Liputan Khusus Diskusi Aktual Pesantren Media, 28 Desember 2011
“Mestinya di sana masih tersimpan pemahaman-pemahaman seputar hukum-hukum tanah, pertanian, pengelolaan tanah dan sebagainya. Sisa Kesultanan Bima,” Ustadz Umar Abdullah menyampaikan pendapatnya saat saya baru datang ke tempat diskusi karena telat. Ini yang pertama kali saya simak dan catat.
Diskusi ini mengambil judul pembahasan: “Bima Ditambang, Bima Meradang”. Judul ini pulalah yang menyisakan penasaran bagi sebagian anak-anak yang ikut diskusi. Seperti pertanyaan Taqiyuddin Abdurrahman: “Kenapa pake judul itu?” Senada dengan Taqiyuddin, Qais—anak pertama saya yang masih kelas 5 SD bertanya, “Maksud judul itu apa?” Disusul oleh pertanyaan dari Abdullah, “Mengapa tema diskusinya ini?”
Tema diskusi seputar kasus Bima yang diberi judul “Bima Ditambang, Bima Meradang” terbilang cepat dan spontan. Rabu pagi, 28 Desember 2011 ketika itu saya ngobrol singkat dengan Ustadz Umar Abdullah setelah siaran rutin [klinik] gaulislam di KISI 93.4 FM Bogor. Waktu itu saya melakuan supervisi dan Ustadz Umar Abdullah mengantar santrinya untuk belajar menjadi presenter di acara remaja itu. Jadilah judul yang ternyata membuat bingung sebagian anak-anak. Judul itu diusulkan singkat dan spontan, tidak seperti penulisan laporannya ini, lambat dan pelan (eh, sama saja ya?).
Melanjutkan sisa pengantar untuk diskusi pekanan kali ini, Ustadz Umar Abdullah memberikan tambahan informasi, “Melihat fakta di Bima bahwa yang hendak ditambang di sana dalah emas, maka saya teringat penelitian bahwa di mana ada gunung berapi, maka di daerah sekitarnya mesti ada emas. Ini menarik.”
Tak lupa Ustadz Umar Abdullah juga menyampaikan dan sedikit menyayangkan tindakan masyarakat menduduki Pelabuhan Sape, di mana itu mengakibatkan lumpuhnya fasilitas umum di sana. Polisi yang berusaha membubarkan massa, akhirnya ricuh dan bahkan ada yang tewas. Di satu sisi protes boleh, tetapi harus dengan cara yang benar dan jangan mengganggu ketertiban umum. Namun demikian, keberanian rakyat atau masyarakat di sana dalam melakukan unjuk rasa patut diapresiasi. Masyarakat Lambu misalnya, mereka berani mempotes PT Sumber Mineral Nusantara—perusahaan yang mengantongi izin penambangan dari bupatinya. ”
Nampaknya peserta diskusi sudah siap-siap mengeluarkan pertanyaan dan pernyataannya. Selain tiga dari peserta anak-anak yang mempertanyakan maksud dan alasan judul diskusi, juga ada Novia, santriwati Pesantren Media yang mengajukan beberapa pertanyaan, “Kenapa Bupati Bima mengeluarkan ijin pertambangan emas? Mengapa juga masyarakat bisa protes? Alasannya apa? Kemudian, PT Sumber Mineral Nusantara itu perusahaan apa?”
Tentu saja jawaban dari pertanyaan Novia amat dibutuhkan agar masalah ini bisa diselesaikan dengan tuntas.
“Masih ada yang bertanya?” Ustadz Umar Abdullah masih memberikan kesempatan. Ustadz bertubuh subur ini terlihat menyapukan pandangannya ke seluruh peserta untuk mempersilakan mereka mengajukan pertanyaan atau pernyataan.
Muncullah Neng Ilham, santriwati Pesantren Media yang agak pendiam ini, namun mendadak heboh jika ada hal-hal yang menurutnya lucu—sebagaimana kelucuan yang sering ditampilkan Ustadz Umar Abdullah. Neng Ilham mengajuk pertanyaan, “Kasus Bima masih ada hubungannya tidak dengan Mesuji dan Freeport? PT Sumber Mineral Nusantara itu punya siapa? Lalu sebenarnya polisi melakukan itu berpihaknya kepada siapa? Nah, apakah yang dilakukan polisi itu sudah benar atau tidak?” Wah, ternyata benar-benar pertanyaan yang membombardir.
Belum cukup di situ, Junnie Nishfiyanti yang menjadi koordinator program pengaturan materi dan narasumber untuk Majalah Udara Voice of Islam, menyampaikan komentar dan sekaligus pertanyaan, “Bupati yg memberikan izin penambangan itu apakah akan dihukum dalam Islam? Kalo Daulah Islam berdiri, kontrak-kontrak penambangan itu statusnya jadi bagaimana?” Junnie bertanya dan mempertanyakan kasus tersebut untuk dibahas di forum diskusi aktual pekanan.
Ustadz Umar Abdullah mencoba memberikan jawaban bagi ketiga bocah penanya dalam diskusi ini. Menurutnya, “Karena di daerah Bima ada beberapa kecamatan yang daerahnya akan dijadikan pertambangan. Radang, itu sakit. Jadi sebagian masyarakat Bima marah. Nah, dibuatlah judul diskusi ini “Bima Ditambang, Bima Meradang”
Lebih lanjut Ustadz Umar Abdullah menyampaikan bahwa pentingnya membahas tema ini, “Karena itulah yang sedang terjadi di Bima. Bagaimana pun di Bima adalah masyarakat kaum muslimin. Di situlah kita harus berpikir mengapa mereka sampai seperti itu? Jadi ini bagian dari kepadulian kita.” Tandasnya memberikan penekanan.
Berkaitan dengan pertanyaan dari Novia, Ustadzah Latifah Musa ikut nimbrung memberikan pernyataan, “Dalam kasus ini kabarnya bupatinya jarang ada di tempat. Jadi kemungkinan pejabat daerah yang lain yang memberikan izin. Ini didasarkan pada UU Pananaman Modal bahwa pemerintah daerah boleh bekerjasama dengan perusahaan manapun yang hasilnya sebagai sumber pendapatan daerah. Mengapa masyarakat meradang? Masyarakat mulai paham, bahwa izin penambangan harus ada ijin dari masyarakat juga. Masalahnya, beredar kabar bahwa tak ada sosialisasi dari pemda berkaitan dengan aktivitas penambangan tersebut. Selain itu, pasti juga ada efek yakni kerusakan lingkungan. Nah, masyarakat yang bertani dan beternak, akan dirugikan akan limbah dari aktivitas penambangan ini akan mencemari air. Selain juga memang ada LSM yang menggerakkan, yakni Front Rakyat Anti Tambang.” Jelas ustadzah yang sempat memimpin Jurnal Al-Ihsas beberapa tahun silam dengan panjang lebar sambil memerinci datanya.
Menjawab pertanyaan Novia, Ustadz Umar Abdullah menambahkan bahwa, “Gampangnya nih, dugaan kalau mau menambang emas setidaknya adalah perusahaan pengeksplor. Tapi anehnya Asosiasi Perusahaan Penambangan menyatakan bahwa perusahaan tersebut—yakni PT Sumber Mineral Nusantara justru tidak terdaftar dalam lingkungan asosiasi tersebut. Jadi, diperkirakan bahwa perusahaan tersebut baru dibuat atau meman ada hal lain,” paparnya.
Neng Ilham yang mengajukan pertanyaan kemudian dijawab oleh Ustadz Umar Abdullah, “Ya, jika pun disebut adanya kesamaan kasus di Bima dengan di Mesuji dan Freeport, masalahnya adalah sama-sama dirugikan. Di Freeport pekerja merasa dirugikan. Di Mesuji juga masyarakat yang dirugikan oleh perusahaan pengelola lahan, Bima sama juga. Jadi persamaan kasusnya: bentrokan antara masyarakat dengan aparat,” simpul ustadz asal Surabaya ini.
Ditanya status kepemilikan PT Sumber Mineral Nusantara, Ustadz Umar memberikan kesempatan kepada peserta diskusi untuk menjawab. Saya sendiri kemudian browsing dan mendapatkan informasi bahwa perusahaan ini memang ‘misterius’. Sejauh ini tak diketahui pemiliknya. Menurut Ustadz Umar Abdullah, “Meski ada juga beberapa bocoran di internet tentang kepemilikan perusahaan tersebut, yakni yang menyatakan bahwa PT Sumber Mineral Nusantara milik perusahaan di Australia. Boleh dikata itu perusahaan asing. Sebab, asosiasi perusahaan penambangan juga tidak mengenalnya.”
Ya, keberadaan PT Sumber Mineral Nusantara memang perlu dipertanyakan. Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Syahrir AB, menyatakan tidak mengenal PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang menjadi pemicu bentrok antara masyarakat dengan polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat. (tempo.co, 27/12)
“Polisi memihak siapa?” Ustadz Umar Abdullah mengulangi pertanyaan yang diajukan Neng Ilham. Seperti biasa, ketika peserta diskusi tak ada yang merespon, maka beliau sendiri yang menjawabnya, “Polisi menginginkan pelabuhan bisa beroperasi dengan normal. Jadi lebih kepada kepentingan umum. Tapi memang masyarakat punya caranya sendiri agar menarik perhatian untuk didengar tuntutannya. Walaupun diduga kuat cara membubarkannya juga tidak baik dari aparat. Sehingga terjadilah bentrokan dan kericuhan. Selain itu, soal ribut-ribut ini karena orang ribut disebabkan masing-masing punya kepentingan. Ada yang diuntungkan, ada yang dirugikan (limbah dsb),” jelasnya.
Fatimah, siswi kelas 6 SD sebuah sekolah swasta Islam dan juga menjadi santriwati di Pesantren Media, melontarkan pernyatan senada, “siapa yang salah dalam kasus ini?” Lalu dijawab oleh Ustadz Umar Abdullah, “Salah semua: bupati salah, PT Sumber Mineral Nusantara juga salah. Warga yang menduduki pelabuhan Sape salah, polisi yang nembak sembarangan salah, yang bikin undang-undangnya salah juga. Namun demikian, bahwa rakyat berhak membela hak-haknya adalah dibolehkan. Jika pun ada yang benar, itu adalah keberanian rakyat untuk memperjuangkan haknya. Tapi caranya jangan menduduki pelabuhan, jangan menutupi jalan,” tandas Ustadz Umar Abdullah memberikan penekanan dari argumentasinya.
Salah seorang peserta diskusi yang memilih banyak menyimak, yakni Firmansyah akhirnya mengeluarkan pernyataan juga, “Polisi sih sebenarnya memihak yang bayar. Dalam sistem yang korup seperti sekarang sudah banyak buktinya. Di Papua misalnya, terbukti polisi terima duit. Memang tidak semua polisi demikian. Tetapi karena memang track record-nya jelek, ya akhirnya kebawa jelek semua,” simpulnya.
Diskusi kian hangat. Diselingi guyonan khas anak-anak yang sengaja masih dibiarkan selama tidak merusak suasana diskusi. Sekira setengah jam menjelang adzan maghrib, Ustadz Umar Abdullah mencoba menjawab sisa pertanyaan yang diajukan peserta diskusi, “Solusi Islam untuk masalah ini? Pertama, jika memang betul diperkirakan di situ ada tambang emas yang besar, tidak boleh diserahkan kepada swasta (individu). Jadi itu milik kaum muslimin dan pengelolaannya oleh negara. Negara sebagai wakil kaum muslimin. Hasilnya bukan untuk negara, tapi untuk kaum muslimin. Kedua, hasil penambangan itu diserahkan kepada kaum muslimin. Nonmuslim dalam negara Islam mendapatkan manfaat juga seperti gratisnya biaya ke rumah sakit, adanya sekolah serta fasilitas umum lainnya. Oya, barang tambah ini tidak boleh dimiliki nonmuslim. Ketiga, tidak boleh dimiliki asing. Jika betul PT Sumber Mineral Nusantara milik sebuah perusahaan di Australia, jelas jauh dari Islam. Keempat, penambangan pasti ada efek samping. Pasti mengorbankan lahan di sekitarnya. Itu sebabnya, efek negatifnya bisa diminimalisir misalnya cara penanganan limbahnya (ada standar Amdal—analisis mengenai dampak lingkungan). Sebisa mungkin dilokalisir pencemarannya. Kelima, prediksi bahwa di situ ada emas juga harus dibuktikan. Jangan sampai digali tapi ternnyata tak ada,” panjang lebar Ustadz Umar Abdullah menjelaskan.
Melengkapi tanggapan dan komentar Ustadz Umar Abdullah, kali ini Ustadzah Latifah Musa memerikan komentarnya, “Sebenarnya dampak lingkungannya bisa diminimalisir seperti di Brazil. Tapi di Indonesia pemerintah dan perusahaan tak mau mengeluarkan biaya mahal untuk pengelolaan limbahnya. Karena memang modal eksplorasi besar dan mahal. Yang dilakukkan adalah dikeruk semaunya, itu merusak lingkungan. Perusahaan asing mau melakukan kerusakan itu karena tak ada undang-undang yang benar dalam pengelolaan pertambangan. Di negara lain perusahaan asing tak berani merusak lingkungan ketika melakuan eksplorasi karena ada undang-undang yang melarangnya. Di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang hal itu.”
Sebelum diskusi benar-benar berakhir, Junnie Nishfiyanti kembali mengajukan pertanyaan, “Bupati yang memberikan izin akan diapakan dalam Islam? Kalau daulah Islam berdiri, bagaimana dengan kontrak-kontrak penambangan itu? Statusnya jadi bagaimana?”
Langsung dijawab oleh Ustadz Umar Abdullah, “Tergantung khalifah. Jika khalifah seperti Umar Ibnu Khattab ra maka ia akan tegas. Tidak saja jabatan bupati dicopot, tapi juga akan dihukum. Semua akan dicek untuk memastikan pemberian sanksi. Apakah ada kesalahan dari bupati, atau mungkin kapolres, bisa saja kapolsek yang memang memerintahkan penembakan atau individu dan pejabat lainnya akan diseret ke meja hijau.”
Lebih lanjut Ustadz Umar Abdullah memberikan penjelasan untuk kasus kericuhan di Bima, “Jika dengan kata-kata bisa diselesaikan itu jauh lebih hebat lagi. Cukup dengan kata-kata untuk meredakan gejolak masyarakat, bukan dengan senjata,” simpul Ustadz Umar Abdullah.
Kemudian Ustadz Umar Abdullah memaparkan sekilash kisah Abdullah bin Abbas yang berdialog dengan kaum khawarij ketika mereka hendak memerangi Ali bin Abu Thalib. Abdullah bin Abbas mengatakan: “Maka bertaubatlah 2.000 orang dari mereka dan selebihnya bersikukuh untuk tetap memberontak (terhadap ’Ali) maka merekapun akhirnya dibunuh.” (dalam kitab Talbis Iblis hlm. 116-119—yang memuat lengkap kisah dialog Abdullah bin Abbas dengan kaum khawarij)
Beberapa detik menjelang adzan Magrib, Ustadzah Latifah Musa menjelaskan bahwa, “Secara hukum Indonesia saja kontraknya batal. Apalagi dalam Islam,” tegasnya saat menjawab pertayaan Junnie seputar kontrak-kontrak negara dengan perusahaan asing dalam pengelolaan sumber daya alam ketika Khilafah sudah berdiri.
Namun Ustadz Umar Abdullah memberikan pendapat yang sedikit berbeda. Ia mengatakan, “Dibatalkan lalu diubah. Perusahaan tersebut jadi ajir saja untuk eksplorasi bahan tambang baru dibayar. Akadnya diubah, bukan pemilik. Akad yang sebelumnya dibatalkan, karena tidak sesuai dengan Islam. Perusahaan asing sifatnya sementara waktu, setelah negara khilafah sudah bisa, maka disuruh pergi saja,” terangnya ketika menyampaikan dengan amat rileksnya.
Tepat saat adzan magrib berkumandang seperi saling bersahutan dari banyak pengeras suara beberapa mushola dan masjid sekitar Laladon, diskusi dihentikan setelah dibacakan beberapa poin penting yang berhasil saya catat. Peserta diskusi bubar setelah acara diskusi ditutup oleh Ustadz Umar Abdullah.
Selesai sudah rangkaian diskusi edisi 28 Desember 2011 lalu yang sengaja dibuat rutin setiap pekan untuk memberikan kesempatan kepada kru MediaIslamNet, Voice of Islam, dan juga Pesantren Media serta perwakilan lainnya untuk berbagi informasi, berbagi manfaat dan wawasan ilmu. Semoga dapat terwujud. Insya Allah. [OS]