Loading

Di dalam kehidupan ini, manusia diberi jatah waktu yang sama, yakni 24 jam. Tidak ada yang dilebihkan atau dikurangkan. Tidak ada manusia di dunia ini yang mempunyai jatah waktu lebih semisal 26 jam sehari. Pun tidak ada manusia yang mempunyai jatah waktu kurang semisal 22 jam sehari. Semua manusia telah diberi jatah waktu yang sama oleh Allah swt.

Ibarat berdagang, jatah waktu yang diberikan Allah itu adalah modalnya. Ya, modal yang sangat berharga. Yang dengan modal ini, akan ada tiga golongan orang yang terbagi berdasarkan hasil yang ia terima terkait pemanfaatan modal ini.

Golongan pertama, adalah mereka yang benar-benar sadar, bahwa modal waktu ini adalah sesuatu yang begitu berharga. Yang tidak akan pernah bisa diulang. Yang jika modal ini sudah habis, tidak akan pernah ada kesempatan kedua untuk menerimanya kembali. Maka dengan kesadaran ini, digunakannya waktu yang ada semaksimal mungkin dalam kebaikan. Baginya, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Maka dengan prinsip seperti ini, jadilah ia orang beruntung atas modal waktu yang diberikan Allah swt ini.

Golongan kedua, adalah mereka yang memandang modal waktu ini sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Maka ia menjalani waktu yang ada juga dengan biasa-biasa saja. Datar seperti permukaan air yang diam. Tenang, tidak nampak gejolak semangat di dalamnya. Maka kuantitas dan kualitas pemanfaatan waktu pun dari hari ke hari sama saja. Sederhananya, hari ini sama saja dengan hari kemarin. Maka orang semacam ini pasti rugi. Kenapa rugi? Karena modal waktu yang diberikan terus berkurang, sedangkan kebaikan yang didapatkan hanya itu-itu saja. Tak ada peningkatan.

Golongan ketiga, adalah mereka yang memandang modal waktu ini sebagai sesuatu yang remeh. Sesuatu yang tidak penting sama sekali. Oleh karenanya, dia pun menghambur-hamburkan waktu untuk sesuatu yang tiada guna. Atau bahkan sesuatu yang terlarang dan dosa. Sehingga dapat dipastikan, semakin berkurang jatah waktu yang ada, keburukan yang ada padanya semakin bertambah. Maka dengan pemanfaatan waktu model begini, masuklah mereka ke dalam golongan orang-orang yang terlaknat. Naudzubillah.

Pastilah muncul pertanyaan. Bagaimana cara supaya kita bisa menjadi golongan yang pertama, yakni golongan orang-orang yang beruntung? Jawabannya sederhana saja, bersegeralah dalam mengerjakan kebaikan. Segera datangi panggilan atau kesempatan untuk berbuat baik, jangan ditunda-tunda lagi. Jangan biarkan beribu alasan menghalangi langkah kita untuk bersegera menuju pada kebaikan. Maka insya Allah, kita akan menjumpai hari ini berjalan lebih baik dari hari kemarin.

Pertanyaannya sekarang, termasuk golongan manakah kita? Beruntung, rugi, atau malah terlaknat? Satu-satunya orang yang dapat menjawab hal ini dengan sejujur-jujurnya tentulah diri kita sendiri. Bagaimanakah reaksi kita ketika mendengar seruan atau mendapat kesempatan untuk berbuat baik?

Taruhlah, kita mendengar adzan. Ini adalah panggilan bagi manusia untuk pergi ke masjid guna menunaikan shalat berjama’ah. Jelas ini adalah sebuah kebaikan. Golongan pertama akan selalu menyambut seruan ini dengan segenap suka cita. Yang ditunjukkannya dengan bersegera meninggalkan atau menunda pekerjaan guna menyongsong panggilan ini.

Lain halnya dengan golongan yang kedua. Bisa saja dia mendatangi panggilan adzan, tapi dengan semangat yang loyo. Bisa saja dia mendatangi shalat berjama’ah tapi datang terlambat. Esoknya terlambat lagi. Esoknya terlambat lagi. Tak ada peningkatan. Atau bahkan memilih shalat di rumah dengan segudang alasan.

Lalu bagaimana dengan kelompok ketiga yang terlaknat? Tentu mereka juga mendengar adzan. Tak mendengar pun tentu tahu bahwa jam sekian pasti sudah masuk waktu shalat. Tapi apa yang dilakukan? Golongan semacam ini begitu enggan menghentikan atau menunda aktifitasnya untuk sementara waktu. Masih asik dengan aktifitas-aktifitas semisal main musik, manggung, ngobrol, belanja, cerita, yang sejatinya bisa ditunda dulu.

Di golongan mana kita berada? Hanya diri kita sendiri yang bisa mengakuinya dengan jujur.[]

[Farid Abdurrahman, santri angkatan ke-1, jenjang SMA, Pesantren Media]

By Farid Ab

Farid Abdurrahman, santri angkatan ke-1 jenjang SMA (2011) | Blog pribadi: http://faridmedia.blogspot.com | Alumni Pesantren MEDIA, asal Sumenep, Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *