menatap langit yang cerah. Ia menarik nafas lumayan panjang. Aku merasakan ada kesulitan pada diri Maisya untuk menceritakannya. Aku menyerah.

“Sudahlah, Maisya. Kalau kau tidak mau menceritakan tidak apa.” Aku tersenyum. Ia menatapku.

“Tidak apa-apa, Maila. …” katanya terputus oleh suara bel masuk.

“Kring…”

“Nanti saja Maisya. Ayo kita masuk kelas.” Kata Kak Syifa. Aku dan Maisya mengangguk. Di jalan, Maisya hanya menunduk. Ia tidak terlihat tomboi lagi. Matanya sayu. Aku yakin, Maisya sedang memikirkan sesuatu.

Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.

Kejadian itu…

“Maisya! Coba lihat. Ada artikel seram, nih.” Kataku mengklik sebuah situs di google. Maisya yang sedang membaca komik jepangnya tidak bergerak. Aku berdiri dan mulai menarik tangan Maisya.

“Iya, iya. Sebentar.” Maisya bergegas tertawa sambil berdiri. “Apaan, sih?” Maisya duduk di depan komputer. Ia menggerakkan mouse.

“Kanker otak merupakan suatu penyakit yang membunuh secara diam diam, dimana sebuah tumor tumbuh di dalam otak dan mulai mengganas. Untuk mencegah penyakit tersebut berkembang di otak Anda. Penyakit kanker tersebut memang memiliki gejala awal yang biasa di rasakan seperti pusing, mual dan juga muntah walaupun pada dasarnya penyakit kanker otak tersebut sangat sulit untuk di deteksi.Penyebab dari penyakit kanker otak sendiri salah satunya ialah faktor genetik ataupun faktor keturunan dalam artian bila anda memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit tersebut berarti kemungkinan resiko terkena penyakit kanker otak pun semakin besar dibandingkan dengan mereka yang tidak mempunyai riwayat keluarga yang memiliki penyakit tersebut. Satu lagi faktor penyebab penyakit tersebut ialah benturan yang pernah terjadi pada kepala anda jadi penyebab tumbuhnya jaringan abnormal dalam otak (yang kemudian dapat berkembang menjadi kanker otak).” Maisya membaca tulisan di sebuah situs itu. Aku bergidik. Ia melihat ke arahku.

“Kenapa dengan tulisan ini?” katanya. Aku mendengus.

“Kamu enggak takut? Gejalanya diam-diam. Sudah ada banyak korban, lho.” Aku mengalihkan pandanganku. Maisya kembali mengambil komiknya dan kembali ke tempat tidurnya. Wajahnya menggambarkan wajah tidak peduli. Aku kembali berkutik dengan dunia maya dengan perasaan kesal karena Maisya tidak memperhatikanku.

Aku tersadar dari lamunanku. Sejenak aku berpikir. Ah, tidak mungki! Batinku dalam hati.

Di kelas, aku mencocokkan kata di masa lalu, dan isi dari diary Maisya. “Kamu enggak takut? Gejalanya diam-diam. Sudah ada banyak korban, lho”. ” Maila pernah bilang, ia takut pada penyakit seperti ini”

Tanpa bersuara, aku mengeluarkan air mata. Tidak mungkin. Kangker otak? Maisya, kenapa kamu tidak bilang?

Don’t cry, Maisya

Selesai pelajaran, aku memeluk Maisya. Seperti tahu perasaanku, Maisya ikut menangis. Ia berkata,

“Kamu sudah tahu, Maila?” dalam pelukanku, ia terisak. Suaranya terdengar serak. Aku mengangguk tidak pasti. “Minggu depan, aku akan melakukan operasi.” Katanya lagi melepas pelukanku. Mataku terbelalak. Namun, aku tersenyum.

“Aku akan selalu mendukungmu. Dalam setiap do`aku, akan kusebut nama Maisya setelah Mama dan Papa.” Aku tersenyum menahan tangis. Maisya menunduk, kamudian mengangkat kepalanya. Ia juga menahan tangis. Aku mencoba menenangkannya. Padahal hatiku juga belum tenang.

“Jangan menangis, Maisya.” Aku memegang kedua pundaknya. Ia tersenyum. Senyumnya tak semanis ketika dulu. Ia terpaksa tersenyum untuk membuatku bahagia.

“Kalau Maisya nanti gagal, Maila jangan sedih, ya.” Katanya membuat hatiku seakan meleleh.

“Maisya jangan ngomong gitu, dong. Maisya harus berusaha.” Aku menyeka air mataku yang kembali mengalir deras. Untung di kelas sepi. Maisya menggelang. Isaknya semakin terdengar jelas.

“Kemungkinan itu sedikit. Kata dokter, aku sudah memasuki stadium tinggi. Kecil kemungkinan untuk berhasil.” Dalam tangisan, kami berpelukkan.

Hadiah dari Maisya

Sabtu… Minggu… Senin… Selasa… Rabu… Ah! Hari-hari terasa cepat bagiku. Tak terasa, sekarang sudah hari kamis. Aku menahan nafas begitu melihat kalender di pagi hari ini. Spidol berwarna hitam melingkari tanggal hari ini. 19 Januari.

Maisya yang melingkari tanggal itu. Karena siang ini, Maisya akan mulai melakukan operasi.

Sejak aku mengetahui penyakit Maisya, aku selalu berdo’a untuknya. Terkadang, aku menangis. Aku takut hal yang tidak menyenangkan itu akan terjadi.

“Maila, sedang apa kamu di sini?” tanya Maisya melihatku sedang duduk di balkon kamar. Aku menoleh. Kamudian tersenyum tanpa sepatah kata pun. Maisya duduk di sebelahku.

“Maila ingat tidak. Besok kita umur 14 tahun, lho. Tidak terasa, ya.” Katanya menatap langit sambil tersenyum. Aku mengangguk.

“Hmm, kita bertukar kado, yuk!” aku memberi usulan. Maisya menoleh.

“Tapi kapan? Aku akan berangkat jam 10 nanti. Kata Mama, aku akan melakukan kemoterapi lagi sebelum operasi.” Maisya mengayunkan kakinya pelan. Aku berdiri.

“Nanti aja, deh. Kalau Maisya sudah sehat.” Aku memegang kedua tangan Maisya.

“Mudah-mudahan..” Maisya menatapku. Aku mengangguk.

Maisya pergi.  Maisya kuberi apa, ya? Batinku dalam hati. Aku mengambil buku prakaryaku dan mulai mencari. Hmm.., tidak ada yang sesuai. Satu buku sudah selesai kubaca. Aku menyerah pada buku itu.

Bersambung ke Hadiah yang Berkesan..

[Fathimah NJL, santri angkatan ke-1, jenjang SMP, Pesantren Media]

By Fathimah NJL

Santriwati Pesantren Media, angkatan ke-5 jenjang SMA. Sudah terdampar di dunia santri selama hampir 6 tahun. Moto : "Bahagia itu Kita yang Rasa" | Twitter: @FathimahNJL | Facebook: Fathimah Njl | Instagram: fathimahnjl

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *