Siang itu, stasiun Depok baru sama seperti biasanya. Penuh dengan orang-orang dan suara bising kereta commuter yang lewat. Aku sendiri memilih berdiri di dekat rel jalur 3, pelan-pelan aku turunkan tas laptop yang kupegang sedari tadi kemudian menggerakkan bahu. “Ah..pegelnya,” gumamku pelan, aku melirik ke arah kiri melihat ujung jalur kereta commuter jurusan Jakarta kota itu.
“Itu dia..” lirihku senang.
Bisa kurasakan hembusan angin yang menerpa saat kereta lewat dan perlahan berhenti, agak terburu-buru aku segera mengambil tas laptopku dan bergerak mendekati pintu kereta commuter. Bagian inilah yang kurang aku suka setiap naik krl, saat orang-orang di dalam kereta sudah keluar, semua orang berebutan naik dan harus aku akui, aku selalu kalah dalam kompetisi itu. Meskipun aku tau, masuk pertama juga percuma, gak bisa duduk. Menyebalkan.
Aku segera berdiri di dekat pintu dan menaruh tas laptop di dekat kakiku. “Uwaaa…pegeeel,” gumamku pelan sambil memegang kedua bahu. Aku bolak balik melihat ke atas kursi kereta, melakukan diskusi dengan diriku yang lain, apakah aku harus menaruh tas ranselku di atas sana atau engga. Dan akhirnya aku memilih melihat keluar pintu sambil memegang tiang besi. Tanganku mager naikin ke atas.
Sesekali setiap berhenti di stasiun, aku melihat sekeliling berharap ada kursi kosong. Yaa..meskipun ujung-ujungnya aku akan mengalah untuk yang ‘lebih membutuhkan’ setidaknya aku ingin melepas tas ranselku sebentar. “Untung gak jadi bawa jilbab-jilbab, bisa-bisa pundakku patah,” batinku sambil mendangak dan menghembuskan nafas.
Inilah susahnya melakukan perjalanan jauh. Gak ada temen ngobrol. Semua orang sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Kalau pun urusan mereka dengan gadget selesai, mereka akan segera mengambil earphone, memasangnya ke telinga dan tidur. “Kalo gitu, mana ada yang bisa diajak ngobrol,” keluhku dalam hati. Aku menyenderkan kepalaku di pintu. Lelah.
Akhirnya krl sampai di stasiun Manggarai, aku bergegas turun dan menuju jalur 4, ke arah bekasi. Sebenernya aku bisa naik lewat jalur 2, cuma aku ingin berleha-leha sebentar. Kasian pundak. Kulihat orang dibelakangku sibuk mengambil foto dengan kameranya. Kemudian seorang ibu-ibu melirikku sekilas dan berbicara dengan laki-laki di sampingnya. “Suaminya mungkin?” batinku.
Agak lama, aku baru menyadari tatapan sekilas ibu itu. Buru-buru aku pindahkan tas ransel disampingku ke dekat kakiku. Lalu aku tersenyum ke ibu-ibu itu yang membalas senyumku juga. Sambil memasang senyum aku merutuki ketidakpekaanku. Saat kereta krl datang aku segera naik, dan juga tidak mendapat tempat duduk. “Ya sudahlah, udah takdir,” aku tertawa kecil.
Sebenernya tujuanku bukan stasiun Bekasi, aku akan turun di stasiun Jatinegara dan berganti kereta lagi buat sampai ke stasiun Pasar Senen. Untungnya jarak stasiun Manggarai ke stasiun Jatinegara engga terlalu jauh. Setelah sampai di stasiun Jatinegara, aku segera pindah kereta, menyebrangi beberapa rel kereta sebelum masuk ke gerbong kereta.
Seperti biasa, aku juga tidak dapet tempat duduk. Mungkin karena aku kalah cepet? Entahlah, apapun alasannya aku cuma pengen sampe di tempat tujuan kemudian istirahat dengan tenang. Saat kereta mulai bergerak aku kembali melihat-lihat sekeliling, ada 2 petugas yang berdiri diantara gerbong, seorang cleaning service dan deretan ibu-ibu yang asik ngerumpi -bahkan hampir semua orang di gerbong bisa denger rumpian mereka- tiba-tiba seorang ibu-ibu menawarkan tempat duduk. Untukku.
Aku hanya mengangguk, menolak dengan sopan. Beruntungnya aku karena sedang memakai masker, karena saat ibu-ibu itu menawari tempat duduk di sebelahnya aku menyeringai senang. “Ih, gapapa neng, sini, biar engga pucet,” aku hanya meringis, melihat sekeliling -takut ada yang iri :D- kemudian duduk. Ibu-ibu itu tersenyum kemudian menekuri iphonenya. Yup iphone. Hatiku teriris-iris. Oke, zaman udah berubah dan aku hanya bisa melamun dalam kebisingan suara kereta.
“Udah nikah?” tanya ibu-ibu di sebelahku sambil menepuk lututku dan tersenyum lebar. Eh? Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Pertanyaan pertama yang meluncur dari ibu-ibu itu hampir membuatku mati kutu. EEEEEEEEEEH?! N-N-N-NIKAAAH?! Bener-bener badai di siang bolong. Aku tertawa hambar, dan buru-buru menjawab, “Ah, belum kok bu, saya-“, ibu-ibu itu justru memandangku prihatin dan menepuk-nepuk lututku, “Jodoh mah engga kemana mbak,” EH?!
‘I-i-iya bu, iya, jodoh emang engga kemana, tapi SAYA MASIH SMA BU, BARU NAIK KELAS 3!’ jeritku dalam hati, “Um, saya masih-“, “Ibu paham kok, emang agak susah nyari jodoh itu, apalagi zaman sekarang,” aku tersenyum getir. ‘Gawat, aku engga punya kesempatan buat bilang. Tamat sudah,’ batinku. Ibu-ibu itu masih berusaha ‘menghibur’ku. Mungkinkah aku terlihat seperti perempuan paruh baya yang kesepian?
Jujur, selama ini aku terbiasa dikira sebagai anak kuliah, tapi baru pertama kalinya ada yang bertanya, “Udah nikah?” dengan blak-blakan padaku. Pertanyaan yang begitu singkat, dalam, dan menyakitkan (T_T). Ibu-ibu itu pun menatapku dan bibirnya bergerak lagi, “Mau nikah umur berapa? Jangan lama-lama loh, kasian nanti anak-anaknya,” JEDER! Hampir aja aku tersedak mendengarnya.
“Mm..ya kalau bisa sebelum 27 bu,”
“Iya-iya, biasanya susah kalau udah di atas itu.”
“Ahaha..”
“Udah ada calon? Yang disuka?”
“Eh..e-enggak, enggak ada, m-maksudnya belum…cocok?”
“Nah itu masalahnya, ngerasa belum cocok bukan berarti gak jodoh,”
“SIAPAPUN TOLONG AKU!!!” jeritku dalam hati, mungkin jika di buat kartunnya, sekarang aku sudah membentur-benturkan kepala ke tiang sebelahku. Oke itu khayalanku. Kembali ke dunia nyata. Ibu-ibu itu masih memberikanku ‘nasehat mencari jodoh’. Kulirik beberapa orang yang menahan senyum sambil menatap kami berdua. Malu banget. Aku pengen loncat dari jendela.
Untung saja itu segera berakhir ketika krl berhenti di stasiun Pasar senen. Aku berpisah dengan ibu-ibu itu di luar krl, tapi sebelum benar-benar berpisah, ibu-ibu itu menepuk pundakku dan berkata, “Mbak, ibu doain jodohnya segera dateng ya, biar mbak engga jadi perawan tua. Sabar ya mbak,” dan ibu-ibu itu menghilang di antara orang-orang. Aku berjalan ke arah kursi dan merebahkan diri, “Aaah, gak bisa, nyawaku di bawa separuh sama ibu-ibu tadi..ahaha..” gumamku frustasi.
Aku terkikik pelan mengingat kejadian itu, entah kenapa tiba-tiba aku jadi ingat sesuatu. Kisah Amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz. Aku mengerutkan kening, “Siapa ya yang cerita? Kayaknya ibu deh,” aku bergegas pergi ke dapur dan duduk di hadapan ibuku.
“B’u, ibu pernah cerita engga sih kisah Umar bin Abdul Aziz?”
“Engga, yang mana?”
“Yang mana ya? Kisah ngerelain gitu kok,”
“Ngerelain? Ngerelain hartanya?”
“Iih..bukan bu, ngerelain-“ aku terdiam.
Ngerelain apa ya?
“Apa?”
“OH!” aku terpekik senang, “Yang itu bu, Umar bin Abdul Aziz ngerelain budak wanita yang dia cintai,”
Ibu mengerutkan keningnya, “Engga, ibu engga pernah cerita,” aku melongo beberapa detik, “Cerita kok, kalo bukan ibu siapa lagi?” ibu kembali menggeleng dan menatapku jengkel, “Bukan ibu,” aku melengos pergi setelah ibu beranjak dari duduknya. Ini aneh.
“Emang ceritanya kayak apa?” aku menoleh
“Um..ceritanya itu..”
Eh, ceritanya gimana ya?
“Kalo engga salah gini sih,”
Ibu menaikkan sebelah alisnya, “Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz hidup di istana, punya harta berlimpah, pakaian yang bagus, makanan selalu enak. Istrinya punya satu budak yang cantik, dan Umar bin Abdul Aziz suka sama budak itu, dia minta ke istrinya agar budak itu di serahin ke Umar bin Abdul Aziz. Tapi istrinya engga mau, kenapa? Ya namanya juga istri pasti punya rasa cemburu,”
Ibu senyum-senyum sendiri, “Nyindir ibu nih?” aku gelagapan, “Eh? Oh, mm…ya, e-engga kok, ah ibu jangan gitu ah,” aku menutup wajahku, malu. “Terus Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah, dan hidup Umar bin Abdul Aziz berubah dalam sekejap. Umar bin Abdul Aziz hidup dalam kesederhanaan, tidak ada istana, baju bagus, makanan enak dan lain-lain. Umar bin Abdul Aziz juga sering sakit-sakitan, istrinya merasa kasihan melihatnya.”
“Mm…kemudian istrinya teringat budak miliknya yang disukai Umar bin Abdul Aziz, istrinya pun menyerahkan budak itu untuk Umar bin Abdul Aziz, tapi sang khalifah menolak. Beliau justru menyuruh untuk mencari tau latar belakang budak perempuan itu. Ternyata, budak itu semacam jatah gitu milik salah seorang prajurit. Tapi budak itu diambil oleh ayah istrinya agar tidak menimbulkan keirian diantara para prajurit.”
Aku menarik nafas, “Umar bin Abdul Aziz menyuruh prajurit itu untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi haknya, tapi prajurit itu menolaknya dan berkata, ‘Wahai Amirul mukminin, budak perempuan itu adalah milik anda maka terimalah,’ tapi Umar bin Abdul Aziz menolak, prajurit itu berkata lagi, eh apa Umar bin Abdul Aziz ya? Kayaknya prajuritnya deh,”
“Yang cerita kok ragu-ragu gitu?”
“Kan lupa-lupa inget bu,”
“Pokoknya ada yang bilang, eh iya kok prajuritnya yang bilang, ’Kalau begitu belilah ia dariku dan aku akan dengan senang hati akan menerima akad jual beli ini,’ tapi Umar bin Abdul Aziz tetap menolaknya. Melihat hal itu tiba-tiba budak perempuan itu menangis dan bilang, ‘Kalau begini akhirnya maka dimanakah cintamu selama ini wahai amirul mukminin?’ ternyata budak perempuan ini juga suka sama Umar bin Abdul Aziz,”
“Umar bin Abdul Aziz bilang, ‘Cinta itu tetap ada di dalam hatiku, bahkan jauh lebih kuat daripada yang dahulu-dahulu. Akan tetapi kalau aku menerimamu, aku khawatir tidak termsuk dalam golongan orang yang menahan dirinya dari keinginan hawa nafsu,’ kalo engga salah di surat An-Naziat ayat 40-41 deh yang bahas menahan diri dari hawa nafsu itu,”
Ibu hanya tersenyum, “Jadi ya, kalo dipikir-pikir engga selamanya kita harus memiliki sesuatu, karena bisa jadi kita cuma pengen memilikinya karena hawa nafsu bukan karena Allah semata, ngerelain sesuatu yang kita suka, atau malah yang kita cintai ternyata berat ya? Hm…” ibu tiba-tiba tertawa, “Kenapa? Lagi suka sama seseorang?”
“Eh, engga kok, cuma ya kan di cerita-cerita banyak tuh yang ngerelain-ngerelain orang gitu,”
Ibu mengulum senyum yang justru semakin membuatku kikuk. Tapi gara-gara pertanyaan itu aku jadi sering merenung, ah bukan merenung tentang menahan hawa nafsu tapi ‘Romantis ya? Meskipun udah ngerelain tapi perasaan itu justru semakin kuat,’ hahaha…
Chbioka (Zulfa AR santriwati jenjang SMA)